You are currently viewing Prasasti Sanghyang Tapak

Prasasti Sanghyang Tapak

  • Post author:
  • Post category:Cagar Budaya

Prasasti Sanghyang Tapak
Batu Pasir
Sungai Cicatih dan Pangcalikan, Bantarmuncang, Sukabumi, Jawa Barat
Aksara Jawa Kuno tipe Kuadrat
Bahasa Jawa Kuno
Tahun 952 Śaka (= 1030 Masehi)
Tg. 82 – 93 cm; Lb. 61 – 73 cm; Tb. 12 – 23 cm
No. Inv. D. 73; D. 96; D. 97; dan D. 98.

D73-Jayabhupati-I-Sang-Hyang-Tapak.jpg
D97-Jayabhupati-III-Sang-Hyang-Tapak

D98-Jayabhupati-III-Sang-Hyang-Tapak-III

 

 

 

 

 

D96 Jayabhupati II - Sang Hyang Tapak I
D96 Jayabhupati II – Sang Hyang Tapak I

Prasasti Sanghyang Tapak terdiri dari dua prasasti, yaitu Sang Hyang Tapak I dan Sanghyang Tapak II yang dipahatkan pada empat batu alam mengandung pasir. Saat ini prasasti Sanghyang Tapak I dan II disimpan di Museum Nasional dan diberi nomor inventaris D. 73; D. 96; D. 97; dan D. 98. Keempat batu bertulisan ini ditemukan di dua tempat yang berbeda.
Berdasarkan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1890 dan 1891, prasasti yang
bernomor inventaris D. 73 ditemukan ditepi Sungai Cicatih, dekat stasiun kereta api Cibadak,
Sukabumi. Sedangkan menurut Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1897, 1898, dan
1899, prasasti yang bernomor inventaris D. 96; D. 97; dan D. 98 ditemukan di bukit
Pangcalikan, Bantarmuncang, Sukabumi. Prasasti bernomor inventaris D. 73, D. 96, dan D.
97 merupakan prasasti Sang Hyang Tapak I, dan yang bernomor inventaris D. 98 merupakan
prasasti Sang Hyang Tapak II. Kedua prasasti tersebut memiliki angka tahun yang sama,
yaitu 952 Śaka.

Isi prasasti Sanghyang Tapak I dan II saling berkaitan. Prasasti Sanghyang Tapak I memuat
keterangan bahwa pada bulan Kārttika, paro-terang, tahun 952 Śaka ketika raja Sunda
bernama Mahārāja Śrī Jayabhūpati Jayamanahĕn Wiṣṇumurtti Samarawijaya
Śakalabhūwaṇamaṇḍalaleśwaranindita Haro Gowārdhana Wikramottuṅgadewa menetapkan
semacam daerah larangan (tĕpĕk) di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan atau
daerah tertutup itu berupa sebagian dari sungai, yang kemudian dinyatakan tertutup atau tidak diperbolehkan untuk segala macam penangkapan ikan dan penghuni sungai lainnya.
Sementara itu ditetapkan pula batas-batasnya, di hulu sungai berbataskan dengan tempat
pemujaan, dan perbatasan di hilir adalah yang terdapat dua batu besar. Demi peneguhan
keputusan ini maka dibuatkan prasasti. Keterangan terakhir dari prasasti Sang Hyang Tapak
I ini adalah bahwa raja Sunda mengucapkan sumpah atau kutukan. Mengenai para Dewa dan
leluhur yang dijadikan saksi dan macam sumpah yang dilontarkan bagi pelanggar keputusan
sang raja diuraikan lebih lanjut dalam prasasti Sang Hyang Tapak II.

Prasasti Sanghyang Tapak II merupakan kelanjutan dari prasasti Sanghyang Tapak I yang
memuat angka tahun 952 dan langsung menyebutkan para Dewa dan leluhur yang diminta
menjadi saksi pengucapan sumpah ini. Barang siapa yang melanggar ketetapan ini akan
terkena sumpah, yaitu terbelah kepalanya, terpotong ususnya, terisap otaknya, dan terbelah
dadanya. Sumpah itu berlaku untk sepanjang masa. Pengaruh sumpah ini secara tidak
disadari masih terasa sampai sekarang, karena tidak ada yang berani mandi di daerah tersebut. Dari gelarnya, raja Jayabhūpati adalah penganut Hindu aliran Waisnawa, seperti
juga dengan raja Airlangga yang berkuasa di Jawa Timur pada abad yang sama sebagai
penganut Hindu Waisnawa.