Pria kelahiran Magelang 7 Juli 1958 ini lebih dikenal publik sebagai pakar manusia purba Indonesia. Selepas menyelesaikan studi di jurusan arkeologi Universitas Gajah Mada, beliau banyak berkecimpung di dunia prasejarah Indonesia, hingga menenggelamkan diri dalam bidang penelitian sejak ahun 1986. Saat ini, Harry Widianto telah mencapai jenjang peneliti puncak, yaitu sebagai Peneliti Utama Golongan IV-e.
Salah satu bidang prasejarah yang diminati secara intens adalah paleoantroplogi, yaitu ilmu tentang manusia purba. Minat kuat tersebut akhirnya menjadi kenyataan, ketika dia mendapat beasiswa dari Pemerintah Perancis untuk menempuh program paleoantropologi di Institut de Paleontologie Humaine, Museum National d’Histoire Naturelle, Paris, pada tahun 1989. Program Master (DEA, Diplôme d’Etudes Approfondies) diselesaikan pada bulan Oktober 1990, sedangkan tingkat Doktor diselesaikan pada bulan Oktober 1993.
Kecintaannya yang begitu besar terhadap dunia manusia purba Indonesia ditunjukkan melalui kontribusinya yang intensif dalam kajian-kajian di situs-situs manusia purba di Indonesia, hingga kemudian diberikan amanah untuk menjabat sebagai Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Dengan demikian, tanggung jawabnya tidak hanya terbatas sebagai peneliti saja, tetapi juga harus merumuskan strategi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan dunia situs manusia purba Sangiran.
Doktor yang suka mengenakan produk Levi’s sebagai setelan favoritnya ini menikahi Ganung Anggraini dan dikaruniai dua orang putri bernama Padma Indranila dan Miranda Titania. Keluarga ini tinggal di wilayah yang terbilang asri di Perumahan Jatimulyo Baru A-10, Yogyakarta.
Sebagai pakarnya manusia purba, siapa yang menyangka bahwa pria humoris ini juga merupakan salah satu penyelam yang dimiliki oleh dunia arkeologi bawah air Indonesia (Indonesian Underwater Archaeology)? Ya, pria yang dikenal dengan panggilan akrab Harry ini termasuk salah satu generasi awal yang dikirim untuk mengikuti Training Course in Underwater Archaeology di Thailand (1984) dan Advanced in Underwater Archaeology (1986) bersama salah satu rekannya Santoso Pribadi. Beliau banyak melakukan kegiatan survei arkeologi bawah air di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain perairan utara Tuban (1987), perairan utara Jepara dan Rembang (1987) dan di Gua Cosquer Marseille, Perancis (1989).
Sebagai seorang Peneliti Utama, beliau banyak menghasilkan banyak karya tulisan ilmiah yang menunjukkan keseriusannya dalam studi paleoantropologi. Karya-karya Dr. Harry juga digunakan sebagai kajian di kancah penelitian arkeologi tingkat internasional, salah satunya adalah buku bertajuk Trilogi Sangiran yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerjasama dengan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Buku ini terdiri dari tiga jilid berjudul “Nafas Sangiran : Nafas Situs-Situs Hominid”, ”Sangiran Menjawab Dunia”, dan “Jejak Langkah Setelah Sangiran”. Salah satu pencapaian yang membanggakan adalah keberhasilannya dalam merekonstruksi tulang manusia purba menjadi sosok yang utuh. “Saya hanya berpikir : Kalau fosil itu hanya berupa tulang tentu tak menarik. Harus ada bentuknya yang utuh seperti apa rekaannya. Tapi, ilmiah”, demikian kata Dr. Harry. Fosil yang berhasil direkonstruksi dengan bantuan para ahli Paleoantropologi dan seorang pematung Perancis bernama Elizabeth Daynes tersebut antara lain Homo floresiensis dari situs Liang Bua Flores yang populer dengan sebutan “Manusia Hobbit” karena memiliki volume otak kecil dan ukurannya hanya sepinggang manusia dewasa saat ini. Fosil hasil rekonstruksi yang lain adalah Sangiran 17 yang termasuk dalam klasifikasi Homo erectus.
Karier Dr. Harry Widianto tidak hanya berhenti sampai pada situs Sangiran saja. Pada bulan Juni 2013 beliau dilantik menjadi Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, menggantikan Drs. Surya Helmi yang telah memasuki masa pensiun. Dengan demikian, lingkup tanggung jawab beliau semakin luas karena tidak hanya terbatas pada situs manusia purba saja, akan tetapi meliputi amanah pelindungan, pelestarian, serta pengembangan semua cagar budaya di seluruh wilayah Indonesia.
Di balik sosoknya yang terlihat tegas dan serius ini, orang-orang dekat mengenalnya sebagai sosok yang hangat dan humoris. Pria yang hobi memasak ini tidak jarang melontarkan “joke” segar di sela perbincangan. Salah satu cerita menarik adalah kesan ketika pertama kali bertugas sebagai direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. “Saya kagok, nih.. Biasanya jam setengah tujuh saya masih sempat jalan kaki lewat pematang sawah Sangiran sekarang harus terbiasa dengan kemacetan Jakarta di pagi hari”, selorohnya kepada semua pegawainya di sebuah rapat sambil terbahak.
Sesuai dengan bidang tugasnya, Dr. Harry Widianto mengharapkan adanya kemajuan yang signifikan bagi pelestarian cagar budaya dan permuseuman di Indonesia. Aset cagar budaya di Indonesia dapat dilestarikan dan dikembangkan secara maksimal dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, sementara tampilan museum-museum di Indonesia semakin ditingkatkan melalui program revitalisasi. Tujuan program ini adalah untuk menghasilkan museum dengan tata pamer modern dan nyaman dinikmati, sumber pengetahuan, mendidik, dan juga menghibur masyarakat luas.