Solo – Jelang World Culture Forum (WCF) yang akan terselenggara di Bali tahun 2016 mendatang, Kemdikbud menggelar Sarasehan dan Refleksi “Di Bawah Payung Indonesia”, di Solo, Jawa Tengah, Minggu (13/9/2015).
Membuka acara, Wawan Yogaswara, Pejabat Eselon 3 Ditjen Kebudayaan Kemdikbud menuturkan, kegiatan sarasehan ini merupakan salah satu upaya untuk menggali lebih dalam makna dari payung tersebut.
“Ada dua makna yang tersimpan dalam Sarasehan bertemakan ‘Di Bawah Payung Indonesia’ ini. Pertama, Indonesia sebagai payung bagi masyarakat dan kedua, begitu bermaknanya payung-payung ini di Indonesia sebagai benda yang fungsional,” paparnya.
Kehadiran payung, lanjutnya, tidaklah semata-mata sebagai alat pelindung dari panasnya sinar matahari dan air hujan,melainkan memiliki arti penting di berbagai daerah, baik dalam maupun luar negeri. “Di kawasan penghujan, payung berfungsi sebagai kebutuhan sehari-hari untuk melindungi diri, namun di kawasan Indonesia lainnya, payung menjadi simbol kedudukan seseorang, seperti simbol kekayaan, kehormatan, jabatan, dan sebagainya,” Wawan menambahkan.
Dalam sarasehan tersebut, Taufik Razen (Budayawan) dan Heri Priyatmono (Dosen Sejarah Universitas Samata Dharma, Sejarawan) turut hadir sebagai pembicara. Puluhan peserta yang berasal dari komunitas desa payung dan mahasiswa pun turut meramaikan acara. Para peserta yang hadir cukup antusias memberikan komentar dan kilas sejarah tentang makna payung di daerahnya masing-masing.
Seperti Idah, salah satu perwakilankomunitas dari Makasar. Menurutnya, payung memiliki posisi yang sangat sakral bagi masyarakat Sulawesi Selatan. “Di Sulsel, semakin tinggi kasta, akan mempengaruhi jumlah payung yg dipajang dalam suatu gelaran hajatan,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, ia menambahkan, simbol payung selalu ada dalam setiap momentum dan mempengaruhi interaksi masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Bugis. “Penguasa kebudayaan atau agama, apabila raja berkunjung ke rumah pemuka agama, harus duduk di bawah. Begitupun ssebaliknya, jika penguasa agama berkunjung ke istana, harus duduk di bawah. Kenapa? Karena di atas raja dan penguasa, ada payung. Payung merupakan simbol dan pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat Bugis di Sulsel dan mempengaruhi aktivitas/ interaksi masyarakatnya,” jelas Idah.
Payung sejatinya sering disalahartikan menjadi benda yg tidak bermakna sedalam itu. Hingga pada akhirnya, sarasehan ini menjadi diskusi yg menarik di mana sejarah, mitos, tradisi, dan modernisasi dipadukan dalam sebuah materi bertajuk “Di bawah payung indonesia”.
Payung menjadi ikon bahasa visual yg baru. Di mana payung kini akan/telah menjadi simbol bersama dan kebersamaan. Kehadiran payung di beberapa daerah bahkan menjadi identitas hirarki, hal itu sudah tentu jelas menunjukan bahwa payung bukan sekedar asesoris fashion semata. Namun memiliki makna dalam yang tidak hanya harus dihargai, tetapi juga dihormati.