Layar panggung menyala, cahayanya membuat ruang gelap gedung pertunjukan di Taman Ismail Marzuki itu bernuansa bioskop. Film diputar, pria usia 50-an tahun dengan setelan jas putih berdiri di podium, memerankan bapak proklamator yang berpidato saat sidang Dokuritsu Junbi Chosakai tanggal 29 Mei 1945. “Pantjasila: Cita-cita dan Realita”, itulah judul film yang diputar sore itu mengawali rangkaian acara “Merayakan Indonesia Raya”.
Film tersebut adalah film monolog, menampilkan sosok Soekarno seorang sepanjang hampir 79 menit. Film ini tidak mengagungkan aspek sinematografi, tidak memamerkan dekorasi, apalagi menjual aktor. Fokus film garapan Tio Pakusadewo dan Tino Sareongallo ini adalah kekuatan verbal, diksi, intonasi dan isi orasi. Film dokumenter ini hanya mencoba menghadirkan kembali pidato fenomenal yang melahirkan pancasila sebagai dasar negara.
Menurut sang sutradara, Tino, pidato tersebut merupakan salah satu titik awal perjalanan bangsa. Disini, upaya Direktorat Jenderal Kebudayaan menyajikan film ini relevan karena diputar dalam peringatan sumpah pemuda, yang juga titik awal perjalanan kemerdekaan bangsa, bahkan jauh sebelum kelahiran pancasila.
Usai pemutaran “Pantjasila: Cita-cita dan Realita”, Soekarno (Tio Pakusadewo) muncul diatas panggung. Menggunakan busana “Indonesian dandy” yang menjadi ciri khasnya. Dengan suara yang bergelora, menghadirkan kembali sosok aslinya. Memberikan pidato dihadapan para hadirin yang khidmat mendengarkan.
“Pancasaila harus diperjuangkan” ujarnya. Semua demi mewujudkan Indonesia yang damai, kekal, dan abadi.
(Dibuat dalam rangka peringatan sumpah pemuda yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan di Taman Insmail Marzuki)