Jakarta – “Akhirnya saudari saya menikah lho, dengan orang (keturunan) Arab,” tutur Tika Ramadhini menirukan kabar dari kawannya yang merupakan warga Bima. Hal tersebut menjadi pembuka presentasi Tika Ramadhini yang berjudul “Mencari Cincin Nabi Sulaiman di Timur Hindia Belanda: Migrasi Arab di Kepulauan Sunda Kecil”. Presentasi ini dipaparkan dalam sesi kedua diskusi panel pada Konverensi Nasional Sejarah X.
Jumlah orang-orang Arab, menurut presentasi Tika berlipat hingga 50% pada awal abad ke 19 di Bima. Adapun jumlah tersebut disinyalir datang ke daerah Sunda Kecil karena aspek perdangan. Komoditas utama adalah penjualan kuda yang dituliskan oleh beberapa sumber Belanda. Bahkan hingga terkenalnya dalam perdagangan kuda, hingga pada catatan Belanda dituliskan kuda Al-Jufri, yakni nama taipan keturunan Arab yang menguasai perdagangan kuda.
Selain perdagangan, orang-orang Arab pun disisipkan dalam puisi meletusnya gunung Tambora, sehingga dengan kata lain, orang Arab memiliki tempat tersendiri di Sunda Kecil terutama dalam kebudayaannya. Oleh karena itu, kembali lagi pada penuturan Tika pada awal presentasi, rupanya bagi orang Bima, menikah dengan keturunan Arab merupakan sebuah prestise tersendiri.
Presentasi selanjutnya mengenai “Monopoli Hingga Tender Terbuka: Strategi dan Negosiasi Pelayaran Garam Madura 1912-1980an” yang disampaikan oleh Imam Syafi’i. Menurutnya pada awal abad ke 20 terjadi monopoli garam yang semuanya berpusatkan di Madura, adapun hal tersebut dilakukan oleh Hegemoni Koninkklijke Pakeetvaart Maatschappij KPM, Madoera Strootram Maatschappij (MSM), dan Oost-Java Zeervoer (OJZ).
Pada akhirnya, hal tersebut menimbulkan dinamika tersendiri oleh masyarakat Madura sebagai pekerja pengangkut garam, walaupun sebenarnya produksi garam di Madura bukanlah hal yang muncul setelah kebijakan monopoli tersebut. Diaspora menjadi hal yang sangat kentara dengan adanya monopoli garam tersebut, sehingga masyarakat Madura memiliki jaringan dengan masyarakat luar Madura. Rupanya pelayaran garam merasuk pula kedalam kebudayaan seperti cerita Gajah Putih dan Saudagar Laut. Hal ini serupa dengan kemiripan apabila panen garam di Madura, bahwa garam akan bertumpuk tumpuk seperti gajah putih.
Kedua presentasi tersebut memiliki kaitan yang amat jelas bahwa perdangangan pada akhirnya menimbulkan dinamika masyarakat, hingga pada akhirnya dinamika tersebut terekam dan memperkaya khasanah sejarah Nusantara
Penulis: Indra