Proklamasi di Tanah Rencong, Teuku Moehammad Hasan

Teuku Moehammad Hasan

Bogor (18/8) Teuku Moehammad Hasan lahir di Desa Peukan Set, Sigli Aceh pada 4 April 1906 dari pasangan Bintara Pineung Ibrahim dan Cut Mayak. Ayahnya adalah Uleebalang (Zelfbestuurder) di Landschap Pineueng sedangkan ibunya merupakan anak ulama terkenal di Aceh Teungku Mahmud.

Pada 1915 T. Moehammad Hasan masuk Sekolah Rakyat di Lampoih Saka. Setelah tamat dari SR, T. Moehammad Hasan disekolahkan di Sekolah Dasar Belanda di Sigli. Setelah itu, Ia masuk Koningin Wilhelmina School di Betawi (Batavia-Jakarta). Di sini, Ia tinggal di sebuah asrama. T. Moehammad Hasan belajar dengan pola self study. Ia bahkan mempelajari sendiri Bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Dalam mengikuti pelajaran di KWS, Ia tergolong anak yang cerdas. Ia juga menguasai pelajaran al-jabar (berhitung).

Setamat dari KWS, T. Moehammad Hasan masuk Algemeene Middelbare School (AMS) dan setelah selesai melanjutkan ke Fakultas Hukum di Jakarta. Masuknya ke Fakultas Hukum ini atas saran temannya, karena hampir semua jabatan gubernur jenderal berlatar belakang pendidikan sarjanan hukum (Mr.). Padahal, sebelumnya T. Moehammad Hasan ingin masuk sekolah teknik, mengingat nilai aljabarnya yang selalu baik.

Moehammad Hasan kuliah hukum di Universitas Leiden, Belanda, ketika usianya 25 tahun. Di sana T. Moehammad Hasan sering menghadiri rapat-rapat Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipelopori oleh Mohammad Hatta, Ali Sastroamodjojo, Abdul Madjid Djojodiningat, dan Nasir Datuk Pamuntjak. Ia sering ikut rapat-rapat PI di berbagai kota di Belanda, dan di sini pula Ia berkenalan dengan Mohammad Hatta.

Pada November 1933, T. Moehammad Hasan lulus dan mendapat gelar Meester in de Rechten (Master of Law) di Leiden, Belanda. Pada Desember 1933 Ia pulang ke tanah air. Ketika kembali ke tanah air, T. Moehammad Hasan diperiksa dengan ketat. Buku-bukunya disita oleh Belanda untuk diperiksa. Segala gerak-geriknya terus diawasi Belanda.

Sesampainya di Kutaraja, Aceh, T. Moehammad Hasan menjadi pegiat di bidang agama dan pendidikan. Ia bergabung dengan Muhammadiyah sebagai konsul di bawah pimpinan R.O. Armadinata. Di dunia pendidikan, T. Moehammad Hasan ikut mempelopori berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh). Organisasi ini memiliki visi untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas, tapi tak mampu untuk sekolah. Ia juga menjadi komisaris Perkumpulan Usaha sama akan Kemajuan Anak (PUSAKA), yang tujuannya untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda, seperti HIS. Selain itu, Ia mendirikan Perguran Taman Siswa di Kutaraja pada 11 Juli 1937. Ia menjadi ketua di lembaga yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara ini

Awal Agustus 1945, Jepang menginstruksikan T. Moehammad Hasan untuk pergi ke Jakarta. Pada 11 Agustus 1945, Ia kembali ke Medan, dan bersiap berangkat ke Singapura pada 12 Agustus 1945. Pada 14 Agustus 1945, rombongan yang terdiri dari Sukarno, Mohammad Hatta, Dr. Amir, dan T. Moehammad Hasan berangkat menuju Jakarta.

Sehari kemudian, Jepang menyerah pada Sekutu. Pada 16 Agustus 1945, diadakan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), namun rapat itu batal karena Sukarno dan Hatta diculik kelompok pemuda ke Rengasdengklok. Malam hari, T. Moehammad Hasan mendapat undangan rapat pada pukul 00.00 di rumah Laksamana Maeda (kini Museum Perumusan Naskah Proklamasi).

Pada 18 Agustus 1945, menurut T. Moehammad Hasan, PPKI menetapkan UUD di Pejambon, Jakarta. Sukarno menambahkan 6 anggota baru dalam PPKI, menjadi 27 orang. T. Moehammad Hasan sendiri merupakan bagian dari anggota PPKI itu. Dalam proses perumusan UUD 1945, terjadi perdebatan antara anggota PPKI mengenai kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”,T. Moehammad Hasan adalah salah satu tokoh yang menjadi arsitek penghapusan 7 kata Piagam Jakarta, sehingga tercapai persatuan dan kesatuan.

Pada 22 Agustus 1945, Sukarno mengangkat T. Moehammad Hasan sebagai wakil untuk seluruh daerah Sumatra dan diberi kuasa penuh untuk melaksanakan segala keputusan PPKI. Pada 24 September 1945, didampingi Mohammad Amir, T. Moehammad Hasan berangkat ke Palembang untuk memberi penjelasan soal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kemudian dilanjutkan ke Jambi, Bukittinggi, Tarutung, Medan, dan Pematang Siantar. Pada 29 September 1945, T. Moehammad Hasan dipercaya memegang jabatan Gubernur Sumatra.

Pada 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi militernya yang kedua. Yogyakarta, yang menjadi ibu kota negara saat itu berhasil dikuasai Belanda. Pembentukan PDRI dimulai sejak 19 Desember 1948 di Bukittinggi dengan sebuah rapat di Bukittinggi, dipimpin T. Moehammad Hasan sebagai Ketua Komisaris Pemerintah Pusat. Namun, Bukittinggi dibom Belanda. Belanda pun sudah mendarat di Danau Singkarak. Situasi yang tidak menentu ini memaksa rapat tidak diteruskan.

Di tengah situasi yang tidak menentu, sore harinya Mr Syafruddin Prawiranegara berkunjung ke rumah T. Moehammad Hasan. Syafruddin lalu menerangkan situasi di Yogyakarta kepada T. Moehammad Hasan. Ia melaporkan, masa krisis menimpa republik. Kedua tokoh ini berdiskusi, dan akhirnya mengambil langkah pembentukan pemerintah darurat di Sumatra. Kemudian disepakati, Syafruddin bertindak sebagai ketua, sedangkan T. Moehammad Hasan sebagai wakil ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Di Halaban, dekat Bukittinggi, PDRI diproklamirkan dan kabinetnya disusun. T. Moehammad Hasan wafat pada 21 September 1997 di usia 91 tahun. Pada 3 November 2006, dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 085/TK/Tahun 2006, pemerintah menobatkannya sebagai pahlawan nasional. (Doni Fitra)