Peristiwa Bandung Lautan Api

0
33706

Setelah meraih kemerdekaan, kondisi keamanan dan pertahanan Indonesia masih belum benar-benar stabil. Kondisi di daerah masih didominasi oleh perebutan kekuasaan serta pertempuran. Salah satu pertempuran yang terjadi ialah pertempuran Bandung Lautan Api. Kejadian ini diawali dengan datangnya pasukan sekutu di bawah Brigade MacDonald pada 12 Oktober 1945. Sejak semula, hubungan antara pemerintah RI setempat sudah memanas. Sekutu meminta seluruh senjata api yang dimiliki penduduk, kecuali milik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Polisi diserahkan kepada Sekutu.

Kondisi Bandung semakin memanas saat orang-orang Belanda yang baru saja bebas dari kamp tahanan mulai melakukan tindakan yang mengacaukan keamanan. Akibatnya, bentrokan antara tentara Sekutu dengan TKR tidak dapat dihindari. Pada malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan–badan perjuangan lainnya melancarkan serangan terhadap markas–markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar Sekutu.

Tiga hari setelah penyerangan markas Sekutu, MacDonald menyampaikan ultimatumnya kepada Gubernur Jawa Barat agar segera mengosongkan wilayah Bandung Utara oleh seluruh warga Indonesia termasuk pasukan bersenjata. Ultimatum tersebut harus dilaksanakan selambat–lambatnya pukul 12.00 tanggal 29 November 1945. Dengan adanya ultimatum tersebut, Sekutu membagi kota Bandung Utara menjadi wilayah kekuasaan mereka sedangkan Bandung Selatan kekuasaan pemerintah RI. Ultimatum dijawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos – pos gerilya di berbagai tempat.

Selama bulan Desember terjadi beberapa pertempuran di berbagai tempat antara lain, Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki dan Viaduct. Sekutu berusaha merebut Balai Besar Kereta Api namun usaha tersebut gagal. Sekutu juga berusaha membebaskan interniran Belanda di Ciater, Sekutu terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di wilayah Lengkong Besar. Memasuki awal tahun 1946, pertempuran semakin berkobar secara sporadis.

Selama pertempuran berlangsung, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan Sekutu melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia. Salah satu serdadu India yang membelot di antaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya saat terjadi pertempuran di jalan Fokker (sekarang jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1946. Tak lama kemudian, pihak Sekutu menghubungi Panglima Divisi III Jenderal A.H Nasution meminta agar pasukan India tersebut diserahkan kembali kepada Sekutu. Nasution menolak. Bukan hanya untuk mengembalikan pasukan India semata, tetapi juga untuk mengadakan pertemuan dengan pihak Sekutu.

Serangan – serangan sporadis dari pasukan Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah membuat posisi Sekutu semakin terdesak. Sekutu memutar otak dengan melakukan pendekatan terhadap pihak petinggi pemerintahan RI. Pada tanggal 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar selambat – lambatnya pada pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer dari pusat kota.

Menanggapi Ultimatum tersebut, Syahrir menugasi Syafruddin Prawiranegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita hadir ke Bandung. Baik Jenderal Mayor Nasution maupun aparat pemerintah menolak Ultimatum sebab, sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat. Mereka menemui Mayor Jenderal Hawthorn meminta agar batas Ultimatum diperpanjang. Sementara itu, pihak Sekutu terus menyebarkan pamflet berisi tentang berita Ultimatum tersebut. Sore hari tanggal 23 Maret 1946, Nasution ikut ke Jakarta bersama Syafruddin dan Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana Menteri Syahrir.

Dengan alasan menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari kehancuran, Syahrir mendesak Nasution agar memenuhi Ultimatum tersebut. Syahrir berpendapat bahwa TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu. Esok harinya, Nasution kembali ke Bandung untuk sekali lagi melakukan negosiasi terkait penundaan pelaksanaan Ultimatum. Namun, tentara Sekutu tetap pada pendiriannya menolak penundaan Ultimatum. Sebaliknya, Nasution juga menolak tawaran Sekutu yang hendak meminjamkan seratus truk untuk membawa pasukan Indonesia ke luar kota.

Dalam pertemuan yang diadakan Nasution dengan para Komandan TRI para pemimpin laskar dan aparat pemerintahan dicapai kesepakatan untuk membumihanguskan Bandung sebelum kota itu ditinggalkan. Menurut rencana, bumi hangus akan dilakukan pada tanggal 24 Maret pukul 00.00. Ternyata, bumi hangus dilaksanakan lebih awal yakni pukul 21.00. Gedung pertama yang diledakkan ialah Bank Rakyat. Disusul dengan pembakaran tempat seperti Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegalega. Anggota TRI membakar sendiri asrama – asrama mereka. Pada malam tanggal 24 Maret 1946 bukan hanya pasukan bersenjata yang meninggalkan kota Bandung dan seketika kota itu terbakar.

 

Sumber : Djanoed Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.