Jakarta — Indonesia sebagai pihak yang telah meratifikasi Konvensi 2003 UNESCO tentang Pelindungan Warisan Budaya Takbenda, tahun 2017 ini mengajukan “Pantun, Tradisi Lisan Melayu” sebagai pengusulan bersama Indonesia dengan Malaysia. Pengusulan bersama ini sesuai dengan visi dan misi UNESCO untuk mendorong dialog antarbudaya, sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai antarmasyarakat di dunia yang akan mendorong pada perdamaian.
Pengajuan ini merupakan inisiatif komunitas Pantun di Propinsi Riau dan Kepulauan Riau melalui Lembaga Adat Melayu bersama Asosiasi Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, serta difasilitasi dan didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga Pemerintah Provinsi Riau, dan Kepulauan Riau.
Mengapa Pantun? Alasan pengusulan pantun ini adalah untuk mengembalikan lagi roh kesantunan dan kebaikan budi secara diplomatis, egaliter, tidak mengenal hirarki. Berbalas pantun mengajarkan akan persamaan kedudukan. Pantun juga mengajarkan untuk menggunakan bahasa secara halus. Dari segi diplomasi, Pantun juga mengajarkan untuk tidak menyakiti secara fisik atau menimbulkan konflik. Dalam pantun diajarkan untuk “merendah diri” bukan rendah diri atau tidak percaya diri, tetapi mengajarkan untuk tidak sombong, demikian disampaikan oleh Pudentia MPSS, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan.
“Pantun merupakan bagian penting kekayaan tradisi lisan di Nusantara. Kami berharap masuknya pantun dalam pengusulan bersama ini dapat menumbuhkan inter-cultural dialogue dan saling menghormati di antara masyarakat dunia,” jelas Hilmar Farid dalam pengantar kelengkapan naskah nominasi.
Dalam kesempatan penandatangan bersama naskah “Pantun, Tradisi Lisan Melayu” antara Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid dan Pesuruhjaya Warisan/Ketua Pengarah Jabatan Warisan Negara Malaysia, Zainah Ibrahim, di kantor Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis (30/3). Hilmar Farid juga mengatakan, Pantun bisa menjadi awal dari kerjasama bilateral Indonesia – Malaysia yang memiliki kesamaan/kemiripan budaya.
Kegiatan seperti ini juga membantu diplomasi budaya “ada kebudayaan serumpun yang menjadi pengikat”. Bentuk kegiatan Pantun yang bisa dilaksanakan baik di Indonesia maupun Malaysia yang juga dapat melibatkan pelajar dan mahasiswa. Dalam kesempatan tersebut, Hilmar menyatakan keseriusannya untuk membina hubungan bilateral ini di kemudian hari dengan akan mengajukan lagi beberapa kebudayaan yang memiliki kesamaan dengan Malaysia, “karena bagaimanapun kita hidup dalam wilayah budaya yang sama,” katanya.
Zainah Ibrahim juga menyampaikan rasa terimakasih pemerintah dan masyarakat Malaysia atas inisiatif Indonesia mengajak Malaysia dalam pengusulan bersama nominasi Pantun, sebagai tradisi lisan masyarakat Melayu. Berbeda dengan Indonesia yang telah meratifikasi konvensi 2003 tentang Pelindungan Warisan Budaya Takbenda ini sejak tahun 2007, Malaysia baru meratifikasi pada tahun 2013. Istilah Warisan Budaya Takbenda disebut dengan istilah “Warisan Tak Ketara”.
Malaysia sangat menyambut baik undangan Pemerintah Indonesia ini dan berusaha untuk memenuhi kelengkapan naskah pengajuan Pantun dari sisi Malaysia, untuk selanjutnya dijadikan satu dengan naskah yang sudah disusun oleh pemerintah Indonesia.
Pantun dalam masyarakat Malaysia memiliki nilai penting dalam masyarakat. Pantun mengandung pengetahuan dan filosofi yang tinggi. Dalam berpantun kita juga belajar untuk mengatur bahasa dan memilah kata yang sangat indah untuk diungkapkan.
Sejalan dengan Pemerintah Indonesia, Pemerintah Malaysia juga mendorong komunitas untuk bergerak dalam pelestarian budaya, karena tugas pemerintah adalah sebagai fasilitator dari masyarakat. Zainah Ibrahim juga menyatakan bahwa ke depan pertemuan ini perlu ditindaklanjuti dengan pembicaraan di antara negara-negara lain yang serumpun, untuk bersama-sama mengajukan warisan budaya lainnya.