Kisah Raden Soekardi: Potret Diskriminasi Dokter Pribumi di Tanah Hindia

0
1535

Demikianlah ucapan seorang suami yang berusaha membesarkan hati istrinya. Di usapnya buru-buru sebuah bening yang menggantung di kantong matanya, agar tak terlihat gurat kesedihannya yang semakin nyata. Bagaimana tidak, dahulu ia begitu bangga dapat diterima di sekolah kedokteran ternama di negeri Hindia ini, STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Dilahirkan di kota Sidoardjo, Jawa Timur pada 1879, Raden Soekardi menempuh pendidikan kedokteran di STOVIA pada 7 September 1893 dan lulus pada 14 Desember 1899. Seperti pelajar kedokteran lainnya, Raden Soekardi dicetak untuk menjadi pahlawan kesehatan, memberantas wabah mengerikan yang membayangi penduduk Jawa dengan kematian di sepanjang abad ke-17 dan abad ke-18.

Seperti biasanya, pada tahun-tahun perpindahan tugas bagi seorang dokter bumiputera setelah menyandang gelar Arts merupakan ancaman kehancuran. Pasalnya penghasilan dan uang harian yang setara dengan kuli, disertai dengan perjalanan yang sangat jauh bersama istri dan anak-anak untuk mencapai tempat penugasan. Jika hari ini orang-orang dapat di mobil mewah atau dalam sebuah kereta duduk manis mengelilingi Jawa dari barat ke timur, dari selatan ke utara, tidak pada masa ini! Perjalanan dengan menggunakan kereta kuda, bahkan dengan jalan kaki karena wilayah yang tidak dapat dijangkau kendaraan.

Raden Soekardi menjadi salah satu potret diskriminasi dokter bumiputera dengan pegawai/dokter Belanda. Raden Soekardi ditempatkan di wilayah yang jauh dengan ibu kota Afdeeling. Setiap bulan menikmati gaji 90, dengan biaya sewa rumah sebesar 30, sedangkan untuk mencapai sebuah rumah sakit yang harus dikunjungi harus dicapai dengan menggunakan cikar (sebuah kereta model lama beroda dua) dengan biaya f 30 per bulan. Sementara itu, pendapatan dokter bumiputera masih harus dipotong sebesar 22,5 per bulan. Bisa dibayangkan dalam sebulan Raden Soekardi hidup dengan anggaran 90 – f (30 + 30 + 22,5).

Di tempat penugasan inilah, ia harus menjual perabotan secara lelang untuk bertahan hidup. Keluarganya pun cukup tidur diatas tanah dengan sebuah tikar yang digelar jika hari menjelang malam. Mereka menggunakan kain tua sebagai bantal dan peti-peti tua sebagai meja makan dan kursi. Kemudian sang istri akan berkata “Selama beberapa bulan kita bisa tinggal disini, tetapi tidak untuk lebih lama dengan cara seperti ini kita akan kehabisan uang dan menderita.” Raden Soekardi pernah sesekali berpikir untuk mengakhiri pengabdian dan bekerja sebagai  kuli perkebunan dengan penghasilan lebih dari f 7,50 per bulan. Namun, sekali lagi air matanya meleleh tanpa bahasa yang bisa diucap. Ia hanya bisa diam menahan lutut yang kian lemas dan mendengar detak jantungnya sendiri yang berdetak semakin cepat. Kepercayaannya pada pertolongan Tuhan sangat kuat, sehingga pada suatu ketika ia menderita sakit keras, dan Pemerintah Hindia Belanda memindahkannya dan menganjurkan ia meninggalkan tempat itu secepatnya. “Demikianlah penyelamatan Tuhan terhadap saya” ucapnya lirih dengan senyum menyulum ikhlas.

(Untari)

Referensi:

Buku Ontwikkeling van het Geneeskunding Onderwijs te Weltevreden, 1851-1926