Acara sidang komisi 1 pada sesi 3 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 tanggal 10 Oktober 2013 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik Kearifan Lokal yang Memperkuat Demokrasi yang dimoderatori oleh I G Parimartha.
Paparan pertama dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Nasrudin Suyuti dengan judul Bajo dan Orang Bukan Bajo.
Masyarakat Bajo pada awalnya tinggal di atas perahu yang disebut bido, hidup berpindah-pindah bergerak secara berkelompok menuju tempat yang berbeda menurut pilihan lokasi penangkapan ikan. Di atas perahu mereka menjalani hidupnya sejak lahir, berkeluarga hingga akhir hayatnya. Oleh sebab itu, orang Bajo sering disebut sea nomads (Sopher, 1971) atau sea gypsies (Brown, 1993). Dalam perkembangannya, sebagian besar dari mereka telah tinggal menetap di pinggir laut. Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia, mereka hidup menetap di laut atau di pinggir laut. Laut dijadikan sebagai sumber kehidupan (panamamie ma di lao). Mereka memiliki prinsip bahwa pinde kulitang kadare, bone pinde sama kadare yang berarti memindahkan orang Bajo ke darat, sama halnya memindahkan penyu ke darat (Nasruddin, 2010. Bahkan banyak diantara mereka merasa pusing kepalanya jika tidak mendengarkan gemuruh ombak (piddi tikolo’na lamong nggai makale le goya). Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sulitnya memisahkan kehidupannya dengan laut.
Kelompok suku bangsa mayoritas (Bajo) telah mengadaptasikan unsur-unsur budayanya ke dalam unsur-unsur budaya kelompok suku bangsa minoritas (Bugis). Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila unsur-unsur budaya suku bangsa Bugis lebih dominan ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Bajo. Sebagai warga sekampung yang memiliki hubungan simbiotik, mobilitas interaksi antar kelompok sangat intens, tidak mengenal lagi batasan waktu dan ruang. Kelompok masyarakat Bajo menganggap semua orang Bugis yang ada di perkampungan Sulaho sebagai bagian dari kerabat dekatnya (dansihitang), sebaliknya orang Bugis sebagai kelompok minoritas memandan g masyarakat Bajo sebagai keluarga dengan istilah sumpu’ lolo Bajota.
Konsep sama dan bagai adalah suatu simbol yang dipedomani oleh kelompok masyarakat Bajo dalam menjalin hubungan antara kelompoknya dengan kelompok masyarakat lain. Bagi orang Bajo di Desa Sulaho, orang Bugis tidak lagi termasuk kategori orang bagai, oleh sebab itu dalam kehidupan masyarakat Bajo di Desa Sulaho berkembang istilah ”Bajo campuran” atau “Bugis Bajo”. Hal ini disebabkan karena terjadinya kawin mawin (amalgamasi) antara orang Bajo dengan orang Bugis, baik dengan orang Bugis yang berdomisili di Desa Sulaho maupun yang ada di luar Desa Sulaho. Berbeda halnya dengan kelompok bagai dari etnis lain jarang sekali terjadi kawin mawin dengan orang Bajo, karena faktor geneologis menjadi acuan bagi mereka.
Paparan kedua dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Alim.S.Niode dengan judul Pohala’a : Memperkuat Demokrasi ala Gorontalo.
Sejauh ini dilaporkan bahwa kualitas upaya demokratisasi di Gorontalo cenderung bergeser ke elitisasi politik dan identitas diri warga lebih dikonstruksi oleh semangat etnik. Secara kuantitatif keadaan itu ditunjukkan oleh indeks demokrasi yang masih terbilang buruk. Semangat spasialisme yang terbangun bersama pemekaran wilayah bergandengan dengan statuta otonomi kabupaten/kota menghasilkan raja-raja ”kecil” dan fanatisme masyarakat yang berlebihan. Sementara itu terciptanya kerawanan koordinasi pemerintahan di level provinsi makin potensial membawa pecahnya konflik masyarakat Gorontalo kedalam kepingan-kepingan wilayah teritorial di masa yang akan datang.
Demokrasi ala reformasi yang ditimpakan kedalam kultur masyarakat Gorontalo telah abai terhadap kearifan lokal pohala’a (baca; persaudaraan). Pohala’a dibangun berdasarkan filosofi dan nilai-nilai budaya lokal, kemudian dimantapkan kedalam sistem ke-tatanegaraa-an yang demokratis sedemikian rupa menghasilkan tata pemerintahan yang disebut oleh pengamat Belanda sebagai “good ingericht bestuur bezaten”. Cakupan pohala’a pernah melampaui Gorontalo hingga kewilayah Ternate dan Gowa di Sulawesi Selatan.
Menurut catatan sejarah lokal, bahwa peristiwa-peritiwa politik yang merajut kesadaran kebangsaan dan demokrasi, memiliki akar yang panjang dalam kearifan lokal di Gorontalo. Cikal bakal daerah ini bermula dari penggabungan 17 kerajaan kecil (linula) menjadi kerajaan Hulontalo (sekarang: Gorontalo) pada tahun 1385 M.
Gorontalo telah memiliki pengalaman dalam mengorganisasikan wilayah pemerintahan dari unit ssosial politik kecil kedalam tatanan pemerintahan yang lebih besar. Secara historis, Gorontalo memiliki “ensiklopedia” kearifan, serta cukup terlatih mempraktekkanya dengan memenej dan mengkoordinasikan kehidupan sosiopolitik unit-unit sosial kecil kedalam tatanan kepemerintahan yang lebih besar.
Riedel (1870:46) berpendapat bahwa pohala’a berasal dari kata wala’o (anak). Noorduyn, ketika berdiskusi dengan Nur (1977) membenarkan pendapat itu, bahkan menduga bahwa kata nagala’a (keluarga) adalah turunan dari kata itu. Tetapi dia lebih sependapat dengan Lipoeto (1943, III:22) yang mengartikan pohala’a sebagai keponakan. Secara etimologis pohala’a menunjuk tempat berkumpul dan berkembang biak dari anak-anak dalam satu keluarga yang tak dapat dipisahkan sesamanya. Perlekatan dasar kata itu dengan wala’o pada giliranya turut menguatkan ingatan bersama masyarakat sehingga tak mudah hilang sepanjang keluarga tetap ada dan dianggap penting.
Paparan ketiga dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Suriadi Mappangara dengan judul Demokrasi di Bumi Bangsawan (Kabupaten Bone).
Cikal bakal munculnya kelompok bangsawan di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Bone pada khususnya bermula ketika kondisi sosial dan politik dalam keadaan kacau balau. Pada waktu itu di wilayah Bone ada 7 daerah (wanua) yang dipimpin masing-masing oleh seorang pemimpin (matowa). Dalam catatan lontarak kondisi sosial politik dalam keadaan kacau balau.
Kelompok bangsawan Bone yang berada di pusat, melakukan aturan yang sangat ketat untuk menjaga kemurniaan darah kebangsawanannya. Di buat aturan ketat bagi siapapun yang akan menjadi raja. Raja terbuka untuk siapa saja, tidak ada pembatasan bahwa raja harus laki-laki atau perempuan. Seorang yang akan diangkat atau ditunjuk menjadi raja adalah mereka yang memiliki darah murni keturunan Tomanurung.
Perkawinan politik di kalangan bangsawan ini memungkinkan bangsawan Bone memiliki jaringan keluarga yang sangat luas. Tidak saja di wilayah Bone tetapi juga di Sulawesi Selatan. Bangsawan Bone masuk ke dalam istana Kerajaan Gowa dan Tallo, demikian pula di Kerajaan Luwu.
Dalam sejarah panjang Kerajaan Bone, perluasan wilayah yang dilakukan oleh bangsawan pusat dilakukan dengan tiga cara. Pertama dengan penaklukan. Kedua, wilayah Kerajaan Bone semakin luas karena penguasa-penguasa lokal datang sendiri ke pusat kerajaan dan menyatakan tunduk dan patuh pada Kerajaan Bone. Cara ketiga adalah lewat perkawinan. Bangsawan pusat meluaskan pengaruhnya dengan cara menikah dengan puteri-puteri bangsawan lokal.
Paparan keempat dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Basri Amin dengan judul Budaya Demokrasi, Kesejarahan dan Potensi Konflik Lokal.
Demokrasi di Indonesia akan selamanya menjadi pembahasan yang menantang karena perkembangannya mengalami pasang-surut yang menempatkan pertarungan pada tiga dimensi penting: wacana, watak politik dan wawasan kewaktuan. Harus jujur kita akui bahwa reformasi di negeri ini makin memperlihatkan bahwa “demokrasi” masih mengalami transisi hebat dan terancam melemah spirit sejatinya.
Demokrasi memang dibicarakan di mana-mana, tetapi ia tetap saja diselimuti ketidakpastian di berbagai lapisan. Sebabnya antara lain karena (1) kepemimpinan politik dan figur-figur publik di berbagai tingkatan belum matang dalam “praksis demokrasi”; (2) institusi partai dan masyarakat sipil belum optimal sebagai transformator nilai dan mediator budaya politik yang beradab dan berkelanjutan; (3) basis kebudayaan demokratis di masyarakat belum tergali dan terwujud dalam proses edukasi yang lebih terbuka dan partisipatif, dengan basis keteladanan yang otentik.
Semua dimensi kebudayaan dalam politik berhubungan dengan beberapa hal:
1. Nilai-nilai (budaya) yang aktif menjadi rujukan dan memandu perilaku kolektif (shared values) atau partikuler yang eksis dan dipergunakan dalam berbagai mekanisme dan situasi dalam arena pengelolaan kekuasaan;
2. Pola pengelompokan sosial dan mekanisme-mekanisme kepemimpinan yang membentuk variasi-variasi pengajuan kepentingan bersama secara kolektif;
3. Pembagian fungsi-fungsi yang berlaku umum dan terterima di masyarakat, termasuk di dalamnya bagaimana bentuk-bentuk kontrol kekuasaan dan partisipasi masyarakat dalam pengaturan kepentingan bersama, cara-cara menghadapi kompetisi dan konflik, hubungan lintas wilayah dan kelompok, dst.
Secara universal, demokrasi adalah sebuah sistem politik yang ditandai dengan (1) penyelenggaraan pemilihan yang terbuka dan bebas; (2) pola kehidupan politik yang kompetitif; dan (3) memberi perlindungan terhadap kebebasan masyarakat. Pendapat yang lebih tajam menegaskan bahwa sebuah sistem demokratis kalau (1) memberi kebebasan kepada masyarakat dalam merumuskan preferensi (pilihan) politik mereka dalam bentuk informasi, komunikasi dan organisasi; (2) menjamin kesempatan kepada semua warga untuk bersaing secara damai dan teratur; (3) tidak melarang siapa pun untuk memperebutkan jabatan politik yang ada.
Demokrasi di Gorontalo sedang memasuki tantangan baru ketika pemekaran teritori, keragaman elite (lokal), institusi politik, basis informasi, dinamika pasar dan konflik lokal demikian berpengaruh. Sebagai akibatnya, formasi budaya politik kita tidak lagi bisa dibaca dengan kacamata statis, melainkan harus dicermati dengan penglihatan dinamis. Tantangannya adalah bagaimana mengelola percaturan antara nilai-nilai (ideal) demokrasi dan kapasitas masyarakat Gorontalo dalam membangun budaya demokrasinya.