MENGENAL LEBIH DEKAT KH HASYIM ASY’ARI

0
333

Di dalam pandangan saya, ada empat tokoh raksasa Islam Indonesia yang hidup dalam generasi yang sama. Yang pertama adalah KH Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah. Yang kedua adalah KH Hasyim Asy’ari (1871-1947). Yang ketiga  adalah HOS Tjokroaminoto (1882-1934). Yang keempat adalah H Agus Salim (1884-1954). Keempat tokoh ini mempunyai peran masing-masing didalam kelompok masyarakat yang berbeda. KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari pernah belajar bersama pada KH Sholeh Darat di Semarang dan pada KH Khatib Minangkabau di Mekkah.  Keempatnya sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Tidak banyak buku tentang riwayat hidup dan perjuangan Hadrotus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Pertama buku karya Akarhanaf (Abdul Karim Hasyim Nafiqoh, putra Hadrotus Syekh) berjudul “Kiai Hasyim Asy’ari, kedua Bapak Ummat Islam Indonesia” (1949); ketiga buku karya Solichin Salam berjudul “KH Hasyim Asy’ari, Ulama Besar Indonesia” (1963); karya Heru Sukardi berjudul “Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Riwayat Hidup dan Perjuangannya”  (1985), keempat, buku karya Muhammad Asad Syihab dari Lebanon yang diterjemahkan oleh Mustofa Bisri dengan judul Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari (1994); kelima, buku karya Lathiful Khuluq (2000), keenam, buku  karya Zuhairi Misrawi berjudul “Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keummatan dan Kebangsaan” (2010) dan ketujuh karya Mukani berjudul “Berguru Ke Sang Kiai, Pemikiran Pendidikan KHM Hasyim Asy’ari (2016). Selain itu ada bab tentang KH Hasyim Asy’ari dalam buku karya H Aboebakar Aceh berjudul  “Sejarah Hidup KHA Wahid Hasyim (1957). Juga ada sejumlah skripsi dan tesis tentang Hadratussyaikh, antara lain tesis Muhammad Ainun Najib di IAIN Surabaya (2007) dengan judul “Islam Sebagai Etika Politik : Perspektif KH Hasyim Asy’ari”.

Riwayat ketiga tokoh raksasa itu sudah dijadikan film, hanya H Agus Salim yang riwayatnya belum diangkat ke layar film. Sayang sekali film ketiga tokoh itu hanya dinikmati oleh sedikit orang.  Akan jauh lebih bermanfaat apabila pemerintah membuat VCD ketiga film itu dan juga film tokoh lain seperti Jenderal Sudirman, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dhien dll lalu disebar ke seluruh pelosok negara supaya masyarakat mengenal sosok pahlawan kita.

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mempunyai banyak kapasitas yang akan diuraikan secara singkat dalam makalah ini, yaitu sebagai ulama, sebagai pendiri pesantren dan pendiri ormas NU, sebagai pemimpin NU, pemimpin Islam dan pemimpin bangsa Indonesia. Juga akan dikemukakan peran Hadratussyekh sebagai pendidik.

  1. KH Hasyim Asy’ari sebagai ulama :

1 a. Kitab-kitab karya KH Hasyim Asy’ari

Berdasar penelusuran oleh KH Ishom Hadzik, diperoleh catatan tentang kitab-kitab karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari  yaitu : 1) Adab al A’lim wa al Muata’alim (Etika Guru dan Murid); 2) al Duraar al Muntatsirah fi al Masaa’il al Tis’a Asharah (Taburan Permata dalam Sembilan Belas Persoalan); 3) al Tanbihaat al Waajibaat Liman Yasna’u al Mawlid bi al Munkarat (Peringatan Penting bagi Orang yang Merayakan acara Kelahiran Nabi Muhammad dengan Melakukan Kemungkaran); 4) Risalah ahl al Sunnah wa al Jama’ah; 5) al Nur al Mubiin fi Mahabbati Sayyid al Mursalin (Cahaya Terang dalam Mencintai Rasul); 6) al Tibyan fi al Nahy an Muqaata’at al Arhaam wa al Aqaarib wa al Ikhwaan (Penjelasan tentang Larangan Memutus Hubungan Kerabat, Teman Dekat dan Saudara); 7) al Risalah al Tauhidiyah; 8) al Qalaaid fi maa Yajibu min al ‘Aqaaid (Syair-syair Menjelaskan Kewajiban Aqidah). 9) Arba’in Haditsan;10) Ar Risalah fil ‘Aqa’I’d; 11) Tamyizul Haqq min al Bathin; 12) Risalah fi Ta’akud al Akhdz bi Madzahib al A’immah al Arba’ah; 13) ar Risalah Jama’ah al Maqashid. Diperkirakan masih ada beberapa karya Hadratussyekh yang belum ditemukan. Sebagian besar dari kitab-kitab diatas telah diterjemahkan dan beredar secara terbatas dikalangan NU terutama alumni Pesantren Tebuireng. Kedutaan Saudi Arabia meminta beberapa naskah karya Hadratussyekh diatas untuk kemudian dipelajari.

1 b. Khutbah-khutbah KH Hasyim Asy’ari

Selain karya-karya yang disebut diatas, Hadratussyekh banyak menuangkan pikiran dan gagasan melalui khutbah yang disampaikan didepan Muktamar NU, forum MIAI maupun Masyumi. Dalam forum-forum semacam itu, persoalan yang berkaitan dengan masalah sosial- politik keagamaan menjadi perhatian utama. Karenanya, khutbah yang beliau sampaikan itu amat berarti untuk dijadikan sumber kesejarahan dalam rangka merekonstruksi pemikiran beliau.

Sampai saat ini belum ada yang membuat dokumentasi khutbah-khutbah beliau. Hanya ada beberapa khutbah hasil suntingan KH Umar Burhan Gresik yang berisi lima khutbah Hadratussyekh dalam Muktamar NU termasuk Qanun Asasi dan al Mawaaiz. Padahal khutbah-khutbah beliau itu memberi sumbangsih yang tinggi nilainya. Khutbah-khutbah di forum muktamar dan pertemuan umat itu merupakan sarana komunikasi yang efektif kepada masyarakat luas. Banyak warga masyarakat yang termotivasi oleh khutbah-khutbah Hadratussyekh. Menurut Martin van Bruinessen, khutbah tentang Qanun Asasi yang disampaikan dalam Muktamar ke 3 NU tahun 1928 di Surabaya adalah sebuah risalah ijtihad langka yang dilakukan oleh Hadratussyekh, seorang ulama Islam tradisional.

Pemikiran Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari ternyata mempunyai banyak tafsir. Almarhum Prof KH Ali Mustafa  Ya’qub menyatakan bahwa pemikiran Hadratussyekh banyak persamaannya dengan pemikiran Wahabi. Kyai lain mengatakan bahwa pemikiran Hadratussyekh bertentangan dengan pemikiran Wahabi. Prof Said Aqiel Siradj (SAS) mengatakan bahwa konsep Aswaja Hadratussyekh terlalu sederhana bahkan bisa disebut memalukan. SAS tidak memahami bahwa konsep Aswaja Hadratussyekh didalam Qanun Asasi itu dibuat hampir seabad lalu untuk konsumsi orang awam, supaya mudah dipahami dan diikuti. Ternyata puluhan juta orang mengikuti konsep Aswaja yang sederhana dan mudah dipahami itu.

Esensi QANUN ASASI KH. Hasyim Asy’ari.

Dalam makalah ini saya ingin mengutip penafsiran Dr Miftahur Rohim -Wakil Rektor III Unhasy- terhadap Qanun Asasi, yang menguraikan bahwa konsep tersebut tidak sesederhana seperti pemikiran SAS, dan bisa dimaknai secara luas.

Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang termuat dalam Qanun Asasi meliputi aspek aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam yang didasarkan pada manhaj (pola pikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, empat madzhab besar dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), dan dalam bidang tasawuf menganut manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi.

Dalam bidang syari’ah meliputi madzhab fiqhiyyah (doktrin fiqh),  madzhab al-manhaji al-ijtihadi (doktrin metode berijtihad) dan madzhab al-manhaj al-fikri (doktrin metode berfikir).  Hal ini dapat kita lihat dalam ayat al-Qur’an Surah al-Zumar : 17-18- dan  Surah al-Imran: 59 yang tercantum dalam Qanun Asasi. Surah an Nisa : 59. Surah az Zumar : 17 dan 18 >  “Maka berilah kabar gembira hamba-hambaku yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik darinya. Merekalah orang yang diberi hidayah oleh Allah dan merekalah orang-yang mempunyai akal’’. Surah an Nisa : 59 >  Jika kamu berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul, kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih bagus dan lebih baik kesudahannya”. Dua ayat tersebut di atas adalah sumber dalil dari manhaj al-ijtihad (metode ijtihad) dan  manhaj al-fikr (metode berfikir). Surah al-Zumar :17-18, sebagai inspirasi lahirnya metode istihsan Imam Abu Hanifah. Madzhab Hanafi sepakat menerima ayat tersebut sebagai dalil metode ijtihad dengan istihsan.  Disamping itu, Madzhab Maliki dan Hanbali menerima metode Istihsan. Sedangkan Surah al-Nisa’ (4): 59. adalah dalil metode qiyas dari Imam Syafi’i  dan madzhabnya.  Secara keseluruan ulama fiqh dan usul fiqh menerima qiyas sebagai metode ijtihad.

Metode istihsan muncul dari pemikiran Imam Abu Hanifah dalam forum ilmiah di depan para pengikutnya, yang berarti mengikuti sesuatu yang terbaik” atau “mencari yang lebih baik. Karena mencari perkara yang lebih baik itu diperintahkan oleh agama.” Pengertian etimologi di atas menunjukkan bahwa ahli hukum sering berhadapan dengan dua persoalan yang sama-sama memiliki kebaikan. Namun ada kecenderungan untuk memilih salah satu diantara keduanya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan. Sedangkan secara terminologi Istihsan adalah perpindahan dari manhaj istinbat al-ahkam yang menghasilkan produk hukum yang tidak memenuhi maqasid al-syar‘i kepada manhaj al-istinbat al-ahkam yang produk hukumnya sesuai dengan maqasid al-syar‘i berdasarkan al-Qur’an, al-Hadith, ijma‘ dan ‘urf. Dari metode istihsan Imam Abu Hanifah, maka lahir manhaj al-qiyas Madzhab Syafi’i, Manhaj  Maslahah al-mursalah Madzhab Maliki dan Manhaj al-Istislah Madzhab Hanbali.

Ahl al-Sunnah wa-al-jama’ah sebagai doktrin madzhabi yang bersumber dari kitab-kitab klasik yang telah dirumuskan para ilmuan dan para ulama pada periode taqlid (300-650 H), merupakan mukhtashar (meringkas), musyarrikh (menjabarkan/menjelaskan) dan mempertahankan karya para Imam sebelumnya (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali) dengan menempatkan berbagai dalil nas (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’) untuk mempertahankan imam-imam mereka. Sedangkan kitab-kitab tersebut hanya merupakan produk hukum Islam yang dipengaruhi fenomena pada saat itu, di mana terjadi benturan pemikiran dan fanatik yang berlebihan terhadap imam-imam mereka, tentunya banyak yang sudah tidak relevan dengan situasi sekarang. Paradigma berfikir yang berbeda tersebut akan melahirkan benturan pemikiran dan sangat tidak menguntungkan umat Islam secara global.

Oleh sebab itu ada upaya rekonsiliasi pemikiran untuk menciptakan kesamaan visi dan misi untuk membangun  dengan menjadikan rumusan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai gabungan madzhab dan manhaj. Sayangnya para Kyai dan pengajar dipondok lebih cenderung pada madzhab fiqhiyyah dari pada madzhab manhajiyyah. Hal itu akan membawa pada  doktrin agama yang tekstual. Begitu pula pengajaran di Perguruan tinggi agama (UIN, IAIN, STAIN) lebih cendrung ke manhajiyyah, namun hanya setengah-setengan hal itu membawa pemikiran liberal yang tidak bereferensi (keluar dari tradisi pemikiran ulama/Yai Hasyim Asy’ari).

Apabila Ahlu al-Sunnah dipahami sebagai madzhab, maka gerakan Islam bersifat eksklusif yang  tidak mampu berhadapan dengan kemajuan teknologi dan globalisasi. Begitu pula apabila dipahami sebagai manhaj al-fikr, gerakan akan menjadi liberal dan tidak mempunyai asas yang kuat. Oleh karena itu paradigma Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah di masa  depan di tengah terjadinya percaturan di berbagai kehidupan, membuat Ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah menjadi perpaduan antara doktrin mazhhab dengan manhaj. Dua metode bagaikan sayap burung yang akan terbang untuk membangun peradaban umat menuju baldatun tayyibatun wa rabbun gafur (Negara aman dalam ampunan Tuhan).

Kemudian lahir pertanyaan kapan Ahlu al-sunnah dipandang sebagai madzhabi dan kapan dipandang sebagai manhaji?. Ketika mengahadapi berbagai persoalan yang menyangkut ibadah, muamalah, munakahat dan jinayah yang sudah terdapat dalam rumusan kitab-kitab klasik yang dianggap mu’tabar, dan didukung dalil-dalil nas yang valid, di situlah kita terapkan Ahlu al-sunnah yang bersifat madzhabi.

Tetapi ketika dihadapkan pada persoalan baru yang tidak terdapat dalam doktrin rumusan kitab klasik yang menyangkut kebijakan kepentingan umat dan berhadapan dengan isu dunia global, seperti HAM, status muslim dan non muslim, menyikapi politik di tingkat global, pertarungan antara Dunia Barat dan Dunia Timur, dirasa doktrin madzhab tidak dapat meyelesaikan. Maka perlu menerapkan Ahlu al-sunnah sebagai manhaji. Oleh sebab itu diperlukan reinterpretasi dalam pemahaman dan perumusan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai madhhab dan manhaj.

Khashaish (Ciri-ciri) manhaj al-fikri :  Manhaj al-fikri al-tawasuttiyy (pola pikir moderat), Manhaj al-fikri al-Tasamuhiyy (pola pikir toleran), Manhaj al-fikri al-Ishlahiyy (pola pikir reformatif/akomodatif),) Manhaj al-fikri al-Tathowwuriyy (pola berfikir dinamis) Manhaj al-fikri al-Manhajiyy (pola pikir metodologis).

Perbedaan penafsiran terhadap Qanun Asasi diatas kini makin terlihat didalam jam’iyyah NU, ada kelompok konservatif yang jumlahnya tidak banyak dan ada kelompok liberal yang jumlahnya juga tidak banyak. Yang terbanyak adalah kelompok pertengahan yang mungkin sesuai dengan penafsiran Dr Miftahur Rohim diatas. Keberadaan kelompok konservatif dan kelompok liberal adalah sesuatu yang alamiah dan tidak bisa kita larang.

Yang harus kita cegah ialah upaya untuk mengubah dokumen resmi jam’iyyah NU atau membuat penafsiran baru sehingga jauh berbeda dengan apa yang selama ini sudah hidup dan kita yakini. Penafsiran berbeda oleh orang per orang atau kelompok tidak bisa dilarang tetapi penafsiran kelompok itu dijadikan penafsiran resmi jam’iyyah harus kita cegah. Upaya tersebut telah dicoba dilakukan dengan cara tidak terbuka didalam Muktamar ke 33 tetapi berhasil digagalkan.

2 a. KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri Pesantren Tebuireng.

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengaji ke berbagai pesantren seperti Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis, Pesantren Kademangan Bangkalan, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo dan Pesantren yang diasuh Kyai Sholeh Darat, Semarang. Beliau juga belajar ke Mekkah, disana beliau berguru kepada Syaikh Makhfudz Tremas, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.

Sepulang dari Mekkah, beliau membantu ayah beliau dan pada 1899 beliau mendirikan pesantren di dusun Tebuireng, desa Cukir, kabupaten Jombang, tidak jauh dari pesantren Keras dimana ayah beliau tinggal. Di Tebuireng tepat di seberang pesantren baru itu terletak pabrik gula Tjoekir. Usai gajian para buruh pabrik gula menggunakan sebagian uangnya untuk foya-foya yang bertentangan dengan ajaran agama. Maka berdirinya pesantren Tebuireng mau tidak mau dianggap mengganggu pihak yang menyediakan kegiatan maksiat itu. Untuk menghadapi pihak tersebut Hadratussyekh mendatangkan guru ahli bela diri dari Cirebon.

Untuk memulai membangun pesantren beliau ditemani oleh sejumlah santri senior dari Pesantren Keras. Pada awalnya tentu Pesantren Tebuireng merupakan pesantren kecil dengan santri yang tidak banyak. Berkat kerja keras,  doa, kealiman dan keikhlasan Hadratussyekh, maka jumlah santri meningkat dengan pesat. Para pemuda muslim berbakat banyak yang menjadi santri di Tebuireng. Berkat tangan dingin, bimbingan dan karomah Hadratussyekh, para pemuda berbakat itu kemudian berhasil menjadi pendiri dan kyai dari berbagai pesantren terkenal di Jawa dan juga luar Jawa. Mereka antara lain ialah Kyai Jazuli yang mendirikan Pesantren Ploso Kediri, Kyai Abdul Manaf yang mendirikan Pesantren Lirboyo Kediri, Kyai Bisri Syansuri yang mendirikan Pesantren Denanyar Jombang, Kyai Chudlory yang mendirikan Pesantren Tegalrejo, Magelang, Kyai Syafaat yang mendirikan Pesantren Blok Agung, Banyuwangi.

Selain itu banyak kyai hebat dan luar biasa yang merupakan hasil didikan Hadratussyekh, seperti KH Wahab Hasbullah, Kyai Adlan Ali, Kyai Idris Kamali, Kyai Achmad Siddiq dan Kyai Muchith Muzadi. Kyai Achmad Siddiq adalah tokoh yang menyusun naskah “Hubungan Islam Dan Pancasila” yang mengubah jalannya sejarah. Bukanlah suatu kebetulan bahwa murid Hadratussyekh-lah yang menyusun naskah atau dokumen yang amat monumental itu.

Alumni Pesantren Tebuireng yang tidak sempat menerima pendidikan langsung dari Hadratussyekh pun cukup banyak yang menjadi tokoh/ulama/ilmuan terkemuka. Beberapa nama bisa dikemukakan : Prof Tolhah Hasan, KH Ma’ruf Amin, Prof Ali Mustafa Ya’kub, Prof Ridlwan Nasir, Prof Masykuri Abdillah, Prof Nurkholis Setiawan, Prof Abdul Haris.

Sebagai akibat dari pengaruh perkembangan zaman yang cenderung mengutamakan ijazah formal, maka Pesantren Tebuireng juga mengalami proses penurunan dalam menghasilkan ulama. Pada 2006 didirikan Ma’had Aly yang merupakan pendidikan tinggi agama Islam dengan metode pesantren. Sebagai pelengkap pada 2008 didirikan Madrasah Muallimin yang setingkat dengan MTs + MA dengan metode pesantren salaf. Dengan upaya itu diharapkan Pesantren Tebuireng di masa depan masih akan tetap menghasilkan ulama.

Untuk menghadapi tantangan kemajuan zaman, Pesantren Tebuireng mendirikan SMA Trensain yang selain memberi materi yang ada sesuai kurukulum nasional, juga mempersiapkan materi khusus berupa pendalaman terhadap ayat-ayat al Qur’an tentang alam semesta. Ini adalah upaya untuk memadukan Islam dengan sains.

2 b. KH Hasyim Asy’ari Sebagai Pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Sebenarnya yang mempunyai gagasan untuk membentuk atau mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah KH Wahab Hasbullah, salah seorang santri Mbah Hasyim. Beliau adalah kyai yang hebat dalam menemukan gagasan danmewujudkan gagasan itu. KH Wahab sadar bahwa untuk bisa berhasil dalam mendirikan jam’iyyah NU, maka jam’iyyah itu harus didirikan oleh Hadratusyekh. Beliau matur kepada Hadratussyekh dan menunggu kesediaan Sang Kyai.

Lama sekali beliau menunggu tetapi tidak ada tanggapan positif dari Hadratussyekh. Maka beliau sowan kepada Syaikhona Cholil yang merupakan guru Hadratussyekh dan juga guru KH Wahab Hasbullah dan mohon supaya Syaikhona berkenan ndawuhi Hadratussyekh untuk bersedia menyatakan berdirinya jam’iyyah NU dan memimpinnya. Syaikhona lalu mengutus Kyai As’ad Syamsul Arifin yang saat itu masih muda untuk menyampaikan pesan mendorong Hadratussyekh agar bersedia menyatakan berdirinya NU. Sang utusan juga dibekali tongkat sebagai perlambang seperti yang diberikan kepada Nabi Musa. Ternyata Hadratussyekh masih belum bersedia, karena itu Syaikhona mengutus lagi kyai As’ad, kali ini sambil membawa tasbih besar. Beberapa bulan setelah itu Hadratussyekh baru bersedia. Jam’iyyah NU didirikan pada Rajab 1344 H atau Januari 1926 oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dan belasan kyai dari pesantren terkemuka di Pulau Jawa.

Jam’iyyah NU lalu dikembangkan dengan menggunakan jaringan alumni Pesantren Tebuireng dan lalu ditambah jaringan pesantren lain sehingga dalam waktu singkat perkembanganya amat pesat. Pada saat pendudukan Jepang, jumlah alumni Tebuireng mencapai sekitar 15-20 ribu. Betul dugaan Kyai Wahab bahwa NU hanya bisa tumbuh dan berkembang kalau didirikan dan dipimpin oleh Hadratussyekh.

Ketokohan Hadratussyekh sudah diakui oleh pemerintah Hindia Belanda karena beliau menentang kebijakan Belanda yang merugikan pesantren. Ketika Belanda ingin memberi sebuah pengargaan kepada beliau, hal itu ditolak secara halus. Saat Hadratussyekh ditahan oleh pihak militer Jepang dan ratusan santri selalu berdemo di penjara,  baru mereka sadar siapa sebenarnya tokoh yang mereka tahan. Lalu beliau dilepaskan dan bahkan dipercaya untuk memimpin Shumubu (semacam kantor yang mengurusi agama) di Jakarta. Karena beliau tidak bisa pindah ke Jakarta maka dalam kegiatan sehari-hari beliau digantikan oleh putra beliau KHA Wahid Hasyim.

Kemunculan KHA Wahid Hasyim adalah sebagai wakil dari ayah beliau. Kalau tidak mewakili Hadratussyekh, beliau tidak mungkin muncul ke pentas politik tingkat nasional. Walau demikian harus diakui bahwa beliau mampu menunjukkan kinerja yang bagus berkat kecerdasan, kerja keras dan kemampuan komunikasi serta kemampuan berorganisasi. Hal yang sama juga terjadi pada Gus Dur. Kalau GD bukan cucu Hadratussyekh, dia tidak akan dipilih jadi Ketua Umum pada 1984. Walau demikian, kemampuan dan ketokohan GD-lah yang bisa membawanya ke kursi kepresidenan. Juga tidak mungkin beliau diakui sebagai pemimpin masyarakat sipil di Indonesia.

  1. KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin :

    Jam’iyyah NU, Umat Islam Indonesia dan Bangsa Indonesia.

3 a. Kepemimpinan Hadrotus Syekh didalam Jam’iyyah NU sudah tidak perlu diragukan lagi. Posisi beliau adalah Rais Akbar sejak 1926 sampai beliau wafat pada 1947.  Posisi itu tidak pernah diduduki tokoh lain. Setelah beliau wafat, posisi itu tidak ada lagi. Rais Akbar adalah pimpinan tertinggi Jam’iyyah NU. Keputusan Rais Akbar akan dipatuhi oleh seluruh pengurus dan anggota.

Beliau-lah yang memberi fatwa bahwa Hindia Belanda adalah darussalam karena memberi kebebasan umat Islam untuk   menjalankan syariat Islam. Tetapi ketika kita dalam proses mendirikan negara, beliau memfatwakan untuk berjuang supaya Islam menjadi dasar negara. Itu adalah contoh dari visi beliau dalam bidang politik ketika menjadi nahkoda jam’iyyah NU.

Kepemimpinan, ketokohan, dan wibawa Hadrotus Syekh adalah buah dari keilmuan, keluasan wawasan, integritas, keadilan, visi dan perhatian serta kepedulian beliau terhadap kepentingan jam’iyyah dan masyarakat. Prinsip dipegang teguh tetapi cara penyampaiannya tidak kaku dan bisa luwes. Bagi sebagian orang, itu bisa dianggap tidak punya sikap.

Pengganti beliau adalah KH Wahab Hasbullah pada posisi Rais Aam  (1947-1971), yang juga merupakan pimpinan tertinggi jam’iyyah NU. Pengganti KH Wahab adalah KH Bisri Syansuri (1971-1980). Rais Aam berikut adalah KH Ali Maksum (1980- 1984). Berikutnya adalah KH Achmad Siddiq (1984-1991). Setelah KH Achmad Siddiq wafat, posisi Rais Aam tidak sekuat sebelumnya, Gus Dur sebagai Ketua Umum lebih dominan dan lebih berwibawa. Diperlukan kemauan semua pihak untuk mengembalikan posisi Syuriah betul-betul sebagai lembaga tertinggi.

3 b. Kepemimpinan Hadrotus Syekh diakui oleh seluruh umat Islam Indonesia, tidak memandang organisasi atau madzhab.  Beliau diminta menjadi Ketua Majelis  Syuro Partai Masyumi yang dijabat sampai beliau wafat pada 1947. Beliau selalu mengemukakan didalam berbagai forum supaya umat Islam Indonesia bersatu, jangan sampai terjadi perpecahan. Pada saat Hadrotus Syekh dimohon untuk menyatakan berdirinya NU dan memimpinnya, beliau kuatir berdirinya NU akan membuat umat Islam di wilayah Hindia Belanda justru makin terkotak-kotak.

Tetapi ternyata pesan dan harapan Hadrotus Syekh untuk menjaga persatuan umat Islam di Indonesia tidak diikuti oleh para penerus beliau. Tentu perpecahan itu ada faktor penyebabnya, tetapi apapun faktor itu ternyata kita tidak mampu menjaga persatuan. Pada 1947 Syarikat Islam  mengundurkan diri dari Partai Masyumi, dan menjadi PSII. Keluarnya SI tidak membuat guncangan yang terlalu hebat. Dan kini PSII tidak banyak terdengar kabar beritanya lagi.

Pada Muktamar NU 1952 giliran NU yang keluar dari Masyumi dan berubah menjadi Partai NU. Pada saat itu KHA Wahid Hasyim berusaha kuat tenaga supaya NU tetap didalam Partai Masyumi, tetapi keinginan para peserta Muktamar untuk keluar dari Masyumi lebih kuat. Keluarnya NU itu menimbulkan guncangan cukup hebat. Tidak pernah lagi umat Islam merasakan persatuan seperti saat Hadrotus Syekh menjadi Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi. Memang pada 1973-1999 pernah hanya terdapat satu partai Islam yaitu PPP, tetapi nyatanya di dalam terjadi perpecahan.

Perpecahan juga terjadi dalam jam’iyyah NU. Yang pertama pada 1982-1984 ketika ada kelompok Cipete  dan kelompok Situbondo yang ingin NU tidak terlibat lagi dalam masalah politik praktis. Lalu pada 1994/1995 ketika Abu Hasan yang didukung Pemerintah menggugat PBNU hasil Muktamar Cipasung. Saat ini didalam jam’iyyah NU juga terjadi gugatan hukum oleh sejumlah PWNU dan PCNU karena Muktamar NU ke 33 dilaksanakan tidak sesuai AD/ART akibat adanya campur tangan kepentingan partai politik tertentu.

Konflik diatas hanya mungkin terjadi karena tidak ada tokoh sentral yang keputusannya ditaati semua pihak. Ketaatan itu hanya bisa muncul kalau tokoh itu memang punya ketokohan kuat dan tidak punya kepentingan pribadi atau kelompok, seperti Hadratussyekh, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri.

3 c. Peran Hadrotus Syekh sebagai pemimpin bangsa Indonesia mungkin tidak terasa secara langsung walaupun itu sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka. Walaupun terlihat sebagai masalah umat Islam, sebenarnya masalah tersebut juga masalah bangsa Indonesia.  Ketika beliau menyetujui didirikannya Laskar Hisbullah, itu juga menjadi masalah bangsa Indonesia. Ketika beliau menjadi Ketua Shumubu (semacam kantor agama), itu juga menyangkut masalah bangsa Indonesia.

Peran beliau yang sudah langsung bisa dikenali sebagai peran pemimpin bangsa Indonesia ialah saat beliau memberi persetujuan terhadap usulan yang diajukan dalam persidangan BPUPKI dan PPKI. Peran lain ialah saat beliau memimpin para ulama NU dalam menyampaikan fatwa berupa Resolusi Jihad. Terbentuknya kementerian agama tentu tidak lepas dari peran beliau. Selain itu kita mengetahui bahwa sejumlah pemimpin nasional sering meminta nasehat beliau secara langsung atau dengan mengirim utusan.

Kepemimpinan dan peran beliau dalam perjuangan kemerdekaan serta peran dalam masalah pendidikan telah diakui secara resmi oleh negara dengan adanya anugerah gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964.

Peran kebangsaan lain dari Hadrotus Syekh yang baru terasa sekian puluh tahun setelah beliau wafat ialah diakuinya jam’iyyah NU sebagai salah satu organisasi besar umat Islam yang memberi warna terhadap Islam yang tumbuh dan berkembang di Indonesia yaitu Islam yang moderat dan menghargai perbedaan. Perpaduan keislaman dan keindonesiaan yang baik di Indonesia tercapai berkat peran NU dan Muhammadiyah dan ormas Islam lain. Perpaduan keindonesiaan dan keislaman itu melingkupi banyak aspek dalam kehidupan. Dalam proses mencapai perpaduan itu banyak tokoh NU yang terlibat, berarti secara tidak langsung terdapat peran Hadrotus Syekh. Perpaduan pertama ialah diterimanya Pancasila sebagai dasar negara pada 18/8/1945. Penerimaan Pancasila oleh NU (1984) memperkuat perpaduan itu. Perpaduan kedua ialah didirikannya kementerian agama pada 3/1/1946. Perpaduan ketiga ialah MoU Menteri Agama Wahid Hasyim dan Menteri PPK Bahder Johan yang memberi tempat bagi berdirinya madrasah dibawah kemenag dan diberikannya pelajaran agama di seluruh sekolah.

Perpaduan keempat ialah berdirinya PTAIN yang lalu menjadi IAIN dan lalu berkembang menjadi UIN. Selanjutnya ialah diakuinya Ma’had Aly yaitu pendidikan tinggi Islam di pesantren yang dikoordinasi oleh Direktorat Pesantren. Juga diakuinya madrasah yang menggunakan kurikulum pesantren tanpa muatan pendidikan non-agama.

Perpaduan kelima ialah diangkatnya Presiden Soekarno menjadi Waliyyul Amri Dharuri bis Syaukah yang memberi Presiden posisi yang dikehendaki oleh fiqh. NU yang memprakarsai proses itu dituduh menjilat Presiden Soekarno.

Perpaduan keenam ialah masuknya hukum Islam kedalam UU Perkawinan pada 1973/74 dimana peran ulama NU dibawah Rais Aam KH Bisri Syansuri (yang merupakan murid Hadrotus Syekh) amat menonjol. Ini lalu diikuti dengan UU Peradilan Agama, lalu UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Wakaf dan UU Haji. Perpaduan ketujuh ialah pasal 28 J UUD hasil amandemen yang memadukan HAM universal dengan agama dan budaya. Perpaduan kedelapan ialah perpaduan budaya Islam dengan budaya lokal/nasional seperti qasidah, sholawat, jilbab.  Perpaduan ini tidak lepas dari peran alumni pesantren yang umumnya mengikuti pemikiran Hadrotus Syekh.

  1. KH Hasyim Asy’ari Sebagai Pendidik

Menurut Hadratusysyekh, tujuan pendidikan ialah pemahaman terhadap pengetahuan dan pembentukan karakter yang baik, yang penuh dengan pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Beliau selalu mengatakan bahwa santri yang baik ialah santri yang bisa menjalankan apa yang dipelajari di pesantren di dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pengetahuan agama yang sudah dipelajari harus diterapkan atau dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan pendidikan ini mampu diwujudkan jika santri/siswa terlebih dahulu mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketika berproses dalam pendidikan, santri harus mampu terhindar dari unsur-unsur materialisme, seperti kekayaan, jabatan,popularitas dll. Menurut beliau, jika ilmu tidak dicari demi untuk kepentingan agama, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu tiba.

Ketika tujuan mencari ilmu itu menjadi cacat dalam arti tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka niat orang yang mencari ilmu itu juga menjadi rusak. Hal ini karena mencari ilmu sebagai perantara untuk mencari kemewahan dunia, baik untuk mencari harta atau mencari jabatan. Inti pendidikan menurut beliau ialah menolong orang yang tidak tahu dan membetulkan orang yang melakukan kesalahan. Karena itu etika yang baik perlu dipelajari santri ketika sedang belajar. Guru juga harus tahu etika mengajar. Hal ini diperlukan agar puncak ilmu mampu diraih guru dan murid dengan baik.

Puncak ilmu adalah amal karena amal adalah wujud dari ilmu itu. Pemanfaatan ilmu dalam kehidupan sehari-hari adalah buah dari ilmu itu, sekaligus sebagai bekal manusia saat kelak menghadap Allah SWT. Kalau kita mau jujur, tidak banyak lagi saat ini yang mengikuti sepenuhnya prinsip yang ditekankan oleh Hadrotus Syekh. Tampak cukup jelas bahwa santri, baik siswa maupun mahasiswa memerlukan ijazah formal yang diperlukan dalam merintis karir.

Pendidikan hendak membentuk manusia sempurna yang tercermin pada sosok Nabi Muhammad SAW, maka hendaknya materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa juga memberi ruang terhadap tokoh-tokoh yang patut diteladani dalam sejarah hidup mereka, khususnya Nabi SAW dan para sahabat.

Selain shalat Hadratussyekh juga memberi penekanan pada kebiasaan membayar zakat sesuai dengan perintah agama Islam. Tentu pemikiran pendidikan Hadrotus Syekh terlalu panjang untuk dimuat secara lengkap disini.

Melihat konsep pendidikan yang diajukan Hadrotussyekh seperti diatas dan juga konsep pendidikan Ki Hajar Dewantoro, tampaknya tidak nyambung  dengan kenyataan yang kita saksikan didalam kehidupan pendidikan kita sehari-hari. Tampak bahwa agama lebih ditekankan pada aspek kognitif dan aspek afektif secara tidak sengaja terabaikan. Kita juga melihat kenyataan bahwa kejujuran yang merupakan inti dari akhlak, tidak banyak kita temukan di dalam  masyarakat. Agama lebih menekankan pada ibadah mahdhoh atau ritual dibanding ibadah sosial.

Yang amat menarik ialah perilaku dan akhlak Hadrotus Syekh yang amat luar biasa. Tampaknya konsep pendidikan diatas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.  Salah satu contoh ialah kisah berikut ini. Hadrotus Syekh secara rutin mengadakan pengajian kitab Buchari Muslim setiap bulan Ramadan yang dimulai sekitar tanggal 20 Sya’ban dan berakhir pada sekitar 20 Ramadan. Beberapa kyai yang dulu pernah didatangi Hadratussyekh untuk belajar di pesantren mereka, ternyata lalu ingin belajar pada Hadratussyekh. Tentu saja Hadratussyekh menolak, tetapi para kyai itu juga ngotot untuk ikut mengaji. Akhirnya disepakati bahwa para kyai yang dulu pernah menjadi guru Hadratussyekh itu bisa ikut mengaji dengan syarat beberapa kyai itu tidak usah memasak dan mencuci baju sendiri, mereka akan dilayani oleh para santri Tebuireng.

Pada suatu malam setelah para kyai itu tidur, ada seseorang yang mengambil pakaian kotor mereka. Salah seorang kyai bangun dan melihat bahwa sosok yang mengambil pakaian kotor itu seperti Hadratussyekh. Kyai itu penasaran dan
lalu mengejarnya. Setelah dicari, ternyata yang mengambil baju-baju kotor itu dan mencucinya sendiri adalah Hadratussyekh. Si kyai tadi lalu meminta supaya Hadratussyekh berhenti mencuci baju-baju kotor itu, tetapi Hadratussyekh tetap bersikeras untuk meneruskan mencuci. Kata Hadratussyekh, ini adalah bakti kepada para kyai yang telah mendidik beliau. Kyai mantan guru Hadratussyekh itu menangis dan mereka berpelukan.

Perlu juga dicatat bahwa sejumlah santri Hadrotus Syekh saya kenali sebagai ulama yang akhlaknya bagus dan punya prinsip. Yang saya saksikan sendiri ialah perilaku KH Bisri Syansuri yaitu ayah dari ibu saya. Beliau adalah kyai yang punya prinsip dan berani menyatakan prinsip itu secara tetapi disampaikan dengan bahasa yang sopan dan santun. Beliau selalu  menghormati siapa saja yang bertamu. Beliau adalah orang yang jujur dan menjaga kebersihan harta. Kyai Bisri sering sekali berbeda pendapat dengan Kyai Wahab yang kebetulan adalah kakak ipar beliau. Walaupun sering berbeda pendapat, hubungan kakak dan adik ipar itu amat baik. Itulah contoh nyata tentang bagaimana kita harus bersikap terhadap orang yang berbeda pendapat, perbedaan itu tidak harus membuat hubungan pribadi kita tidak baik. Saya pikir kedua kyai besar itu bisa bersikap seperti itu karena mengikuti ajaran Hadratussyekh.

Kyai lain murid Hadratussyekh yang perilakunya bisa kita teladani, kisahnya saya dengar dari mereka yang menyaksikan ialah KH Syafaat dari Blok Agung.

sumber :

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng