Sidang Komisi 1 Sesi 1, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0
733

Acara Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 pada tanggal 10 Oktober 2013 ini terdapat acara Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Acara sidang komisi 1 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik  Demokrasi Keindonesiaan yang dimoderatori oleh Kacung Marijan, Direktur Jenderal Kebudayaan.

DSC_0434

Paparan pertama dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Rusjdi Ali Muhammad dengan judul Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi.

Konsep demokrasi pada abad ke-20 telah dibagi kepada dua aspek: sistem pemerintahan dan relasi sosial masyarakat. Pada pola pertama terlihat pada perjalanan sistem pemerintahan suatu negara. Karena itu, negara-negara di dunia berusaha agar bangsanya menjadi negara yang paling demokratis dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun, ketika dilekatkan konsep demokrasi pada aspek relasi sosial masyarakat, maka itu sangat terkait dengan budaya tempatan. Disini ingin dilihat bagaimana hubungan sosial di dalam masyarakat yang egaliter dan saling menghormati. Karena itu, negara yang demokratis juga diharuskan untuk membentuk dan membina masyarakat yang demokratis pula.

Paparan kedua dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Alex John Ulaen dengan judul Demokrasi Keindonesiaan : Pengalaman Sulawesi.

Perkembangan gagasan “demokrasi” di Indonesia – bila disimak dengan cermat – telah meninggalkan jejak dari beragam eksperimen, seakan membenarkan pikiran Daniel S. Lev bahwa sistem politik demokrasi dalam artian semua orang turut dalam pengambilan keputusan, hanya mungkin sebagai standar. Dalam lingkup partai politik dan lembaga swadaya masyarakat demokrasi mungkin diwujudkan. Pelajaran sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap lembaga apa pun, elitnya cenderung memperkokoh posisi yang menguntungkan mereka. Namun, akhir-akhir ini elit politik dan birokrat sudah mulai terjamah oleh kontrol lembaga kemasyarakatan yang demokratis.

Penelusuran atas latar budaya kepemimpinan, ada dua model yang ditemukan di daratan Sulawesi. Di Sulawesi Selatan, sistem kakaraengan tumbuh-kembang menjadi yang dipertuan. Namun, memiliki akar budaya yang kuat dan berawal dari sebuah kesepakatan antara “yang dipertuan” dan “yang mempertuan”.

Di daerah Sulawesi Utara, ditemukan dua sistem kemasyarakatan, di Bolaang-Mongondow dan di Kepulauan Sangihe, mengenal sistem kerajaan yang rajanya tidak memiliki kekuasaan absolut dan monarkial. Sama halnya dengan yang ada di Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar). Sistem kemasyarakatan yang kedua sifatnya egalitarian dapat ditemukan di Minahasa dan kepulauan Talaud. Seorang pemimpin mulanya adalah “yang dituakan di kelompoknya”. Sistem pemilihan seorang kepala kampung atau negeri (desa) di Minahasa sudah dikenal sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mentradisi hingga dewasa ini.

Upaya pencarian demokrasi keindonesiaan direduksi lewat kehadiran parpol, ormas, pemilu, pilkada dan desentralisasi bukan pada pencarian dan perumusan kebijakan yang demokratis.

Paparan ketiga dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Demokrasi Keindonesiaan : dari Liberalisasi ke Oligarki Partai Politik.

Secara sederhana subtopik Demokrasi Keindonesiaan berarti membahas dan menelaah gejala demokrasi yang sesuai dengan akar budaya Indonesia atau paling tidak demokrasi yang menuju ke arah nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.Itu berarti demokrasi yang berkembang sejak 1998 dinilai sekelompok orang merupakan sistem politik yang berbeda dengan budaya Indonesia atau tidak sesuai dengan bangsa Indonesia.

Para akademisi yang menganalisis tentang budaya dan politik Indonesia pada umumnya memformulasikan sejarah demokrasi melalui tahapan demokrasi formal sebagai berikut (Abdul Mukthie Fadjar, 2012):

  1. Demokrasi Parlementer (1945-1959)
  2. Demokrasi Terpimpin (1959-1966/1967)
  3. Demokrasi Pancasila (1967-1998)
  4. Demokrasi masa reformasi (1998-sekarang)

Para Pendiri Negara Kesatuan Rupublik Indonesia (NKRI) ketika membangun Demokrasi Parlementer (DP) dilakukan secara inkremental (tambal sulam). DP dibangun secara inkremental karena tekanan kuat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Soekarno mengubah model DP menjadi Demokrasi Terpimpin (DT). Soekarno mengecam DP merupakan demokrasi liberal karena itu tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Demokrasi yang dianggap sesuai dengan budaya bangsa Indonesia adalah demokrasi yang dikembangkan dia yang bernama DT. Prinsip demokrasi dalam sistem politik DT adalah semua keputusan didasarkan atas musyawarah untuk mufakat. Prinsip musyawarah itu kemudian dituntun oleh suatu kepemimpinan dan kepemimpinan itu adalah kewibawaan Soekarno.

DSC_0470

Sebagaimana sejarah lahirnya DT dengan kekerasan politik, yaitu dengan Dekrit Presiden, pembreidelan media massa, dan penahanan lawan politik Soekarno, begitu pula lahirnya Demokrasi Pancasila ala Soeharto juga dimulai dengan kekerasan politik dan bahkan berdarah-darah. Pembunuhan 6 jenderal TNI-AD dan 1 orang perwira menengah oleh Gerakan 30 September 1965 merupakan sejarah kelam dalam sejarah demokrasi di Indonesia.

Pejabat Presiden Jenderal Soeharto saat awal membangun Demokrasi Pancasila juga berusaha membangun sistem politik yang berakar dari budaya bangsa Indonesia. Soeharto menamakan sistem politik Demokrasi Pancasila karena semangat untuk membangun demokrasi yang berbeda dengan DP dan DT. Soeharto menekan dan memaksa partai politik untuk berfusi menjadi 3 partai politik yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Demokrasi Pancasila telah mengantarkan masyarakat Indonesia untuk memperbaiki pendidikan, penghasilan, dan kesejahteraannya, meskipun masih pada level yang belum tinggi.

Secara sederhana tatanan demokrasi pasca reformasi memiliki sistem ketatanegaraan dibangun cukup demokrasi, terbuka, dan responsive.