Bagi masyarakat yang kini bermukim di lembah-lembah Lore Lindu, meyakini patung-patung megalit merupakan perwujudan leluhur masyarakat pelaku budaya yang lebih dulu bermukim di lembah tersebut. Bukan pula hal yang aneh, ketika beberapa patung yang akan kita jumpai memiliki nama sebagai identitasnya, diantaranya adalah patung megalit Tadulako di Lembah Behoa yang dimaknai sebagai sosok patung yang melambangkan tokoh pemimpin, kemudian patung megalit Palindo situs Padang Sepe di Lembah Bada yang dimaknai sebagai sosok jenaka dan senantiasa tersenyum. Begitu pula dengan patung megalit di situs Watunongko diberikan nama Tomabolopi karena diyakini sebagai patung seorang wanita atau sesosok ibu dari anak yang bernama Bolopi.
Lore Lindu sejak tahun 1999 telah ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas kawasan 217.991.18 ha, dan dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Kementerian Kehutanan. Dalam pengaturan ruang Taman Nasional Lore Lindu, terdapat zona religi, budaya dan sejarah yang didalamnya mencakup situs religi, peninggalan warisan budaya dan sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan dan perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Peninggalan monumental warisan budaya masa lalu di Lore Lindu pertama kali diteliti oleh Dr. Nicolaus Adriani dan Dr. Albertus Christiaan Kruyt tahun 1898 tentang Van Posso naar Parigi, Sigi en Lindoe. Kawasan Lore Lindu memiliki bentangan dari arah Barat Laut Kota Palu, Sulawesi Tengah hingga arah Tenggara berbatasan langsung dengan wilayah Sulawesi Selatan. Lore Lindu pun memiliki karakteristik bentang lahan yang terdiri dari Lembah Napu, Lembah Behoa, Lembah Bada, Lembah Palu dan Danau Lindu. Berdasarkan pembagian wilayah administratif Provinsi Sulawesi Tengah, bentang lahan tersebut telah terbagi kedalam tiga wilayah yakni Kabupaten Poso, Kabupaten Sigi dan sebagian Palu.
Penemuan hasil jejak kebudayaan penutur Austronesia tersebut diawali dari catatan Alberth Christiaan Kruyt terkait lumpang batu atau dalam bahasa masyarakat setempat menamakannya vatunonju di Lembah Palu. A.C. Kruyt merupakan misionaris berkebangsaan Belanda dan telah bekerja selama 30 tahun di Sulawesi pada masa Hindia Belanda dan muridnya bernama N. Adriani yang juga seorang teolog dan ahli bahasa. Penelitian tersebut merupakan penelusuran pola migrasi prasejarah untuk wilayah suku Toraja Barat. Dari hasil catatan penelitiannya kemudian membuka mata dunia yang membuat peneliti-peneliti Eropa berdatangan ke Sulawesi Tengah diantaranya Killian tahun 1908, Raven tahun 1917, Kaudern tahun 1919, dan Van Heekeren tahun 1957. Kedatangan peneliti dari bangsa Eropa ini menyingkap berbagai persebaran hasil kebudayaan masa lalu yang kemudian diistilahkan sebagai hasil kebudayaan megalitik. Begitu pun juga saat peneliti Indonesia mulai menelusuri secara luas persebaran migrasi kebudayaan masyarakat penutur proto austronesia diantaranya Haris Sukendar tahun 1976 yang melakukan ekskavasi arkeologi di situs Padang Tumpuara, Lembah Bada, penelitian Dwi Yani Yuniawati sejak tahun 2000 hingga sekarang yang masih berupaya mengungkap periodeisasi kebudayaan megalitik di Kawasan Lore Lindu beserta dengan pelaku budaya yang telah punah. Adapun berbagai varian hasil kebudayaan secara bendawi tersebut terdiri dari patung megalitik, kalamba (tong batu), tuatena (tutup kalamba), menhir, batu lumpang, batu dakon, batu lesung, dan tempayan kubur. Peninggalan hasil kebudayaan megalitik ini tersebar di beberapa situs, yakni situs Padang Sepe, Padang Suso, Padang Loga, Pokekea, Tadulako, Padang Lalu, Padang Taipa, Ntowera, Wineki dan Watunonju. Hingga saat ini diketahui persebaran situs-situs megalitik di Lore Lindu yang terhimpun dalam data cagar budaya Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo sebanyak 75 situs yang masing-masing tersebar di Lembah Behoa saat ini berjumlah 23 situs, Lembah Bada 28 situs, Lembah Napu 9 situs, Lembah Palu 8 situs, dan Danau Lindu sebanyak 7 situs hasil kebudayaan megalitik.
Persebaran patung megalit yang ditemukan di beberapa situs kawasan Lore Lindu, memiliki keunikan tersendiri pada setiap patung yang kita jumpai. Dapat dikatakan, bahwa patung megalitik tersebut memiliki varian wajah dan ukuran. Meskipun secara umum pola pengerjaan untuk membentuk anatomi tubuh manusia memiliki alur pembuatan yang sama. Fisik patung menggunakan bahan batu jenis biotit granit dengan komposisi mineral terdiri dari feldspar, kuarsa, biotit, dan mineral opak. Patung batu tersebut umumnya berdiri tegak, walaupun seringkali dijumpai beberapa patung dengan kondisi rebah, bahkan terdapat patung yang sengaja dibuat dengan posisi tidak berdiri tegak. Patung-patung megalit yang memiliki wajah manusia dibentuk tanpa memiliki kaki, hidung berbentuk segi empat dengan kontur hidung diteruskan melengkung keatas, terus menyambung membentuk alis diatas mata yang bulat menonjol, dan dilengkapi dengan bentuk telinga. Badan patung memiliki tonjolan lingkaran mamae (buah dada), diteruskan pada pahatan lengan dan kedua tangan yang menjulur kebawah mengapit bagian genetalia. Penggambaran genetalia pada patung megalit seakan memberikan identitas jenis kelamin antara patung laki-laki dan patung perempuan.