Pameran Daring “Rona dan Bayang”

Pengantar Kuratorial Pameran Daring

Rona dan Bayang

Efix Mulyadi

Kurator Bentara Budaya Jakarta

Bangkit di Tengah Ancaman Covid-19

Ketika diresmikan pembukaannya pada 11 Maret 2020, pameran seni rupa Man X Universe karya Srihadi Soedarsono di Galeri Nasional Jakarta dihadiri cukup banyak undangan. Meski santer terdengar kabar tentang bahaya corona baru, namun pada waktu itu yang sudah dipatuhi umumnya barulah anjuran agar tidak bersalaman. Sebagian hadirin sudah mulai saling menjaga jarak, namun hanya beberapa yang mengenakan masker. Bisa dipahami kalau banyak yang batal mengunjungi pameran yang berlangsung sampai 9 April tersebut, karena berhitung dengan keselamatan diri di tengah keramaian.

“Kami prihatin adanya virus, sehingga pameran kami masih tertahan di Galnas… sampai kapan,” tulis Srihadi dalam pesan Whatsapp kepada penulis tanggal 20 April 2020.

Bukan hanya hajatan seni sang maestro saja yang terkena getah, serangan virus berbahaya ini tidak pandang bulu dan mengacaukan acara pameran di berbagai kota di tanah air. Banyak agenda kegiatan seni budaya harus ditunda atau dirancang ulang. Namun, hal itu tidak hanya berlaku di kalangan seni rupa; konser musik, pertunjukan tari atau teater, bedah buku, ceramah, seminar kebudayaan, dan semua acara yang melibatkan banyak orang ikut terdampak.

Memang di sinilah kita sekarang, di tengah situasi yang begitu musykil, yang bahkan terbayang pun tidak. Penyebaran yang cepat dan masif membuat manusia yang hidup di abad 21 ini mengalami ancaman pandemi oleh virus Covid-19. Dampaknya multi dimensional. Praktis seluruh gerak kehidupan berubah.

Di Indonesia pembatasan dalam berbagai bentuk dan ukuran untuk memutus penyebaran penyakit menular ini memperoleh berbagai tanggapan. Ada saja warga yang membangkang dan berburuk sangka, tapi sungguh jauh lebih banyak yang memberi harapan. Ajakan untuk bekerja dari rumah misalnya, menyebar secara luas. Sebagian seniman –yang memang tidak terbiasa “ngantor”—mewujudkannya dengan segera. Mereka kemudian menampilkan karya-karya rumahan di panggung dunia maya.

Yang waktunya berdekatan dengan saat tulisan ini diketik saja ada sejumlah pertunjukan daring atau workshop daring. Seniman penampil maupun tutor tidak perlu bertatap muka dengan para penikmat pertunjukan atau peserta workshop. Jumat, 24 April pukul 11.00 penari tenar Didik Nini Thowok membuka kelas tari untuk mengenalkan ragam topeng dan teknik penggunaannya. Galeri Indonesia Kaya memberi workshop penulisan kreatif bersama penyair, penulis, dan sutradara Putu Fajar Arcana yang juga redaktur surat kabar Kompas pada 18 dan 19 April. Tiga perempuan aktor Teater Koma membacakan puisi karya dramawan N. Riantiarno bertajuk J.J. alias Jian dan Juhro. Pergelaran trio ini direkam secara terpisah dan dapat diakses di https://youtu.be/ul_hJL7egf4 mulai 21 April bertepatan dengan Hari Kartini.

Sudah tentu pertunjukan daring sama sekali bukan perkara baru. Di kalangan industri musik sudah jamak para artis–terutama debutan–tampil di jagad maya terutama sesudah penggemar tidak lagi memburu CD rekaman mereka secara fisik karena lebih suka mengunduhnya dari internet. Di dalam keadaan normal, panggung adalah aktualisasi diri mereka yang paling nyata. Kini panggung virtual menjadi keniscayaan.

Demikian juga bagi para perupa. Episode pertama program Teras Kita yang digarap oleh Bentara Budaya, menampilkan kegiatan rumahan termasuk ketika berkarya dari para perempuan perupa. Rekaman video bertema Women a(r)t Home ini dikerjakan oleh masing-masing seniman terpilih (Rotua Magdalena, Theresia Agustina Sitompul, Dona Prawita, Arissuta, dan Emmy Go) untuk menghindarkan kerumunan banyak orang. Tontonan yang diluncurkan ke angkasa pada 9 April 2020 ini menjadi alternatif kegiatan di masa sulit bagi keempat venue Bentara Budaya di Yogya, Solo, Bali, dan Jakarta.

Begitulah para seniman bergerak. Mengajak bangkit di tengah ancaman Covid-19. Peluang yang sangat luas tersedia. Sebutlah itu bagi sejumlah paguyuban sketser, misalnya, yang menjamur di berbagai kota. Tahun lalu eksibisi mereka di Galeri Nasional Jakarta menarik cukup banyak pengunjung. Sukses semacam ini boleh diharap terulang dengan cara berbeda. Komunitas lukis cat air Kolcai yang merancang dua pameran akbar pada tahun 2020 ini mungkin juga akan mengubah ruang pamer fisik yang sedianya berlangsung di Jakarta dan Semarang menjadi dua alamat situs-tak-teraba. Kolcai yang semula tumbuh di dalam komunitas pertemanan Facebook, selama ini tampil di ruang galeri yang nyata di berbagai kota. Paguyuban seni rupa yang mengklaim punya anggota sebanyak 25.000 orang tersebut, tentu mampu membuat eksibisi model baru karya warganya secara bergiliran sepanjang tahun.

Entah untuk berapa lama ke depan, pameran seni rupa di jagad maya boleh jadi akan menjadi pilihan utama. Dapat dibayangkan kalau para seniman mapan bersiap untuk menggunakan modus baru ini. Sebelumnya, bermain di kancah virtual hanyalah pelengkap di dalam merawat kehadiran mereka di dalam ingatan publik, tak beda dengan penerbitan buku berisi gagasan dan reproduksi karya, atau wawancara di koran, radio, dan televisi.

Oleh karena itu, langkah Museum Basoeki Abdullah untuk menyelenggarakan pameran secara daring yang diawali dengan pagelaran lukisan bertajuk Rona & Bayang sungguh tepat. Inilah pameran perdana lembaga kebudayaan tersebut dalam kancah galeri tak teraba. Kebetulan ini juga merupakan pameran tunggal yang pertama bagi seniman yang terpilih, yaitu M Hady Santoso, sesudah belasan kali tampil bersama perupa lain.

Untuk kegiatan ini Hady menyiapkan 30 lukisan. Ia membaginya di dalam dua kelompok, yaitu Rona dan Bayang. Keduanya dibedakan lewat medium dan teknik yang dipakai, yaitu akrilik dengan karya-karya yang relatif kaya akan warna untuk Rona dan bubuk kopi yang tunggal nada kecoklatan untuk Bayang. Penonton dapat menikmati keduanya dengan leluasa mengingat jumlah karya yang memadai sambil menimbang apakah sesungguhnya yang esensial dari pembedaan tersebut.

Mengaku tidak punya latar pendidikan resmi di bidang seni rupa, Hady terlatih menggambar sejak kecil di daerah asalnya di kawasan Purwodadi, Jawa Tengah. Ia  adalah seorang desainer buku dan illustrator di penerbit Elex Komputindo di Jakarta, yang pekerjaannya tentu membutuhkan kepekaan visual di samping keterampilan menggambar yang terasah. Itulah yang ia perlihatkan di dalam sejumlah besar karya-karya lukis, baik yang tampil dalam pameran ini, maupun yang tersimpan sebagai koleksi pribadinya.

Permainan simbol, tanda, dan penanda lebih menonjol pada karya-karya akriliknya seperti tampak pada gambar orang-orang berdasi yang menjadi joki karapan sapi yang dikuatkan oleh judul Kolonialisasi Zaman Now. Lukisan lain berupa bayi di dalam sebuah peti terbuka dan memegang tanaman yang subur bertajuk Tuhan Aku Mohon: kehidupan baru yang bertumbuh. Simbol yang pasti muncul dalam gambar seekor panda melepas burung merpati dengan latar bangunan modern dengan aksen arsitektur Cina yang saling dukung dengan tajuknya A Harmony for the Better Future. Panda adalah simbol negeri tirai bambu dan merpati dipandang sebagai citra perdamaian.

Bertumpu pada penggambaran yang realistik, Hady memilih memainkan warna seturut kehendaknya sendiri, termasuk untuk pemandangan perkotaan (Palmerah Selatan Tempo Doeloe). Silakan menebak apakah aksi pewarnaan untuk memotret dua tokoh terkenal (Boeng Karno dan Jokowi) dalam dua lukisan yang berbeda memperoleh dampak yang tepat guna. Berada di ambang batas antara lukisan potret dan poster, wajah kedua negarawan itu dibubuhi frasa kalimat penting yang populer dan mengukuhkan posisi keduanya di dalam kenangan kolektif masyarakat.

Beberapa lukisan yang ia kerjakan dengan medium kopi memberi kesan kuat akan tekstur yang terbangun melalui sapuan, penebalan, atau pengolahan warna yang tepat. Hal itu terutama menonjol pada bentuk-bentuk yang disusun dari pengulangan garis dan sapuan yang bersifat lengkung. Bukan kebetulan kalau lukisan seperti The Power yang dibuatnya pada tahun 2018 dengan sosok mahluk legenda naga atau barongsai berikut para pemain tampak mendapatkan teknik yang tepat. Selain citra bentuk yang menarik, Anda bisa ikut merasakan kesan gerak yang tak berkesudahan pada hampir seluruh permukaan gambar yang berukuran 140 cm x 200 cm tersebut.

Perkara serupa bisa diikuti pada We Won dengan format yang sama besar, meskipun dengan kesan gerak yang minimal. Lukisan yang dikerjakan tahun 2019 ini mengambil tema kekayaan tradisi Bali, bagian dari fragmen tari Barong-Rangda dengan aksi tusuk keris ke tubuh sendiri para penari laki-laki. Sosok-sosok di sini tampil bersih dan jelas, serta bukan bagian dari semesta garis dan sapuan lengkung sebagai kesatuan organik.

Keuntungan seperti ini tidak atau kurang diupayakan pada beberapa karya yang lain. Sebutlah itu termasuk The Miracle of Love yang tampaknya berisi cuplikan adegan burung Jatayu, Hanoman, Dewi Sita, dan penculiknya Rahwana dari epos Ramayana yang terkenal. Sebut pula lukisan berjudul Napoleon Jawa yang menggambarkan adegan perang seorang pejuang berkuda (Sentot Prawirodirjo, panglima perang Pangeran Diponegoro yang paling muda). Hal serupa juga terjadi pada Tanpa Lirik yang memotret tokoh bangsa pencipta lagu Indonesia Raya, W. R. Supratman.

Mengapa uraian yang sedikit teknis ini saya anggap penting? Karena saya hampir yakin bahwa bubuk kopi sebagai medium untuk melukis menyediakan kemungkinan untuk menjadi khas, seperti sudah terungkap dalam sebuah alinea di muka. Kesan tekstural cukup berharga untuk disiasati dan digulati dalam upaya menemukan berbagai kemungkinan lain–yang siapa tahu lebih luas. Pada sisi lain, sifat ketunggalnadaan dalam warna kecoklatan, juga berpotensi menghadirkan kekuatan masa lampau. Seperti kesan blur pada lukisan cat air, dalam konteks pelukisan yang cenderung realistik bubuk kopi boleh diharap melahirkan efek-efek psikologis seperti permainan ambang nyata-maya, sadar tak sadar dan seterusnya. Tentu saja ini spekulatif dan kerja seni tidak pernah terbebas dari ketidakpastian.

Bubuk kopi cukup dikenal belakangan ini sebagai medium untuk melukis, agaknya lebih populer dibanding dengan teh sebagai sesama pewarna berbasis air. Paling sedikit sebagai perabotan melukis ia berpeluang dicatat tersendiri sebagai media lukis alternatif di samping cat minyak, akrilik, cat air, tinta cina, arang, pensil, dan seterusnya.

Sudah tentu membutuhkan waktu untuk membuktikan apakah bubuk kopi akan bisa bertahan cukup panjang untuk bisa melahirkan karya-karya yang layak bersanding dengan lukisan yang digarap dengan medium lain. Kalau berminat, Hady punya kesanggupan bekerja di wilayah ini. Ia meraih posisi juara pertama lomba lukis dengan media kopi dalam perhelatan Hari Museum di Jakarta, Oktober 2018. Menang lomba itu perkara momentum, sedang memperjuangkan sesuatu itu berurusan dengan daya tahan.

Selamat berpameran untuk Hady dan Museum Basoeki Abdullah. Untuk penonton, selamat menikmati karya-karya yang nyaman dipandang di tengah hari-hari panjang mengurung diri di rumah. Semoga kelak kita bisa berjumpa di darat dalam keadaan sehat dan bahagia selepas bencana Covid-19.

Efix Mulyadi adalah wartawan, kurator Bentara Budaya, kurator IWS Indonesia

Link Katalog Pameran Daring “Rona dan Bayang” 

http://bit.ly/RonaDanBayang