Sederhana dan bersahaja adalah kata-kata pertama untuk memberi kesan rumah tradisional Jawa yang tersebar di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun dibalik kesederhanaannya ternyata telah menginspirasi bangsa lain dalam membangun sebuah bangunan.
Rumah adat Jawa tidak mempunyai kamar demi sebuah tradisi yang sering mengadakan upacara adat yang mengikutsertakan banyak orang. Hal ini juga menjadikan rumah ini memiliki ruang terbuka yang disebut pendopo. Bukan hanya bisa menampung banyak orang, ruang terbuka ternyata juga memberi kontribusi dalam aspek kenyamanan yaitu dalam hal mengatasi suhu panas ciri khas negara tropis. Bentuk atap pendopo yang lebar dan didukung oleh keberadaan ruang transisi (teras) serta halaman yang ditumbuhi pepohonan menjadikan suhu yang sangat sejuk.
Arsitektur Rumah Tradisional Jawa diam-diam diacu oleh arsitek Belanda pada masa kolonial. Bangsa Belanda yang tinggal pada masa kolonial ingin selalu ingat dan dekat dengan kampung halaman mereka. Mereka men-design kota, perkantoran dan rumah tinggal dengan gaya arsitektur belanda di daerah jajahannya. Namun bangunan dengan gaya arsitektur Belanda yang beriklim dingin ala eropa kurang sesuai diterapkan di iklim tropis Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut arsitek Belanda harus merekayasa rancanangannya. Rekayasa ini diwujudkan dengan adanya teras terbuka, ukuran jendela dan pintu yang besar yang merupakan ciri kas rumah-rumah Tradisional Jawa. Bangunan Lawang Sewu dapat menunjukan secara jelas keberadaan teras ciri khas rumah tradisonal Jawa.
Rumah tradisional Jawa tidak hanya telah menginsipirasi arsitek Belanda untuk menjadikan bangunan lebih terbuka sehingga tetap sejuk di iklim tropis namun ketidakberadaan kamar juga telah membentuk karakter orang Jawa yang berjiwa sosial.