You are currently viewing Kritik Seni – Cara Manusia Membaca Kebutuhan Hewan
Basoeki Abdullah - Perbedaan Pengertian

Kritik Seni – Cara Manusia Membaca Kebutuhan Hewan

Oleh: Pascalis Muritegar Embu-Worho (Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang)

MANUSIA memang sudah terlanjur memandang dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan mulia, dibanding benda-benda lainnya, termasuk dibanding hewan. Ini hanya karena gara-gara manusia diberi akal, sedangkan makluk lainnya terlanjur dinilai tidak berakal. Oleh karena itu, sejak dahulu-kala, filsafat selalu mengarahkan manusia sebagai obyek kajiannya, yaitu mengungkap semua misteri tentang manusia. Katanya, manusia menjalani hidupnya berdasarkan kebutuhan dan keinginan yang disaring oleh rasa dan rasio, sedangkan pada hewan dianggap hanya punya naluri.

Untuk itu, dalam mendukung kehidupannya, manusia berusaha agar memenuhi keinginan dan kebutuhannya agar dapat terpenuhi. Ilmu kesehatan manusia, ilmu ekonomi, ilmu pertanian, ilmu bahasa dan sastra, bahkan ilmu hewan pun ditemukan dalam rangka mendukung kehidupan manusia. Di sinilah untuk memperlihatkan bahwa manusia adalah pusat kehidupan menurut versi manusia itu sendiri.

Hewan pun ditempatkan sebagai makluk pendukung kehidupan manusia. Hewan diposisikan sebagai obyek, terutama sebagai pemenuhan kebutuhan gizi manusia atau sebagai alat transportasi belaka, sehingga keinginan dan kebutuhan hewan pun tidak terlalu penting untuk dipikirkan manusia. Andai saja hewan tidak dapat dimakan, tidak bisa untuk alat transportasi manusia, tidak bisa digunakan kulitnya untuk pakaian dan perhiasan, bahkan tidak bisa buat bahan kosmetik  dan obat-obatan, maka manusia tidak akan berhubungan dengan hewan.Andaikan sapi pun tidak bisa memberi daging bagi manusia, tidak bisa buat menarik pedati, atau tidak bisa buat luku sawah, maka sapi pun dijauhi manusia mirip juga dengan nasib kecoak yang dipandang menjijikkan oleh manusia.

Jadi, di mata manusia, hewan adalah obyek. Hewan bukan subyek. Hewan dipandang sebagai makluk pelengkap dunia yang tugasnya untuk mendukung kehidupan manusia. Ini artinya hewan lebih rendah dari manusia, meskipun filsafat pun sudah menempatkan bahwa manusia adalah binatang juga (animal, zoon) (Ernest Haeskel). Hanya karena ada homo sapiens,  zoon-politicion (Aristoteles) dan zoon-economic (Adam Smith), maka manusia sudah melupakan bahwa manusia juga hewan buas (homo homini lupus) (Thomas Hobbes), a shortage animal (hewan yang berkekurangan) yaitu yang tak pernah puas (das rucht festgestelte tier) (Frederich Nietzche).

Bagaimana Basuki Abdullah menggambarkan akibat dari dialektika manusia dan hewan seperti itu?

Lain Manusia, Lain Hewan

Dalam lukisan “Perbedaan Pengertian” karya Basuki Abdullah menunjukkan bahwa sang peternak (manusia) mengalami kesulitan mengendalikan dua kawanan sapi ternaknya (hewan) di sungai. Sang peternak menarik sapi-sapinya untuk digiring masuk sungai sebagai cara dia untuk memberi jaminan hidup sapi-sapinya dengan memberi minum langsung di air sungai, namun dua kawanan sapinya malah tidak mau minum di sungai itu. Beberapa sapi di sebelah kanan sudah tampak membelakangi sungai yang berarti meninggalkan sungai, sedangkan beberapa sapi lagi di sebelah kirinya tampak menghadap sungai namun tidak juga meminum air sungai itu. Akhirnya kawanan sapi pertama menariknya ingin pulang ke darat, sementara sekelompok sapi yang kedua masih tetap di sungai walau tidak minum. Sementara itu, sang peternaknya tetap menarik dua kawanan sapi itu untuk tetap berada di sungai dengan harapan agar semua sapinya harus minum.

Basuki Abdullah melukis secara nyata dan natural, bahwa diantara sekian banyak kisah hewan yang mengikuti saja kemauan manusia, ada juga di saat berbeda hewan yang sama pun bisa bertindak berbeda dari apa yang dikehendaki manusia. Dari kisah yang paling ringan misalnya tidak mau jalan searah dengan tarikan tuannya hingga yang paling ekstrimnya hewan bisa memangsai manusia hingga tewas, baik hewan jinak maupun hewan liar yang buas. Tentu saja, siapa pun orangnya, manusia tidak pernah bercita-cita untuk dimangsai hewan.

Lukisan Basuki Abdullah itu menggambarkan sapi sebagai hewan ternak (jinak) pun tidak bisa seratus persen mengikuti kemauan tuannya (peternak) untuk minum air di sungai. Di mata tuannya yang manusia, bisa saja menganggap sapi-sapi itu tidak tahu terima kasih dan tidak bisa balas budi baiknya yang sudah jauh-jauh membawa mereka ke sungai. Mengapa sapi-sapi itu tidak bisa mengikuti kemauan tuannya?

Jauh di dalam inti yang tersembunyi di lukisan itu dapat terbaca bahwa inilah akibatnya dari kesombongan manusia yang memandang dirinya sebagai makluk paling sempurna, paling mulia, dan paling berakal budi. Bayangkan, hanya untuk memahami kapan sapi membutuhkan minum pun manusia tidak tahu, sehingga manusia telah melakukan kegiatan sia-sia untuk mengantarkan sapi menuju sungai di saat sapi-sapi belum haus.

Ternyata manusia lupa untuk memahami pisikologi hewan. Inilah yang menjadi awal mula hewan bisa bertindak di luar harapan manusia, mulai dari tidak mau mengikuti perintah manusia hingga memangsai manusia juga.

Hewan pun memiliki peradaban yang sama dengan manusia, yaitu tidak mau melakukan hal yang tidak dibutuhkan. Bahkan hewan menjadi jauh lebih disiplin akan kebutuhan dirinya ketimbang manusia. Lihat, manusia bisa “terpaksa” makan hanya karena ewuh-pakewuh dengan orang yang sudah menyuguhkan. Jadi, lukisan Basuki Abdullah yang ini sekaligus untuk menampar manusia bahwa kita tidak perlu berpura-pura membutuhkan kalau memang tidak membutuhkannya. Menggunakan sesuatu yang tidak dibutuhkan akan berakibat fatal. Sudah makan lalu makan lagi karena ewuh-pakewuh, maka merusak kesehatan. Minum berlebihan yang tidak sesuai kebutuhan, bisa merusak ginjal. Dalam realita, banyak manusia terserang penyakit lantaran volume makan dan minumnya berlebihan, tidak sesuai kebutuhan. Lukisan ini mengingatkan kita, bahwa sapi bisa lebih berakal ketimbang manusia yang selama ini sudah mengklaim diri makluk sempurna dan berakal (homosapiens).

Memang, ketidakpedulian sapi akan jerih-payah tuannya yang capek mengantarkan mereka ke sungai bisa menujukkan bahwa hewan itu hidup secara naluriah, tidak pakai logika untuk memahami perasaan tuannya (capek) yang manusia. Sebaliknya, manusia yang terlalu memainkan rasa (hingga tetap makan meski sudah kenyang) pun menjadi terlihat tidak punya rasio (akal). Jadi, ketika manusia didominasi oleh rasa, maka manusia akan terlihat lebih rendah dari hewan; dimana hewan tidak akan makan kalau sudah kenyang, tapi manusia bisa saja makan lagi meski sudah kenyang. Sebodoh-bodohnya hewan tidak akan berubah ke yang lebih rendah lagi.

Agar manusia tidak melakukan kegiatan sia-sia bersama hewan, maka manusia pun harus memahami psikologi hewan. Kapankah saat yang tepat hewan membutuhkan makan, minum, tidur, bahkan seks? Manusia harus memfasilitasi hewan sesuai kebutuhan hewan juga.

Sebenarnya manusia tidak perlu harus susah-susah untuk harus mengurus makanan, minuman, rumah, dan seksnya hewan, asalkan manusia cukup saja mengerti bahwa hewan itu makluk ciptaan Tuhan yang sejajar dengan manusia juga. Untuk menunjukkan kesejajaran antar-makluk itu, maka hewan pun harus dilepas bebas di alam raya ini. Inilah “Perbedaan Pengertian” antara manusia sebagai salah satu makluk dengan Tuhan sebagai pencipta semua makluk. Tuhan menghendaki setiap makluk mengalami kebebasan, sedangkan manusia merasa berkewajiban untuk mengatur-atur makluk yang lainnya. Sekali lagi, Basuki Abdullah sungguh hebat melukis “Perbedaan Pengertian” antara Tuhan dan manusia.

Naturalis yang Kurang Natural

Dibalik kesuksesannya dalam melukis konstruksi hubungan sosial antara manusia dan hewan dalam karya ini, Basuki Abdullah gagal melukis air sungai sebagai latar belakang sang matter (sapi), khususnya air yang berada di sebelah kanan peternak dan pertemuan air itu dengan tepi daratan. Antara gradasi warna air yang gelap halus dan tepi daratan itu yang cenderung tertata rapi memancarkan panorama seolah ada konstruksi dinding sumur beton yang membelah sungai dan daratan. Jika itu adalah sumur dimana kawanan sapi di kanan sedang meloncat terjun ke dalam sumur, maka dengan sudut proyeksi mata pelukis yang membentuk sudut miring tidak memperlihatkan permukaan sumurnya, sementara punggung-punggung sapi dapat dilihat dengan jelas. Begitu juga dengan daun-daunan di sekitarnya dapat dilihat dari atas, sehingga jika itu sumur maka lingkaran permukaannya dapat pula dilihat.

Sementara itu, gradasi warna air mengalir yang sebelah kanan lebih terang memperlihatkan bahwa seolah air mengalir dari jauh dan vertikal menuju ke peternak dan sapi-sapinya. Sedangkan pewarnaan air di sekitar sapi dan peternak yang lebih gelap yang memperlihatkan betapa timbunan gelembung di atas batu-batuan kecil di dasar sungai menunjukkan bahwa air dari kiri mengalir ke arah kanan. Keseluruhan arah air menjadi berlawanan; yang satu mengalir dari depan dan yang satunya mengalir dari belakang. Dalam realita alam, air selalu mengalir dari dataran tinggi ke permukaan yang lebih rendah, sehingga air yang berada dalam satu jalur dengan arah berlawanan itu tidak pernah ada dalam alam ini. Meski lukisan ini memberi judul “Perbedaan Pengertian”, namun air mengalir tak pernah mungkin berbeda pengertian.

Jadi, kegagalan Basuki Abdullah dalam karya ini hanya terletak pada pewarnaan dan cakrawalanya, sementara di sisi pengekspresian sosial hubungan antara sapi (hewan) dan peternak (manusia) yang perbedaan pengertian sangat sukses. Karya ini mampu menyajikan fakta bahwa cara pandang manusia terhadap isi alam raya ini masih bias narsisisme manusia.

Perkembangan peradaban manusia sampai hari ini belumlah bergeser dari cara pandang bahwa manusia adalah makluk paling sempurna dan hewan hanya obyek pelengkap untuk mendukung kehidupan manusia. Ini berarti hubungan manusia dan hewan akan masih tetap sama seperti selama ini, yaitu hewan hanyalah obyek manusia. Perbedaan pandangan antara hewan dan manusia tetap akan terjadi sampai kapan pun. Ini berarti karya “Perbedaan Pengertian” Basuki Abdullah ini masih menjadi satir bagi manusia masa lalu, kini, dan masa depan. (***)

*Disadur dari tulisan dalam Lomba Kritik Seni Lukis 2017 “Spirit Basuki Abdullah: Dahulu, Kini, dan Mendatang“