You are currently viewing VANDALISME DI MUSEUM

VANDALISME DI MUSEUM

  • Post author:
  • Post category:Berita

Pada tanggal 20 Oktober hingga 20 Nopember 2016 kemarin, Museum Sumpah Pemuda mengadakan acara Pameran Temporer untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke – 88 yang mengangkat tokoh dari peristiwa Kongres Sumpah Pemuda II yaitu dr. Moewardi. Dalam rangka menyukseskan acara pameran ini sekaligus memperkenalkan tokoh pahlawan nasional kepada peserta didik, maka panitia sengaja mengundang beberapa sekolah untuk berkunjung ke Pameran Temporer tersebut. Ada beberapa sekolah yang menyatakan bisa hadir  dan ada pula sekolah yang menyatakan ketidaksanggupannya untuk hadir dengan berbagai alasan. Hal ini bisa dipahami karena undangan untuk sekolah ini bersifat sukarela dan diusahakan tidak memberatkan siswa maupun wali murid.

Ada beberapa sekolah yang diundang datang sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh panitia. Namun ada pula sekolah yang meskipun tidak diundang, juga datang ke Museum Sumpah Pemuda. Alhasil Museum Sumpah Pemuda menjadi penuh dengan anak – anak peserta didik dari berbagai macam sekolah. Bayangkan jika satu sekolah saja membawa peserta dua kelas, dan masing – masing kelas minimal terdiri dari 30 murid. Apalagi berbarengan dengan sekolah lain yang serupa. Maka bisa dibayangkan betapa penuhnya Museum Sumpah Pemuda, yang memang memiliki area kecil, dengan anak – anak. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ini memiliki respon yang positif dari peserta didik apabila dilihat dari antusiasme para peserta didik ini untuk datang dan selanjutnya dengan tekun mengikuti rangkaian penjelasan dari edukator Museum Sumpah Pemuda.  Respon positif tersebut tentu saja perlu diapresiasi meskipun  ada pula respon yang negatif. Respon negatif ini ditunjukkan melalui adanya tindakan vandalisme. Memang Museum Sumpah Pemuda sudah dilengkapi dengan sistem pengamanan yang baik dengan adanya CCTV dan Satuan Petugas Keamanan. Namun tidak seimbangnya jumlah pengunjung dan petugas menyebabkan ada kegiatan vandalisme yang tidak terawasi oleh petugas. Juga kata – kata “dilarang menyentuh” yang diletakkan di dekat koleksi nampaknya juga diabaikan.

 

Vandalisme

Vandalisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya) atau dapat pula diartikan sebagai perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Artinya di sini terdapat unsur kesengajaan dari pelakunya. Kalau vandalisme kita hubungkan dengan koleksi sejarah, secara khusus koleksi Museum Sumpah Pemuda, maka berdasarkan data selama adanya Pameran Temporer dr. Moewardi terjadi tiga kali tindakan vandalisme. Pertama adalah pada tanggal 27 Oktober 2016, dengan copotnya ukiran pada ujung atas kursi pada koleksi mebel. Kedua, copotnya surat kabar pada diorama patung yang terdapat pada ruangan PPPI dan IM. Dan yang ketiga, adanya sampah plastic bekas bungkus makanan pada lengan patung membaca surat kabar pada ruangan PPPI dan IM. Peristiwa kedua dan ketiga terjadi pada hari yang sama yaitu Senin, 7 Nopember 2016. Tiga kejadian ini sama – sama terjadi pada waktu museum padat dengan pengunjung yang berusia sekolah (SD sampai dengan SMA). Berdasarkan kenyataan ini maka yang berpotensi besar menjadi pelaku vandalisme adalah anak – anak sekolah.

 

Karakter Anak Usia Sekolah

Anak – anak usia sekolah memiliki rentang usia 6 hingga 21 tahun. Pada usia ini, anak – anak belajar untuk mengenali lingkungannya dan bersosialisasi. Pada anak – anak usia SD (6 hingga 12 tahun), umumnya memiliki karakter senang bergerak (aktif), senang bermain, senang melakukan sesuatu secara langsung, dan senang bekerja dalam kelompok. Sehingga apabila anak – anak SD ini diajak ke museum, maka sangat wajar jika ada keinginan – keinginan untuk menyentuh langsung terhadap benda – benda koleksi museum yang didasari rasa keingintahuan mereka. Karakter tersebut kemungkinan menghasilkan tindakan – tindakan vandalistis.

Anak – anak dengan usia SMP (12 sampai 15 tahun) atau sering kali disebut masa remaja atau pubertas, umumnya mengalami krisis identitas dan kontrol diri yang lemah. Kedua hal ini juga rentan menyebabkan tindakan vandalistis. Krisis identitas ini menyebabkan anak bergabung pada kelompok – kelompok tertentu untuk mencari jati dirinya sehingga terjadi kebergantungan kuat dengan kelompok – kelompok sebaya disertai semangat komformitas tinggi. Sedangkan kontrol diri yang lemah pada masa ini menyebabkan anak – anak remaja tidak dapat membedakan apakah tingkah laku mereka diterima atau tidak pada lingkungannya. Apabila anak – anak yang seperti ini tidak diarahkan, maka bisa memicu tindakan vandalistis. Anak – anak yang melakukan tindakan vandalistis, seperti merusak koleksi museum, supaya terlihat keren di kelompoknya dan tujuan akhirnya diterima dalam kelompok tersebut. Meskipun pada kenyataannya, perbuatan vandalistis yang mereka lakukan dianggap tidak baik dalam lingkungannya.

Untuk anak – anak usia SMA (16 hingga 21 tahun), umumnya memiliki sikap yang mulai bertanggung jawab terhadap dirinya, meskipun masih ada juga sikap emosional. Karakter ini memberi kemungkinan yang lebih kecil terhadap tindak vandalistis, meskipun masih ada yang melakukannya.

Selain ketiga hal di atas, perlu pula memahami gaya belajar dari anak – anak usia sekolah ini. Ada tiga gaya belajar yang dikenal yaitu, visual, auditori, dan kinestetik. Anak – anak dengan gaya belajar kinestetik cenderung akan bertindak vandalistis karena anak – anak dengan gaya belajar kinestetik memiliki kecenderungan untuk menyentuh, merasakan dan memegang sesuatu untuk bisa lebih memahami informasi yang disampaikan. Apabila lingkungannya berada di museum, maka anak – anak dengan gaya belajar ini akan cenderung memegang benda – benda koleksi museum, karena mereka akan lebih mudah memahami informasi yang disampaikan mengenai benda koleksi tersebut. Hal ini berbeda dengan anak dengan gaya belajar visual, di mana dengan melihat benda koleksi dan membaca labelnya saja mereka sudah mampu mengerti informasi yang disampaikan, maupun anak dengan gaya belajar auditory, di mana mereka sudah memahami yang dimaksud dengan hanya mendengarkan penjelasan dari edukator. Kebutuhan untuk menyentuh benda koleksi ini yang sering tidak disadari bisa meningkatkan resiko kerusakan koleksi.

 

Antisipasi Tindakan Vandalistis

Pengenalan kita terhadap karakter peserta didik berdasarkan usia dan gaya belajar membuat kita bisa mengidentifikasi kecenderungan perilaku vandalistis. Meskipun juga harus disadari bahwa ada pula  anak – anak yang berkelakuan tidak sesuai dengan karakter umum yang telah dijelaskan di atas, yaitu anak – anak yang butuh perhatian khusus. Museum sebagai lembaga yang menyampaikan informasi sejarah kepada masyarakat perlu sekali untuk memperhatikan hal – hal yang berkaitan dengan vandalisme ini karena berhubungan dengan kelestarian benda – benda koleksi bernilai sejarah yang keberadaannya sudah langka. Anak – anak sekolah yang meskipun memiliki potensi sebagai vandal (pelaku vandalism), tapi mereka juga merupakan salah satu pengguna museum yang juga perlu untuk diakomodasi sesuai kebutuhannya. Mengingat mereka merupakan pengunjung museum yang frekuensi maupun jumlahnya termasuk banyak. Pemberlakuan aturan yang ketat selama berkunjung di museum dan memberikan peringatan di sana – sini tak akan efektif untuk menghilangkan tindakan vandalistis mereka selama kebutuhan mendasar mereka tidak dipenuhi. Pembuatan replika benda koleksi yang memang dikhususkan untuk dipegang pengunjung, maupun mengadakan kegiatan – kegiatan atau membuat permainan – permainan yang melibatkan pengunjung anak – anak sekolah, agar anak – anak ini secara aktif mengalami sendiri pengalaman belajar, sehingga mampu mengakomodasi kebutuhan untuk menyentuh, memegang, merasakan, serta bergerak aktif, perlu diadakan di setiap museum untuk menekan tindakan vandalistis yang mengancam kelestarian benda koleksi yang bernilai budaya nasional.

Oleh Setyo Wahyuni (Konservator di Museum Sumpah Pemuda)