You are currently viewing Stigma Sayembara Ratu Juliana Dalam Sosok Basoeki Abdullah
Lukisan Ratu Juliana karya Basoeki Abdullah yang memenangi sayembara lukis penobatan Ratu Juliana mengalahkan 87 pelukis se Eropa.

Stigma Sayembara Ratu Juliana Dalam Sosok Basoeki Abdullah

Nasionalis? Ataukah tidak? Hingga kini pertanyaan akan nasionalisme Basoeki Abdullah kerap menjadi perdebatan di kalangan seniman maupun masyarakat umum. 

Basoeki Abdullah sering dianggap tidak nasionalis oleh beberapa rekannya maupun sebagian masyarakat. Ia pun selalu menolak stigma itu dengan keras. Basoeki mengatakan bahwa sebuah lukisan lahir tidak harus dengan menyandang paradigma perjuangan kebangsaan. Ketika pada tahun 1930-1940an ia melukis untuk kegembiraan para pecinta seni, yang notabene orang-orang Eropa, tidak berarti ia mengabdi kepada Eropa.

Dalam perjalanan karirnya, Basoeki Abdullah lantas membiarkan kritik berlalu. Pun ketika S. Sudjojono, tokoh PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) menyindir sebagian pekerjaannya sebagai lukisan Mooi Indie. Atau manifestasi seni lukisan yang cuma memperlihatkan kemolekan semata, lantaran melayani kantung turis yang sekadar berhasrat rekreasi mata.

Namun kontoversi sikap Basoeki yang nampak “ditakdirkan” ini mudah dikaitkan ke mana-mana, lewat berbagai kebetulan. Pada saat Clash II atau pertempuran kedua di tahun 1948 di Yogyakarta meletus, dan bangsa Indonesia sibuk menyibak debu dan darah, secara kebetulan ia sedang ikut lomba melukis penobatan Ratu Juliana di Niew Kerk, Amsterdam, Belanda. Atas realitas ini, apakah berarti Basoeki bisa diseret sebagai anak bangsa yang anasionalis?

“Saya justru ingin menunjukkan kepada mereka bahwa orang Indonesia bukan cuma bangsa kuli. Tapi juga punya reputasi dalam seni. Dalam forum itu saya tampil sebagai juara, mengalahkan 87 pelukis Belanda!,” katanya.

Di sisi lain sejarah menulis, tak ada hubungan antara kebijakan militer yang dilakukan Belanda di Indonesia dengan program kesenian dan kebudayaan yang dikembangkan pemerintah Belanda di negerinya. Tapi bagaimana pun, “stigma lomba Juliana” itu tetap menjadi batu sandung Basoeki. Itulah sebabnya mengapa selama lebih dari 30 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono IX menolak dilukis olehnya. Meski Basoeki kemudian bisa “menangkap”nya, dan berhasil melukis Sri Sultan secara langsung pada 13 Januari 1987.

Basoeki juga menegaskan bahwa dirinya amat banyak melukis pahlawan-pahlawan bangsa. Bahkan, kisahnya, yang melukis pertama kali wajah Pangeran Diponegoro yang sebenar-benarnya adalah dia, lewat pertemuan di alam gaib. Basoeki menyebut bahwa wajah Diponegoro dalam karya Raden Saleh (Penangkapan Diponegoro, 1858) dan karya Nicolas Pieneman (The Submission of Diponegoro) adalah tidak tepat, karena hanya dianggap berdasar perkiraan.

Basoeki mengakui dirinya borjuis, karena ia memang anak ningrat. Ayahnya adalah Raden Abdullah Suryo Subroto, pelukis pemandangan ternama awal abad 20, dan kakeknya adalah Dr. Wahidin Sudirohusodo, bangsawan, tokoh kebangkitan nasional yang keluar dari kubah keraton. Maka, jika ia melukiskan dunianya yang parlente, berarti ia memang jujur terhadap apa yang ia lihat di dekatnya. Ia berniat antihiprokit, tak ingin pura-pura jadi pejuang.