GUMANSALANGI (Cerita Rakyat Sangihe)

0
4594

Menurut cerita para orang tua Sangihe, pada tahun yang belum pasti sekitar 1300 Masehi di utara kepulauan Satal pada suatu tempat bernama Kotabato di pulau Mindanao terdapat seorang putra raja yang bertabiat buruk. Namanya Pangeran Gumansalangi. Karena kejahatannya, raja mengasingkannya kedalam hutan. Di sana ia menyesali perbuatannya dan meraung-raung memohon pengampunan entah kepada siapa karena tak satupun manusia yang mendengarkannya. Raungan tangis Pangeran Gumansalangi terdengar oleh Raja Khayangan dan mendorongnya turun ke bumi melihat langsung keberadaan Pangeran Gumansalangi di tengah hutan belantara menangisi dosa seorang diri.

Raja Khayangan kemudian kembali ke negerinya dan menanyakan kesediaan putri-putrinya untuk pergi ke bumi menemui Pangeran Gumansalangi dan segenap pergumulannya. Putri bungsu menerima tawaran raja khayangan sedangkan kakak-kakaknya menolak. Berangkatlah si bungsu ke bumi dengan menyamar sebagai perempuan berpenyakit framboesia akut. Bau penyakit yang sangat busuk itu membuat penasaran Pangeran Gumansalangi sehingga dicarinya asal bau itu. Ditemukan di suatu tempat seorang perempuan yang sekarat. Pangeran Gumansalangi mendekati perempuan itu dan tidak sedikitpun merasa jijik. Lantas diajaknya perempuan itu untuk menginap di gubuknya.

Setelah tinggal beberapa hari lamanya, perempuan itu menghilang. Ternyata ia kembali ke khayangan menemui ayahnya dan menyampaikan laporan perubahan sifat Pangeran Gumansalangi selama dalam masa penghukuman itu. Si putri bungsu itupun dipanggil ayahnya dan diberikan tugas untuk menjadi isteri Pangeran Gumansalangi selama hidupnya di bumi. Putri itu diberikan nama Putri Konda.

Turunlah kemudian si Putri Konda ke bumi dengan paras yang amat cantik dan bau harum semerbak untuk menunaikan tugasnya menjadi isteri Pangeran Gumansalangi. Di sekitar sebuah danau Putri Konda sedang mandi membersihkan dirinya. Mencium bau harum yang semerbak itu, Pangeran Gumansalangi menelusuri asal muasalnya. Ketika dilihatnya Putri Konda sedang mandi, maka Pangeran Gumansalangi tidak sadarkan diri. Sang pangeran Kotabatu terjatuh pingsan menyaksikan keelokan Putri Konda.

Kemudian Putri Konda memetik kembang melati yang bertumbuh di belukar sebanyak tiga kuntum, lalu direndam kedalam air yang ada di telapak tangannya dan dipercikannya ke wajah Pangeran Gumansalangi. Seketika pangeran siuman. Lalu pangeran yang berubah sifat itu memohon maaf kepada Putri Konda yang telah merepotkan diri untuk membangunkan dia dari pingsannya. Putri Konda membalas dengan senyuman manis dan berkata sudah kewajibannya menolong pangeran Gumansalangi dan ditugaskan untuk menjadi isteri pangeran Gumansalangi. Berkatalah Putri Konda: “aku dikirim oleh raja Khayangan untuk membebaskan engkau, karena engkau telah berubah sifat dan menjadi orang yang baik. Kita tidak boleh tinggal di sini, melainkan harus mencari tempat lain yang nanti akan ditunjuk berdasarkan beberapa tanda. Hujan akan turun dengan amat deras, dibarengi kilat dan gemuruh petir dan kita akan tinggal di sana. Abangku, Pangeran Bawangung Lare akan menjelma menjadi naga yang akan terbang menelusuri setiap tempat yang hendak kita kunjungi”.

Mendengarkan hal itu, sang pangeran langsung bersujud di bawah kaki Putri Konda dan berkata: “tak selayaknyalah hamba menjadi suami Putri Khayangan yang sangat elok parasnya, karena hamba hanyalah seorang pria bertabiat buruk”. Putri Konda menjawab: “Raja Khayangan sudah menentukan saya untuk menjadi isterimu seumur hidup”. Maka sejak saat itu merekapun resmi menjadi suami isteri.

Setelah itu terjadilah apa yang dikatakan oleh Putri Konda sewaktu pertemuan mereka di danau itu. Sebelum mereka berangkat, pertama-tama naga (Pangeran Banwangun Lare) dan kedua pasang suami isteri itu terbang mengelilingi langit Kotabato pada malam hari. Penduduk Kotabatu menjadi ribut dan gelisah karena mereka menyaksikan ada yang mengkilat di langit. Tua-tua di Kotabato menenangkan warga dan mengatakan bahwa yang mengkilat yang mereka lihat itu adalah seekor naga sakti yaitu kendaraan yang dipakai oleh raja-raja. Perkataan ini membuat penduduk tenang.

Kemudian ketiganya berangkat ke arah timur dan sampailah di sebuah pulau bernama Balut atau Marulung. Di tempat ini mereka tidak memperoleh tanda-tanda. Mereka meneruskan perjalanan dan tiba di Tagulandang dan tinggal untuk sementara disana. Kemudian mereka berjalan ke gunung Ruang, namun ketika mereka sampai di puncak Gunung Ruang mereka juga tidak menemukan tanda-tanda. Maka turunlah mereka ke Siau dan pergi ke gunung Tamata. Mereka tinggal di situ beberapa malam. Di sana juga mereka tidak mendapatkan tanda-tanda seperti yang dipesan oleh Raja Khayangan.

Lalu mereka pergi ke sebuah pulau yang lebih besar yang disebut Tampungang Lawo. Di sana mereka pergi ke gunung Sahendarumang. Sesampainya di puncak Sahendarumang mereka diliputi awan dan kabut yang kemudian berubah menjadi hujan deras. Kemudian kilat dan guntur menggeleggar memekakan telinga selama tiga malam lamanya. Dan satu-satunya yang dapat dilihat dari bawah adalah kilat. Bunyi guruh selalu kedengaran dari bawah. Setelah tiga hari mereka berkesimpulan bahwa disitulah tempat tinggal baru bagi mereka.

Kemudian mereka turun dan pergi ke arah timur Tampungang Lawo mengikuti aliran sungai Balau. Di sana mereka dielu-elukan oleh penduduk. Pangeran Gumansalangi dan Puteri Konda dimintakan duduk di lengan orang-orang lalu diusung dan diagungkan. Tempat itu diberi nama “Salurang” artinya “pengagungan”. Oleh penduduk setempat, nama Pangeran Gumansalangi digantikan menjadi “Medelu” yang artinya “bagaikan guntur” dan Putri Konda dinamakan “Mekila” yang berarti “bagaikan kilat”. Akhirnya mereka berdua diangkat menjadi raja di Kerajaan Tampungang Lawo (Sanger Besar) sebagai raja pertama Tabukan.

Pada masa tuanya Pangeran Gumansalangi kembali ke Kotabato dan mangkat disana. Sedangkan tampuk kekuasaan kerajaannya diserahkan kepada anaknya yang bernama Melintang Nusa. Melintang Nusa menikah dengan Putri Mindanao yang bernama Putri Hiabe anak perempuan dari Raja Tugise. Sedangkan adiknya bernama Meliku Nusa pergi ke selatan dan menetap di Bolaang Mongondow dan menikah dengan Putri Mongondow yang bernama Menong Sangiang. Dengan demikian Melintang Nusa menjadi raja Tabukan yang kedua setelah Gumansalangi (Medelu).

Pada masa tuanya Melintang Nusa kembali ke Mindanao dan menghembuskan nafas terakhir di sana. Ia digantikan oleh putranya Bulegalangi. Anak-anak Melintang Nusa yang lain tersebar ke seluruh Sangir. Anak perempuannya bernama Siti Bai menjadi isteri Balang Naung, Aholiba menikah dengan Mengkang Nusa dan hidup di Tariang Lama. Putranya Pahawongseke tinggal di Sahabe yang sekarang ini menjadi Soa Tebe. Di sana ia membangun pemerintahan sendiri dibantu anaknya Makalupa, Ansiga dan Tangkuliwutang. Mereka semuanya menjadi pendekar Salurang yang gagah berani. Ia juga mempunyai putri bernama Tolongkati yang sangat berani sehingga dijuluki “Bawu Mahaeng” atau perempuan ringan. Putra dari Tangkuliwutang bernama Makaampo yang kemudian menjadi pejuang Sangir yang gagah berani yang berhasil mempersatukan Sahabe dan Salurang.

Sedangkan Pangeran Bawangun Lare (menjelma Naga) dikisahkan melanjutkan perjalanannya ke timur hingga ke Talaud dan membangun rumahnya di Porodisa di pulau Kabaruan dan naik ke puncak gunung Taiang. Di sini Pangeran Bawangun Lare menikah dengan Bokimawira, sehingga tidak heran di suatu tempat di pulau ini mereka menamakan Pangerang karena disini masih terdapat bekas ular naga yang menjalar yaitu tempat dimana Pangeran Bawangun Lare menjelmakan dirinya.