W.J. Th. Tangkau 1: Beberapa Pengalaman Dari Masa Dinas Sebagai Dokter Bumi Putra 1901-1912

0
584

Kejadian ini tercatat sebagai “tumor paha yang keras” pada seorang anak berusia tiga tahun. Pada 1902, hampir belum meninggalkan bangku sekolah, W.J. Th. Tangkau bekerja di poliklinik kota di Batavia saat itu dengan gaji awal f 70 per bulan. Tidak banyak, tetapi W.J. Th. Tangkau mempunyai hak untuk membuka praktik kedokteran dan kebidanan. Penuh ide untuk bisa membantu umat manusia yang menderita dengan pengetahuan kedokteran yang diperoleh. Bantuan W.J. Th. Tangkau diminta oleh seorang gadis bumi putra berusia 3 tahun yang sakit, yang ayahnya (seorang tua, karena kekurangan bakat dipecat dari sekolah Dokter Djawa) memiliki penghasilan yang baik dalam jurnalistik bumi putra dan menghendaki W.J. Th. Tangkau sebagai dokter rumah tangga.

Segera W.J. Th. Tangkau menemukan gejala-gejala: tumor dan dolkor, tetapi tidak ada calor. Tumor ini berada di sisi belakang seluruh paha kanan dan mencapai tulang ekor. Paha yang sakit ditetapkan pada setengah lipatan, sendi pinggul tidak sakit, juga tidak terasa dalam gerakan. Tentang kalor dan demam tidak dilaporkan tetapi dari laporan penyakit W.J. Th. Tangkau mengetahui dari ibu, yang pada malam hari merasakan panas tinggi pada pasien ini dan sering tidak tenang.

Tumor itu dimana-mana terasa mengeras, fluktuasi tidak terjadi, juga tidak ada busung kolateral. Namun demikian, dalam lima menit, setelah dengan wajah sangat serius memperhatikan “kejadian” ini dan meraba dengan hati-hati, diagnose W.J. Th. Tangkau menegaskan: abses yang terletak di dalam biasanya dan teringat pada kata-kata yang diucapkan oleh pengajar dalam ilmu bedah “ubi pus evacua”, segera menjadi terapi W.J. Th. Tangkau. Dengan sangat hati-hati W.J. Th. Tangkau memberitahukan orang tuanya bahwa di sini tidak ada cara lain dan juga lebih mudah untuk mengobatinya kecuali mengeluarkan abses itu; dan W.J. Th. Tangkau segera melanjutkan, ”Saya akan pergi mengambil peralatan, selama seperempat jam saya kembali untuk melakukan operasi kecil”. Orangtua itu saling menatap, dan sungguh aneh bagi W.J. Th. Tangkau bahwa mereka tidak menunjukkan kepercayaan pada diagnose W.J. Th. Tangkau. Sang ibu bertanya dengan rasa cemas,”Apakah begitu mudah tampaknya dan apakah W.J. Th. Tangkau tidak ingin lagi melihat anak yang sakit itu, dan seterusnya”.

“Oh tidak, ibu. Ada abses yang tertanam di dalam dan saya tidak lagi bisa menunda operasi”. Tanpa menunggu keberatan lebih lanjut dari pihak orangtua (sang ayah hanya menatap W.J. Th. Tangkau dengan rasa sedih) W.J. Th. Tangkau segera menuju poliklinik kota dan mengambil sebuah bistomi yang sudah steril dengan peralatan perban terkait. Dalam waktu setengah jam, W.J. Th. Tangkau kembali berdiri di dekat ranjang dan bertindak seolah-olah tidak mendengar lontaran keberatan dari pihak ibu, bahwa operasi bagi seorang anak yang begitu lemah mungkin akan berakibat fatal. W.J. Th. Tangkau melakukan operasi itu dengan cepat, sesuai keyakinan W.J. Th. Tangkau tentang kepastian diagnose yang dilakukan. Bistomi ini menusuk sampai pegangannya pada bengkak yang mengeras dan dengan kemunculan goresan sedikit, nanah kental dengan tekanan sedikitnya irisan sepanjang 76 cm dari lobang abses dan W.J. Th. Tangkau melihat tumor yang tampak tertidur, kemudian kembali berpaling kepada orangtua yang ketakutannya segera lenyap dan berganti menjadi gembira; sementara si kecil, setelah melontarkan jeritan lemah saat penancapan pisau, segera menunjukkan kelegaan dengan dibuangnya kandungan nanah yang menggumpal.

W.J. Th. Tangkau jarang menemukan kebenaran pepatah “sukacita bersama adalah sukacita berlimpah” seperti yang terjadi pada saat itu. Pada hari ketiga setelah operasi, pasiennya duduk dengan perban, tampak bergoyang di kursi goyang yang khusus dibelikan untuk dia dengan wajah riang. Pengakuan orangtuanya muncul: anak yang sakit itu sebelum kedatangan W.J. Th. Tangkau selama sepuluh hari dirawat di poliklinik dan harus kembali keesokan harinya untuk “pemeriksaan lebih lanjut”. Di tempat bengkak atau di dekatnya uji tusukan dilakukan (sang ibu mengisahkan) dan hanya sedikit yang dihisap, dalam suntikan hanya tampak bukan nanah sehingga dokter yang memeriksa juga menduganya sebagai sejenis tumor. Sang ibu sebaliknya bersedih bahwa mereka tanpa guna mondar-mandir, apa yang selain itu masih menuntut banyak biaya sado, sementara akhirnya mereka tidak mengetahui penanganannya. Anak itu juga masih “dipesan” untuk dipamerkan pada pertemuan petang dari kelompok dokter, saat itu sang ibu menangis dan pergi, tetapi meminta suaminya agar “membawa seorang dokter rumah yang baik”.

Segera setelah hal di atas terjadi, praktek W.J. Th. Tangkau bertambah dan W.J. Th. Tangkau bisa menukar sepeda tua W.J. Th. Tangkau dengan kendaraan baru dengan angsuran bulanan dengan harga yang mahal. Sukses yang diraih merupakan hasil dari “tangan dingin” W.J. Th. Tangkau. W.J. Th. Tangkau memberitahu pasien-pasien baru.