You are currently viewing Peranan Gedung Kramat 106 Dalam Mempersiapkan Sumpah Pemuda

Peranan Gedung Kramat 106 Dalam Mempersiapkan Sumpah Pemuda

Mahasiswa-mahasiswa yang menuntut sesuatu ilmu di Jakarta umumnya menyewa suatu tempat, dan ditempat itu mereka bayar makan (In de kost). Tempat ini merupakan suatu asrama, yang selain dari tempat tinggal juga digunakan untuk latihan kesenian dan diskusi-diskusi politik. Mahasiswa-mahasiswa dari suku Jawa yang berkumpul dalam Jong Java juga menyewa suatu tempat yang terletak di Jalan Kwitang No.3.

Kemudian karena tempat tak mengijinkan lagi dan sempit, maka dirasakan sangat perlunya untuk menyewa gedung lain dan pilihan jatuh pada gedung yang terletak di jalan Kramat No.106, kejadiannya pada tahun 1925. Tempat ini dijadikan oleh pemuda Jong Java untuk tempat tinggal, tempat diskusi politik, dan tempat latihan kesenian Jawa “Langen Siswo”. Anggota Jong Java yang ikut latihan langensiswo terutama berasal dari pelajar-pelajar (Mahasiswa) STOVIA.

Pemuda-pemuda dari Jong Java menggunakan gedung Kramat 106 sebagai tempat untuk latihan tari-tarian, dan pertemuan-pertemuan yang sudah berbau politik. Kemudian sesudah Kongres Pemuda I tahun 1926, timbullah keinginan dari para pemuda untuk mengadakan persatuan yang berdasarkan nasional, jadi bukan berdasarkan kedaerahan lagi.

Ide persatuan itu semakin lama semakin nampak dan pada masa-masa sekitar tahun 1927 perasaan kedaerahan itu sudah kabur, walaupun peleburan itu (Fusi) belum secara resmi.

Pada tahun 1927 itu juga sekolah STOVIA ditingkatkan nilainya menjadi Sekolah Tinggi Kedokteran. Disamping sekolah tinggi kedokteran juga terdapat Sekolah Tinggi Hakim.

Golongan mahasiswa di Jakarta dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

  1. Golongan mahasiswa nasional. Kelompok ini tetap mempertahankan kepribadiannya, mereka senantiasa memakai sarung dan peci untuk mahasiswa-mahasiswa luar Jawa, dan blangkon untuk mahasiswa yang berasal dari Jawa. Muncullah perkataan swadesi dalam kelompok ini.
  2. Kelompok USI (United Studiosorum Indonesis) Kelompok ini telah meninggalkan kepribadian nasional, mereka lebih suka berpakaian secara barat, dan dansa-dansi ala barat.

Didalam diskusi pergerakan pemuda pada tahun 1927, gedung Kramat 106 tidak hanya dipakai oleh pemuda Jong Java, tetapi sering dipakai oleh golongan mahasiswa nasional lain, dan organisasi kepanduan. Golongan mahasiswa nasional ini tidak lagi terdiri dari satu suku, tetapi telah terdiri dari bermacam-macam suku, dan bermacam-macam perguruan tinggi yang ada di Jakarta.

Pada permulaan tahun 1928 gedung Kramat 106 ini merupakan tempat pertemuan pemuda nasional. Gedung ini mereka beri nama “Indonesische Clubgebow” (IC). Nama inilah yang kemudian terkenal sebagai gedung bersejarah. Papan nama IC mereka pancangkan di muka gedung Kramat 106, tindakan ini merupakan peristiwa bersejarah dimana para pemuda telah berani menggunakan nama Indonesia. Dimana pada waktu itu dilarang menonjolkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Jadi para pemuda kita tidak merasa gentar memancangkan nama perkumpulannya di gedung Kramat 106 itu.

Gedung Kramat 106 disamping tempat melakukan perdebatan politik, juga terdapat ruangan yang berisi koran-koran, buku-buku, dan meja bilyar. Disamping Indonesische Clubgebow, gedung ini juga diberinama “Indonesische Clubhuis”.

Dibagian belakang dari gedung itu terdapat beberapa kamar berukuran kecil yang dipakai oleh beberapa mahasiswa untuk tempat tinggal. Diantara pemuda yang pernah menempati gedung ini terdapatlah Moh. Yamin, Amir Sjarifuddin, Surjadi (Surabaya), (Surjadi Jakarta), Asaat, Abu Hanifah, A.K Gani, Hidajat, F. Lumban Tobing, Sunarko, Kuntjoro, Amir, Rusmali, Tamzil, Sumanang, Sambudjo,Urip, Mokoginta dan Hasan.

Para pemuda yang tinggal digedung ini umumnya membayar makan (In de kost) sekitar F7,50 sebulan. Kebanyakan dari mereka ini berasal dari keluarga yang kekuatan ekonominya biasa (Keluarga yang tidak berada), tetapi mereka mempunyai kemauan yang besar untuk belajar dan berjuang bagi kepentingan nasional. Hampir semuanya dari mereka ini kemudian menjadi pemimpin-pemimpin Indonesia diberbagai bidang.

Seringkali sehabis makan malam bersama, para pemuda itu tidak terus beranjak dari kursinya, ada saja masalah kemasyarakatan yang diperdebatkan. Teman-teman mereka yang lain biasanya ikut ambil bagian, mereka mengambil kursi sendiri-sendiri, dan semakin lama lingkaran diskusi semakin besar, pembicaraan tentang soal politik dan kemasyarakatan semakin lama semakin hangat. Diskusi serupa ini hampir diadakan setiap malam dan sering kali berakhir hingga larut malam. Indonesische Clubgebouw (IC) dijalan Kramat 106 merupakan arena diskusi bagi para pemuda pejuang waktu itu.

Disamping itu para pemuda juga berusaha mendidik diri sendiri, mereka sudah menggariskan pada tahun 1928 itu, bagaimana caranya seorang pemimpin mendekati rakyat. Para pemimpin harus dekat dengan rakyat dan menyelami jiwa rakyat.

Pemuda harus menjadi seorang nasionalis sejati yang demokratis modern. Pemuda dari suatu daerah harus mengerti dan memahami bahasa dan kebudayaan daerah lain untuk lebih memantapkan perasaan nasional.

Diinsyafi bahwa pemimpin harus berjiwa bersih dan bilamana menyeleweng rakyat berhak dan harus menurunkan, dan menggantinya dengan orang lain.

Pemuda-pemuda kita dari tahun 1928 boleh dikatakan pemuda idealis utopis menurut ukuran waktu itu. Mereka mempunyai cita-cita yang sangat tinggi, padahal situasi dan kondisi waktu itu sama sekali belum membayangkan adanya kemungkinan untuk mencapai tujuan, yakni terutama kemerdekaan bagi Indonesia.

Mereka berbicara tentang tanah air, bangsa, bahasa, dan negara yang merdeka padahal politik pemerintah Hindia Belanda sangat keras untuk hal yang biasa sekalipun. Tetapi sejarah manunjukan bahwa cita-cita yang seakan-akan idealis utopis itu, berkat ridho dari Tuhan Yang Maha Kuasa akhirnya tercapai juga.

Pemuda kita terutama di gedung Kramat 106 yang datang dari keluarga yang tidak kaya dalam arti material, ternyata banyak diantaranya yang mempunyai keberanian yang tinggi. Secara perorangan pemuda-pemuda itu juga mempunyai rasa tidak mau kalah dengan pemuda Belanda. Mereka itu giat belajar sehingga seringkali mendapat nilai yang lebih tinggi dari sinyo-sinyo belanda, bahkan dalam mata pelajaran bahasa Belanda sekalipun.

Organisasi pemuda itu kedalam juga diatur dengan baik, pada waktu itu semua organisasi pemuda telah menyelenggarakan registrasi yang cermat, semua anggota mesti didaftar dulu. Menjadi pemimpin suatu organisasi pemuda juga tidak mudah, dan salah satu persyaratannya ialah bahwa pemuda itu sendiri harus juga mencapai prestasi  dalam pelajaran sekolah atau kuliahnya, jadi ia harus maju dalam studinya.

Apabila ada seorang pemuda yang berlagak pandai dan coba-coba tampil kedepan mimbar untuk pidato, ia pasti akan mendapat cemoohan dan teriakan “belajar dulu bung”. Dengan demikian pemuda-pemuda yang hanya gembar-gembor itu dapat dicegah untuk memainkan peranan yang tidak menguntungkan.

Pada masa persiapan menyongsong sumpah Pemuda, gedung Kramat 106 dijadikan sebagai tempat pusat perdebatan dalam merumuskan persoalan.

Disamping gedung Kramat 106 para pemuda juga mengadakan pertemuan-pertemuan yang sifatnya sekali-sekali dibeberapa tempat seperti

  1. Gedung Oost Java Bioscoop, jalan Medan Merdeka Utara no. 14 (gedung Pemuda) yang sekarang sudah dibongkar dan menjadi kantor Mahkamah Agung
  2. Gedung Khatolieke Jongenlingen Bond, jalan Lapangan Banteng.
  3. Gedung Rumah Setan (sekarang dipakai Kantor PT Kimia Farma, Jalan Budi Utomo).

Tempat – tempat ini mereka sewa dalam rangka  pertemuan tersebut. Disamping itu pula diketahui bahwa kegiatan pemuda Kramat 106 mempunyai hubungan dengan tempat-tempat lainnya yaitu :

  1. Gedung Husni Thamrin di :”Gang Kenari”, dan ditempat itu terdapat juga sekarang seorang pemuda Suwirjo. Gedung ini disediakan oleh Husni Thamrin kepada kaum pergerakan untuk kegiatan politik khususnya untuk rapat-rapat besar.
  2. Gedung “Perguruan Rakyat” di Salemba yang didirikan di Salemba oleh Mr. Sunario, Mr. Dr. Moh. Nazif, Angran Sudirjo, A. Mononutu,  pada 11 desember 1028 dan disana terdapat Wilopo dan lain-lain sebagai guru-gurunya. Pemuda Moh.Yamin dan lain-lain senantiasa mondar-mandir ke “Perguruan Rakyat” dan gedung “Husni Thamrin”.

Sumber : Buku Peranan Kramat Raya