You are currently viewing Akar Seni Lukis Potret dalam Kebudayaan Indonesia
Lukisan Potret Diri karya Basoeki Abdullah

Akar Seni Lukis Potret dalam Kebudayaan Indonesia

Oleh: Agus Aris Munandar

Tradisi seni lukis potret di Indonesia telah berakar cukup lama sejak abad abad Klasik Indonesia (abad ke 8 – 15 M), masa berkaryanya Raden Saleh Syarif Bustaman (abad ke-19) hingga zaman sekarang ini yang melahirkan cukup banyak maestro seni lukis potret. Dalam makalah ini, seni lukis potret yang dimaksudkan bukanlah lukisan potret orang belaka. Konsep lukisan potret tidak hanya potret dalam pengertian sempit yang hanya berkenaan dengan potret orang, namun potret dalam pengertian yang seluasnya. Selain lukisan yang menggambarkan tokoh-tokoh dalam format lukisan potret seni seperti lukisan para negarawan atau tokoh tertentu, seni lukis potret dalam pengertian luasnya adalah lukisan yang memotret suasana dan fenomena kebudayaan beserta masyarakat pendukungnya, memotret kehidupan di sekitar kita.

Sebagai genre dalam seni lukis, lukisan potret bertujuan untuk menampilkan atau menggambarkan visual dari objek sama persis ke dalam kanvas. Dalam perwujudannya, lukisan potret menampilkan bentuk objek secara seluruh tubuh dengan bentuk ‘panjang penuh’, ‘setengah panjang’, ‘kepala dan bahu’ (juga disebut ‘bust’), atau ‘kepala’, dan juga profil, “tiga-perempat”, atau “wajah penuh”, dengan berbagai arah cahaya dan bayangan. Kebanyakan seniman yang berkarya seni lukis potret mungkin berusaha untuk menampilkan karyanya secara realisme fotografis atau impresionistis dengan memaksimalkan kesamaan dalam menggambarkan subjek mereka.

Lukisan potret diharapkan tidak hanya menampilkan karya akhir yang berwujud sesuai dengan makna kemiripan secara harfiah saja, namun juga harus mampu menunjukkan representasi tertentu dibalik lukisan potret tersebut seperti karakter, esensi batin, ekspresi ataupun sisi lain dari objek (dari sudut pandang sang seniman). Sebagaimana pernyataan Aristoteles dalam buku The Art of Portrait Painting, “Tujuan seni adalah bukan hanya untuk menyajikan hal penampilan luarnya atau eksternalnya dengan detail saja, tetapi juga batin mereka, bila itu terwujud maka dapat dikatakan merupakan realitas sejati.” (Aymar 1967: 119). Berdasar pernyataan tersebut, diharapkan bahwa karya yang dihasilkan mampu menunjukkan cita rasa, nilai, dan pemaknaan yang berbeda dengan hasil fotografi.

Ada satu hal yang penting dalam keberhasilan untuk mewujudkan seni lukis potret yaitu kemampuan dalam setiap proses berkarya yang dimulai dari kemampuan sang seniman mengenali identitas objek tersebut kepada penikmat yaitu berupa penuangannya dalam media kanvas sehingga dengan mudah penikmat seni mampu untuk mengenal, mengetahui, dan memahami objek karya lukis potret tersebut dengan baik.

Sebenarnya wujud seni rupa yang menggambarkan potret dalam pengertian seluasnya telah dikenal oleh nenek moyang bangsa Indonesia sejak lama. Bukti nyata tentang adanya penggambaran adegan-adegan atau potret adegan manusia dan masyarakat terdapat pada relief candi-candi. Indonesia memiliki dua bangunan candi besar yang sarat dengan relief yang menggambarkan seni rupa dalam bingkai potret. Pertama, Candi Borobudur yang dibangun oleh wangsa Sailendra sekitar pertengahan abad ke-9 M yang merupakan Candi Buddha Mahayana. Yang kedua, gugusan Candi Prambanan (Roro Jonggrang) yang selesai di garap pada sekitar akhir abad ke-9 M, yang merupakan percandian Hindu-Saiwa.

Pada kedua candi tersebut tergambar relief cerita yang berbeda sesuai dengan napas agamanya. Di candi Borobudur dipahatkan relief dengan kisah Mahakarmmawibhangga, Jataka-Avadana, dan Lalitawistara. Adapun di Candi Prambanan dipahatkan relief cerita Ramayana dan Krsnayana. Salah satu adegan dalam kisah Mahakarmmawibhangga, terlihat serombongan orang (berpayung) memberikan persembahan kepada orang-orang miskin. Pada adegan kiri terlihat ada seorang penting (bangsawan?) yang dihadapi oleh para pengikutnya.

Adegan-adegan relief tersebut dibuat oleh nenek moyang bangsa Indonesia sendiri dengan kecermatan, ketepatan, dan kesesuaian antara objek yang digambarkan dengan objek sebenarnya. Meskipun batu adalah media yang sulit untuk dibentuk karena sifatnya tidak plastis, nenek moyang kita telah mampu menghadirkan estetika tingkat tinggi pada relief-relief batu tersebut.

Relief-relief cerita yang digambarkan di kedua candi besar tersebut jelas digarap oleh tangan-tangan silpin (seniman) yang terampil pada masanya. Mereka juga telah berhasil menghadirkan suasana dan karakter pada penggambaran relief. Pada relief-relief di Candi Borobudur, suasana khidmat yang syahdu senantiasa terdapat pada setiap penggambaran panil reliefnya karena memang candi itu dibangun untuk sarana meditasi. Lain halnya dengan relief Ramayana dan Krsnoyana di percandian Prambanan, panil-panilnya selalu menggambarkan suasana dinamis, kepahlawanan, dan penuh perjuangan. Hal ini selain sejalan dengan kisahnya, juga sesuai dengan tujuan pembangunan Prambanan sebagai candi untuk memuliakan tiga dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa).

Seni lukis potret di Indonesia juga mempunyai akar tradisi lokal yang kedua, yaitu pada pemahatan arca-arca Dewa atau tokoh yang diperdewa. Pada masa Singhasari – Majapahit (abad ke 13-15 M) terdapat suatu bentuk pemujaan kepada Dewaraja, artinya seorang yang telah meninggal kemudian dibuatkan arcanya sesuai dengan dewa yang senantiasa dipujanya ketika dia hidup dahulu (ista-dewata). Arca tersebut kemudian disimpan di dalam bilik candi pendharmaan yang dibangun untuk memuja tokoh yang telah meninggal dan didewakan tersebut. Arca-arca demikian dinamakan dengan arca-potret atau arca perwujudan.

Sebagai contoh adalah Raja Anusapati (1227 – 1248) M dari Singhasari yang diwujudkan dalam bentuk arca potret Siwa Mahadewa dan disimpan di bilik Candi Kidal, arca Krtarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) (1923 – 1309 M) sebagai Hari-hara (setengah Siwa dan Wisnu) didapatkan di Candi Sumber Jati, dan arca Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani (Ibunda Hayam Wuruk) (1328 – 1351 M) sebagai Dewi Parwati di Candi Ngrimbi, Jombang.

Arca-arca tersebut digarap dengan kecermatan yang luar biasa, para silpin sepertinya berupaya untuk menggambarkan wajah tokoh yang diarcakannya sesuai dengan keadaan sebenarnya, kemudian baru dibalut dengan busana kebasaran seorang dewa. Tradisi pembuatan arca potret tersebut tidak pernah ada di Tanah India. Jadi arca-arca tersebut adalah asli hasil kreativitas pemikiran keagamaan dan penuangan ekspresi seni nenek moyang bangsa Indonesia sendiri.

Arca-arca perwujudan (arca potret) semakin marak dibuat oleh masyarakat Majapahit menjelang keruntuhannya. Sepanjang abad ke-15, banyak dijumpai arca potret yang tokoh atau karakter yang digambarkannya tidak dikenal. Sepertinya pada masa itu setiap orang yang mampu dan memerlukan dapat memesan silpin untuk membuatkan arca potretnya masing-masing. Arca-arca potret tersebut mempunyai ciri sebagai berikut:

  1. digambarkan statis-kaku dengan badan tegak dan kedua tangan terjulur di samping tubuh atau bermeditasi di dadanya.
  2. Mata digambarkan terpejam atau setengah terpejam
  3. Digarap secara simetris pada tataran kanan-kiri arca
  4. Apabila digambarkan adanya hewan, maka hewan tersebut juga dalam sikap statis.

Arca-arca perwujudan tersebut bukan semata-mata diabadikan untuk keperluan keagamaan, akan tetapi juga merupakan ekspresi seni dari para silpin pembuatnya. Maka pada masa Majapahit sudah pasti terdapat silpin-silpin maestro dan juga silpin pemula. Dapat ditafsirkan bahwa arca-arca yang berpenampilan luar biasa indah seperti yang berasal dari Candi Sumber Jati dan Ngrimbi pastinya dibuat oleh para silpin istana yang sudah tinggi ilmunya dibandingkan dengan silpin-silpin pedesaan yang belum mampu membuat arca yang indah dan berkharisma.

Para pelukis potret di Indonesia, sebenarnya dapat mencari dan mengeksplorasi akar kreativitas sejak zaman kuno pada masa kerajaan-kerajaan Klasik masih berkembang. Hal yang digambarkan tidak ada bedanya, yaitu potret orang dengan berbagai variasinya, potret suasana, juga adegan masyarakat dalam lingkungannya. Perbedaannya hanyalah terdapat pada media tempat dituangkannya kreativitas seni tersebut. Pada masa silam seniman menggunakan media batu yang dijadikan bentuk relief dan arca, sedangkan para pelukis zaman sekarang menggunakan kanvas, cat, konte, dan lainnya lagi.

Depok, 18 Oktober 2010

  • Tulisan ini semula adalah makalah dalam diskusi mengenai seni potret di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta 2010
  • Agus Aris Munandar adalah pengamat seni dan pengajar di FIB –UI.