Apa yang terlintas pertama kali ketika Anda menonton film? Seting lokasinya menarik, pemain yang sesuai karakter, atau justru menikmati saja tanpa ekspektasi apapun?
Muchlis Paeni, Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia yang juga mantan ketua Lembaga Sensor Film dalam sebuah diskusi film mengajak kami mengkritisi film ‘Ketika Bung di Ende’. Sebuah film sejarah Bangsa Indonesia dengan Soekarno sebagai tokoh utamanya.
“Apa yang ada di benak kita saat menonton film berdurasi hampir dua jam ini?” tanya Muchlis ketika itu.
Seorang penonton menjawab, “keren!”. Jawaban lain kemudian menyusul. Sebagian mengatakan “mengharukan”, “sedih”, hingga “bangga”. Muchlis kemudian menjelaskan bahwa menikmati film, tidak cukup dengan hanya menonton, tetapi juga memaknai dan melihatnya sebagai sebuah fakta.
“Bila kita bicara film sejarah, banyak hal yang harus kita pahami. Banyak dimensi dan perspertif yang harus dilihat secara seksama, sehingga kita dapat mengetahuinya bahwa apa yang sedang kita tonton adalah sebuah realitas sejarah,” paparnya.
“Waktu Soekarno dibuang di Ende, ia diberi biaya hidup 150 golden oleh pemerintah. Ketika itu raja-raja yang diberi santunan oleh kolonial, hanya diberi 75 golden. Yang menarik di sini adalah, saat Soekarno dibuang, usianya sekitar 34 tahun, sedangkan Inggit, istrinya, berusia 47 tahun. Perbedaan usia mereka saat menikah adalah 13 tahun, Soekarno 23 dan Inggit 35 tahun. Ketika itu Inggit mengatakan, dia menjadi ibu, sahabat dan kekasih bagi Engkus, sapaannya untuk Soekarno. Ini sangat menarik!” Muchlis menjelaskan.
Dalam film sejarah lain, ia melanjutkan, terdapat adegan Soekarno sedang duduk. Apa yang terjadi? Ia tidak membuka kancing jasnya. “Di dalam etika berpakaian, kalau orang berdiri dan berjalan, jas harus terkancing. Tapi kalau duduk, jas harus dibuka kancingnya. Soekarno tidak melakukan itu. Ini adalah properti sejarah yang harus disimak dan ini adalah realitas sejarah yang harus kita pelajari,” katanya.
Tapi poin dalam Film ‘Ketika Bung di Ende ini adalah peranan Inggit. Romantika sejarah dalam film ini, ketika Soekarno akan meninggalkan rumahnya di pengasingan, ia mengatakan, “kita akan pindah ke tempat yang lebih baik dari sini”. Tapi dalam realitas sejarah, itu bukanlah awal pembebasan Inggit, tapi pembuangan inggit selama-lamanyanya, dan Soekarno memilih Fatmawati.
Peran pastor dalam Film ‘Ketika Bung di Ende’ ini, memperlihatkan bagaimana gereja saat itu selalu bertentangan dengan pemerintahan kolonial. Kita melihat bahwa sebenarnya, andil dalam menuju kemerdekaan ini banyak karena orang-orang di sekitar Soekarno. Bila diperhatikan, hampir semua orang dalam Danau Kalimutu itu, merupakan orang-orang pendatang dari berbagai daerah, yang kemudian tinggal di Ende sebagai pendatang.
“Dari situ kita bisa melihat kebhinekaan Soekarno yang diletakkan dalam kepemimpinannya. Begitu banyak suku-suku bangsa yang diunggulkan Soekarno dalam mencapai kemerdekaan. Yang diperjuangkan Soekarno untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, di mana orang-orang yang berbeda-beda hidup dalam satu negara sudah tercapai, meski belum dalam derajat dan harkat yang sama,” sambung Muchlis.
Film ini telah memberikan kesadaran kesejarahan bagi kita semua, bahwa kemerdekaan yang dicapai kita saat ini adalah hasil dari diplomasi para diplomat kita. Perang adalah bumbu dari kemeredekaan itu. Apa yang kita rasakan sekarang ini tidak muncul tiba-tiba, tapi dari proses yang begitu panjang,” tukasnya.