Jakarta – Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia yang patut dijaga dan dirawat. Museum Sumpah Pemuda menggelar seminar nasional bertajuk ‘Kebhinnekaan di Atas Keberagaman’ di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat No 12, Gambir, Jakarta Pusat. Acara ini dilaksanakan dalam rangka melaksanakan visi dan misi Museum Sumpah Pemuda sebagai sarana edukasi ke generasi muda.
Hasil rumusan seminar nantinya diharapkan dapat diimplementasikan dalam berbagai program dan kegiatan, serta meningkatkan pelayanan museum.
Peserta seminar dihadiri oleh dosen, guru, mahasiswa dan instansi terkait, termasuk di dalamnya universitas di luar daerah. Demikian disampaikan Kepala Museum Sumpah Pemuda, Huriyati. Acara pun dibuka oleh Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Hilmar Farid menyampaikan beberapa pokok pikiran yang berkaitan dengan seminar ‘Kebhinnekaan di Atas Keberagaman’. Apalagi belakangan ini isu-isu kebhinnekaan mulai dihidupkan kembali, khususnya menyinggung soal bhineka sebagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Ini menjadi diskusi yang sangat menarik. Ada pertanyaan mengenai banyak sekali tonggak-tonggak dasar sejarah kita yang didiskusikan kembali. Di satu sisi mungkin dianggap mengkhawatirkan karena pancasila yang sudah menjadi final didiskusikan kembali. Tapi di sisi lain juga tandanya bahwa prinsip-prinsip dasar yang melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara ini memang sepatutnya harus dibicarakan, karena kalau tidak pesona dan daya pikatnya akan memudar. Dengan terus membicarakannya juga menjadi langkah yang baik untuk memastikan landasan itu tetap berjalan seperti semestinya,” disampaikan Hilmar Farid saat pembukaan seminar.
Seminar ini dibagi menjadi dua sesi panel dengan materi yang saling berkaitan. Para pembicara yang dihadirkan antara lain Hasjim Djalal sebagai ahli hukum laut, sejarawan Rushdy Hoesein, mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Ing Wardiman Djojonegoro, dan mantan menteri Kemenpora Adhyaksa Dault. Materi yang dibicarakan seputar Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Sumbang Pemikiran Ir. Soekarno dan Dampak Kongres Pemuda ke II.
Melalui seminar ini Hilmar Farid berharap tidak ada alasan lagi dari masing-masing individu untuk menatap sinis terhadap semboyan negara tersebut.
“Kita harus memiliki basik empirik yang kuat untuk memperlihatkan Bhinneka Tunggal Ika secara konkret. Studi seperti ini perlu dilakukan dan tentu pekerjaan raksasa yang melibatkan lembaga-lembaga negara. Di Kemendikbud sedang merintis yang melibatkan asosiasi antropologi, teman-teman sejarawan dan lainnya,” tutupnya.