MUSEUM KELILING

0
2539

Jangan tanyakan Aku Mau atau Tidak, tapi tanyakan kepada mereka : Boleh Atau Tidak ?

1. Lukisan R.A.Kartini

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Itulah sepenggal jawaban Kartini saat akan diajak oleh gurunya untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Tradisi feodalisme yang berlaku pada masa itu mengubur mimpi-mimpi Kartini untuk memajukan dirinya dan kaum perempuan yang hidup dalam keterbelakangan.

Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara, Jawa Tengah dari pasangan Raden Mas Adipati Ario (R.M.A.A) Sosroningrat yang menjabat sebagai Wedana Mayong dengan Mas Ajeng Ngasirah, wanita desa yang berkedudukan sebagai garwa ampil (selir). Tahun 1880 keluarga R.M.A.A Sosroningrat bertambah, karena dikaruniai dua anak perempuan dari garwa padmi diberi nama Roekmini dan dari garwa ampil diberi nama Kardinah.

Tahun 1881 R.M.A.A Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara dan diharuskan untuk tinggal dalam lingkungan rumah dinas bupati bersama dengan keluarga. Kartini menyukai tempat tinggalnya yang baru, karena bisa berinteraksi dengan tamu dari berbagai daerah yang akan menemui bapaknya. Kartini menjadikan lingkungan pendopo kabupaten sebagai tempat bermain dan belajar pengetahuan baru dari tamu-tamu yang datang.

Kartini dikaruniai kecerdasan dan jiwa kepemimpinan yang lebih baik dibanding saudaranya, sehingga mampu membimbing dan mendidik adiknya. Perselisihan yang terjadi diantara mereka dapat diselesaikan dengan cepat olehnya. Kebersamaan Kartini bersama dengan kedua adiknya menjadi teladan bagi masyarakat, karena itu mereka mendapatkan julukan Daun Semanggi dari Jepara.

R.M.A.A Sosroningrat mengizinkan anak-anaknya mengikuti pendidikan di sekolah Belanda termasuk anak yang perempuan. Kartini dimasukan ke Europesche Lagere School (ELS) atau Sekolah dasar Eropa, padahal pada masa itu menyekolahkan anak perempuan termasuk tindakan yang tidak lazim. Kartini mampu mengikuti pendidikan dengan baik, bahkan kemampuannya berbahasa Belanda dinilai sama dengan dengan anak-anak Belanda sendiri.

Kartini berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, agar bisa membantu masyarakat menjadi lebih maju. Keinginan tersebut tidak bisa diwujudkan, karena sebagai anak bangsawan terbentur pada aturan adat yang mengharuskannya untuk menjalani masa pingitan. Kartini diharuskan untuk tinggal dalam dalam lingkungan kabupaten, tidak boleh ke luar sampai datang lamaran dari seorang bangsawan.

Kartini berupaya untuk terus menambah pengetahuan meskipun hidup dalam pingitan. Membaca menjadi salah satu cara untuk menambah pengetahuan, bahan-bahan bacaan berupa buku atau koran diperoleh dari bapak dan kakaknya Sosrokartono. Keinginan Kartini untuk melanjutkan pendidikan tidak pernah padam, dalam masa pingitan ia mengajukan beasiswa kepada pemerintah Belanda agar bisa melanjutkan pendidikan ke Belanda.

Masa pingitan merupakan masa yang sangat kelam bagi Kartini, tetapi ia tetap berusaha menjadikan hari-harinya bermanfaat. Kartini berusaha untuk menularkan pengetahuannya kepada anak-anak yang tinggal dalam lingkungan Kabupaten, bersama dengan adiknya mereka mendirikan Sekolah Keputrian di Pendopo Kabupaten. Membaca, menulis, berhitung dan membuat kerajinan tangan menjadi materi yang diajarkan, tujuannya agar kelak anak didiknya mampu menjalani perannya sebagai ibu dalam rumah tangga.

Masa pingitan Kartini berakhir setelah datang lamaran dari Bupati rembang Adipati Djojoadinograt, yang dilanjutkan dengan acara pernikahan pada tanggal 12 November 1903. Pernikahan tersebut mengubur keinginan Kartini untuk melanjutkan pendidikan, padahal dua hari setelah pernikahannya pemerintah mengabulkan permohonan beasiswa Kartini. Pada saat yang bersamaan muncul pemberitaan tentang penolakan permohonan bea siswa Agus Salim siswa lulusan terbaik HBS di seluruh Hindia Belanda. Kartini prihatin dengan peristiwa tersebut, sehingga mengirim surat kepada Ny. Abendanon:

“Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma F 150 sebulan.

Gubernemen menyediakan untuk kami berdua uang sebesar 4800 gulden guna penyelesaian pendidikan kami. Apakah tidak bisa uang itu dipindahkan kepada orang lain yang juga perlu dibantu. Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8000 gulden. Bila tak mungkin, kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima jumlah 4800 gulden yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain.

Kita hidup, kita berharap dan kita berdoa untuk pemuda Salim!

Tanggal 13 September 1904 Kartini melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Raden mas Soesalit. Setelah melahirkan kesehatan Kartini terus memburuk, berbagai upaya pengobatan terus dilakukan. Tanggal 17 September 1904 Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 25 tahun.

Inilah sebagian dari materi yang akan dipamerkan oleh Museum Kebangkitan Nasional dalam kegiatan Museum Keliling di Museum Ronggowarsito Semarang pada tanggal 9 – 13 Maret 2015. Tujuan dari kegiatan museum keliling ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang aktifitas-aktifitas di Museum Kebangkitan Nasional serta koleksi-koleksi yang disajikan dalam museum. Bagi masyarakat yang ingin mengetahui lebih jauh tentang perjuangan sejarah bangsanya, silahkan datang di kegiatan Museum Keliling tersebut.