Sang istri memutuskan menunda upacara Rambu Solo (Pemakaman) mendiang suaminya. Ada hal yang menurutnya belum selesai, khususnya masalah anak. Disini dia juga menghadapi benturan antara tradisi dan modernisasi.
Itulah garis besar cerita dalam naskah film berjudul “Gadis Tanah Toraja” karya Roy Lolang. Melalui sosok seorang “ibu” Ia mencoba mengangkat budaya lokal Toraja melalui perspektif baru.
“Acara Rambu Solo itu sebenarnya sudah banyak difilmkan, tapi kebanyakan masih dalam bentuk dokumenter, sudah banyak sekali,“ Ujar Sinematografer yang sudah meraih banyak penghargaan tersebut.
“Mungkin sudah seluruh dunia, tapi kita mencoba dari perspektif berbeda,” katanya.
Untuk mematangkan naskahnya tersebut, dia dibantu oleh praktisi dari Universitas South California, Profesor Donn Francis Bohlinger. Menurutnya masukan dari ahli lain dapat membantu mengembangkan struktur dan plot agar lebih menarik.
Gadis Tanah Toraja merupakan salah satu naskah yang didiskusikan dalam kegiatan Kelas Pengembangan Skenario (10/2 – 13/2). Kegiatan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal kebudayaan ini memfasilitasi para filmmaker untuk mendiskusikan naskah mereka dengan praktisi film internasional. Sebelumnya naskah-naskah film tersebut juga telah mendapat dukungan dan rekomendasi dari 20 pemerintah daerah.
Kehadiran pemerintah (pusat maupun daerah) dalam industri perfilman ini diapresiasi oleh Roy Lolang. “Ini satu langkah yang bagus, saya optimis kalau pemerintah benar-benar hadir, sepuluh tahun kedepan kita sudah mengacak acak holywood,” ujarnya.
Saat ini pemerintah memang berupaya menciptakan ekosistem film yang kuat. Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dalam sebuah kesempatan mengatakan akan mempertemukan para stakeholder seperti filmmaker, pemerintah daerah dan sponsor.
“Sekarang nyatanya sudah banyak kepala daerah yang melihat potensi film,” tambahnya.