Mengatasi Intoleransi Melalui Kebudayaan

0
3525

Jakarta – Toleransi merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan persatuan bangsa yang bhineka. Berbagai kejadian intoleransi dan radikalisme yang baru-baru terjadi ini berpotensi menghambat upaya tersebut. Permasalahan yang terjadi bukan hanya kemananan, tapi ada problem sosial budaya. Dalam diskusi budaya di Galeri Nasional Indonesia (16/5), Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid menekankan bagaimana memahami permasalahan utama yang dihadapi dan bagaimana kebudayaan dapat berperan.

Menurut Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Andrian Waworuntu, intoleransi dan radikalisme bukan berasal dari Indonesia. Dari sejarahnya, tidak ada budaya radikal di Indonesia, apalagi melibatkan perempuan dan anak-anak.

Sektor pranata keluarga dan pendidikan juga menjadi sorotan. Fenomena radikalisme dan intoleransi menunjukan Indonesia sedang mengalami bencana budaya. Untuk menanggulangi bencana budaya, pranata keluarga dan pendidikan menjadi instrumen utama. Diungkapkan oleh Peneliti Ma’arif Institute, Abdullah, gerakan radikalisme bermula dari generasi muda, pelajar dan mahasiswa. “Perlu memperkuat daya pikir dan nalar anak muda, (karena itu) intervensi harus dilakukan dari pendidikan” tambahnya.

Selain itu, penanggulangan paham radikalisme juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan ruang-ruang publik untuk kegiatan kebudayaan seperti seni, budaya, dan hiburan. Pemanfaatan ruang publik ini seyogyanya langsung menyentuh pranata keluarga dan bahkan individu yang selama ini menjadi hulu dari permasalahan radikalisme.

Lebih lanjut Hilmar Farid menyipulkan bahwa terorisme memiliki masalah hulu dan hilir. Masalah di hilir yang berupa serangan-serangan menjadi ranah kepolisian, BIN dan BNPT. Peran Direktorat Jenderal Kebudayaan berada di hulu. “Ranah ditjen kebudayaan semakin relevan (hulu), cara yang paling efektif adalah memperkuat ketahanan masyarakatnya, tidak tanggung-tanggug bahkan sampai level keluarga” ujar pria yang juga sejarawan tersebut.

Selama ini, Direktorat Jenderal Kebudayaan telah memiliki berbagai program kebudayaan. Program kegiatan tersebut fokus pada budaya asli Indonesia mulai dari kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya dan permuseuman.  Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan, Sri Hartini, menegaskan akan mengupayakan agar program Direktorat Jenderal dapat diimplementasikan pada ruang-ruang publik, pendidikan, bahkan keluarga untuk mendukung penanggulangan intoleransi dan radikalisme