E.F.E Douwes Deker

0
4546

Di dalam tubuhnya mengalir darah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa, tapi ia seorang penggerak revolusi Indonesia yang melampaui zamannya. Namanya Ernest Prancois Eugene Douwes Dekker. Di tengah kekecewaan sebagian kalangan terhadap sikap elitis Boedi Oetomo.  Douwes Dekker hadir menyodorkan gagasan segar. Ia mendirikan partai politik pertama di Indonesia, yang bercita-cita memperjuangkan kesetaraan hak bagi semua ras yang ada di Hindia .

Kehadiran Indische Partij meniupkan roh di awal pergerakan. Kemunculannya di sambut gegap-gempita. Tour propaganda yang digerakkan Douwes Dekker merupakan rapat akbar politik pertama di Hindia. Inilah tonggak pergerakan dengan strategi pengerahan massa dalam jumlah besar – strategi yang kemudian diterapkan Tjokroaminoto untuk mengorganisir massa Sarekat Islam.

Tak bisa dipungkiri, Indische Partij meletakkan fondasi penting bagi nasionalisme Hindia. Organisasi politik ini jauh lebih radikal daripada Boedi Oetomo. Tak cuma menyeruhkan perombakan di bidang pelayanan administrasi, Douwes Dekker mengusung reformasi politik pertanian dan perpajakan sebagai salah satu program partai. Tindak-tanduk Douwes Dekker diawasi karena menolak diskriminasi. Ia dicap sebagai agitator  berbahaya. Douwes Dekker menjadi figur menggetarkan bagi pemerintah Hindia Belanda.

Di usianya yang singkat karena dipaksa bubar oleh Belanda, Indische Partij berhasil menyuburkan semangat juga harapan. Organisasi politik ini meniupkan napas panjang bagi aksi pergerakan setelah itu.

Nasionalisme Indonesia pada hakekatnya ialah suatu gejala baru yang harus dibedakan dari gerakan-gerakan perlawanan sebelumnya terhadap kekuasaan Belanda. Perang Jawa  1825 – 1930 misalnya, pada waktu Pangeran Diponogoro melawan kekuasaan Belanda di Jawa Tengah  selama lima tahun, merupakan suatu gerakan setempat yang mencerminkan ketidakpuasan lokal dan sangat berbeda sifatnya dari arus perlawanan baru  yang muncul abad ke-20. Nasionalisme baru itu adalah hasil imperialisme baru. Ia harus dipandang sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar  yang melibatkan banyak bagian tanah jajahan baru yang diciptakan Eropa di Asia dan Afrika pada penghujung abad ke-19.

Rasa kebangssann ditempa dalam pengalaman bersama melawan penindasan kolonial, namun gagasan-gagasan tentang kebangsaan dan kemudian penciptaan suatu tatanan politik baru – suatu negara modern –  yang dapat digunakan untuk mengungkapkan gagasan itu, pada dasarnya merupakan konsep baru, yang melampui aspek-aspek negatif  dari perjuangan kemerdekaan. Dan ini pun menyangkut penyusunan saluran-saluran baru bagi kekuasaan dalam masyarakat-masyarakat tradisional serta  perumusan harapan-harapam baru. Semua ini mempunyai kesamaan-kesamaannya di mana pun di India, di bagian-bagian lain Asia Tenggara dan di Afrika – dan ini sangat berbeda dari gerakan perlawanan araris “ pra-nasiolis “ yang umum terdapat dalam masyarakat Indonesia, atau dari pemberontakan di bawah pemimpin tradisional yang berdasarkan keluhan-keluhan tertentu.

Sebab-sebab nasionalisme abad ke-20 harus dicari pada terganggunya keseimbangan masyarakat-masyarakat tradisional sebagai akibat dari dampak penuh industri modern Eropa. Dengan munculnya kaum cendikiawan baru, rasa tidak puas massa dapat disalurkan dan diorganisasikan ke dalam gerakan-gerakan kekuatan politik yang menentang rezim kolonial, memandang ke depan secara positif untuk membangun suatu negara merdeka yang didasarkan pada nilai-nilai pola-pola tatanan lama  tradisional

Ernest Renan mengatakan bahwa etnisitas tidak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Jadi nasionalisme bisa terjadi  dalam komunitas multietnis. Persatuan agama juga tidak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Dalam hal nasionalisme, syarat mutlak dan utama adalah adanya kemauan dan tekad bersama. Kedouri mengaksenkan masalah self-determinitaion (penentuan nasib sendiri) sebagai salah satu tujuan dari nasionalisme. Plamenatz menfokuskan diri pada self-determination ( pemerintahan sendiri sebagai unsur sentral dalam pembahasannya mengenai nasionalisme  dan kolonialisasi. Salah satu fokus Gellner adalah persatuan budaya sebagai hubungan antarorang yang merupakan landasan nasionalisme, terlebih lagi Guibermau yang lebih mengunggulkan budaya sebagai kekuatan pemersatu.

Nasionalisme adalah paham dan proses di dalam sejarah saat sekelompok orang merasa menjadi anggota dari suatu nasion (bangsa) dan mereka ingin mendirikan satu state (negara) yang mencakup semua anggota dari kelompok itu. Teori nasionalisme  tentu saja lebih luas lagi, akan tetapi tidak di bahas di sini karena tulisan ini tidak bertujuan menulis suatu karya teoritis mengenai nasionalisme pada umumnya.

Akan tetapi selain dari faktor-faktor itu juga ada beberapa faktor kontekstual yang perlu diperhatikan. Nasionalisme hanya dapat berkembang jika beberapa faktor-faktor pendorong itu ada. Smith membahas teori Gellner yang mengatakan bahwa modernisasi dan industrialisasi adalah faktor-faktor yang menyebabkan munculnya nasionalisme. Smith dalam interprestasinya terhadap teori Gellner menyatakan bahwa peran kaum elit dan krisis yang terjadi di kalangan mereka akibar modernisasi dan industrialisasi dianggap sebagai faktor sentral dalam kebangkitan nasionalisme. Industrialisasi mengakibatkan posisi elit tidak bisa ditempati oleh sembarangan bangsawan. Hanya mereka atau orang biasa yang berbakat saja akan berhasil mendapatkan posisi elit  itu dalam apparatus pemerintahan . Hal ini mengakibatkan suatu krisis pada diri kaum elit lama yang kemudian merasa terancam.

Masalah nasionalisme Hindia jelas tidak dapat dilepaskan dari Sang Inspirator Revolusi. Ia adalah Ernest Francois Douwes Dekker yang dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 8 Oktober 1879 . Ia adalah anak kedua dari pasangan Auguste  Douwes Dekker dan Luoise Margaretha Neumann. Kakeknya dari pihak ayah, Jan Douwes Dekker adalah kakak dari penulis terkenal Eduard Douwes Dekker adalah kakak dari penulis terkenal Eduard Douwes Dekker atau Multatulli, sehingga Ernest adalah cucu-kemenakan Multatulli

Keluarga Douwes Dekker adalah kreol ( Eropa murni yang tinggal di Hindia Belanda). Sementara itu ibunya adalah keturunan campuran Jerman dan Jawa, dengan demikian termasuk dalam golongan Indo-Eropa . Pada masa remajanya, Douwes Dekker menempuh pendidikan HBS di Batavia di mana salah saru rekan seangkatannya adalah calon regent di Serang, Banten, Achmaf Djajadiningrat.

Ia memulai karirnya sebagai pegawai pada perkebunan kopi di Sumber Duren di kaki Gunung Semeru. Pengalamannya bekerja di perkebunan tersebut membuatnya untuk pertama kalinya menyaksikan realitas eksploitasi kolonial, Douwes Dekker muda yang mengindentifikasikan diri sebagai orang Jawa, merasa terusik dengan keadaan tersebut dan karenanya ia cenderung mengesampingkan status Eropanya dan lebih membela kelompok pekerja bumiputera. Oleh R Jesse, atasannya di perkebunan tersebut, ia dianggap tidak memperhatikan batas yang tepat dalam hubungannya dengan para pekerja. Hal ini sudah merupakan suatu alasan untuk memberhentikannya.

Demikian pula ketika Ernst menjadi pegawai laboratorium dan kemudian menjadi ahli kimia di pabrik gula Pajarakan, Probolinggo, ia tak dapat menahan diri ketika melihat adanya kecurangan pada pembagian air irigasi antara perkebunan tebu dengan sawah milik penduduk. Administratur pabrik gula tersebut kemudian memperingatkannya untuk tidak mencampuri hal-hal yang bukan urusannya. Seperti halnya Multatulli, ia memilih mundur demi mempertahankan prinsip dan harga dirinya.

Kehidupannya sebagai “ petualang “ dimulai pada usia puluh.. Dalam bulan Februari 1900, Ernest Douwes Dekker bertolak dari Batavia menuju Transvaal, Afrika Selatan. Pada saat itu di Afrika Selatan sedang terjadi perang antara kelompok penduduk keturunan Belanda yang menamakan dirinya Zuid Afrikaner atau orang-orang Broer dengan Inggris yang juga  ingin memperluas wilayah koloninya. Pada abab ke-18 golongan keturunan Belanda di Afrika itu membentuk Republik Transvaal di bawah Paul Kruger, tetapi keberadaan negara tersebut  terus terancam oleh ekspansi Inggris. Dalam perang Broer pertama (1877-1889), golongan Broer memperoleh kemenangan sehingga kekuasaan Republik Transvaal dipulihkan. Setelah adanya penemuan tambang emas di Transvaal, pihak Inggris kembali melanjutkan upaya-upaya aneksasi mereka terhadap wilayah Republik Transvaal, sehingga peperangan pecah kembali  pada akhir tahun 1899.

Kenyataan adanya suatu kelompok minoritas – yang notabene merupakan bangsa leluhurnya, Belanda – sedang terancam oleh kekuasaan kolonialis yang lebih kuat, membuat semangat nasionalis Douwes Dekker tergerak. Bersama beberapa rekannya dari Hindia Belanda seperti J.G Van Ham dan lain-lain, Douwes Dekker berangkat sebeagai sukarelawan ke Afrika Selatan membantu orang-orang  Broer melawan orang-orang Inggris

Tidak terlampau siginifikan untuk mendeskripsikan panjang lebar peperangan di Afrika Selatan tersebut. Akan tetapi, cukup jelas bahwa pengalaman perang tersebut sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran Douwes Dekker  sewlanjutnya sebagai tokoh pergerakan  Indis, dan memang terdapat kesejaharan antara bangsa Broer di Afrika Selatan  dengan orang-orang keturunan campuran di negerinya. Keduanya mewakili jenis nasionalisme kreol, atau golongan keturunan Eropah dan tersebar dan membentuk koloni-koloni di benua lain.  Hal yang ia sesalkan kemudian adalah bahwa peperangan tersebut tidak kurang dan tidak lebih merupakan perang perebutan koloni antar dua bangsa kulit putih yang berbeda, tetapi mereka sama-sama tidak menaryh perhatian atau cenderung terasing dari komunitas bumiputera yang lebih besar, yaitu penduduk asli Afrika Selatan.

Orang-orang Eropa di Afrika memberlakukan batasan rasial yang ketat dan tidak memungkinkan pembauran atau perkawinan hibrida. Ini membawanya pada suatu pemikiran mengenai arti pengenai keberadaan komunitas Indo di Hindia Belanda, potensinya sebagai faktor pemersatu dalam menciptakan identitas suatu bangsa mutli-etnik yang mengatasi perbedaan  dan pemisahan rasial dan etnik yang selama ini dipelihara oleh rezim kolonial.

Dengan kekalahan pihak Boer, Republik Transvaal jatuh kepada kekuasaan Inggris. Pada April 1902 Douwes Dekker dan kawan-kawannya ditahan oleh pemerontah Inggris di Pretoria dan kemudian dipindahkan ke Kolombo, Sri Langka. Tidak lama ia menjalani penahanan karena tahun yang sama  ia kembali ke Hindia Belanda dan memulai debutnya dalam dunia politik dan jurnalisme. Pada tahun 10-3, Douwes Dekker mulai bergabung dengan redaksi De Loomotif di bawah P Brooscholt yang berpusat di Semarang . Surat kabar ini merupakan salah satu pendukung gagasan Politik Etis, di samping Brooscholf sendiri adalah seorang pendukung aliran sosial-demokrat.  Kemudian ia bergabung dengan Soerabaiasch Handelsblad, sebelumnya akhirnya bergabung di Bataviaasch Nieuwsblad  tempat sebelumnya ia pernah menulis opini dan pengalamannya sehubungan dengan Perang Broer  di Afrika Selatan. Keterlibatan Douwes Dekker dalam redaksi surat kabar terakhir inilah yang terpenting dalam perjalanan karir intelektual dan politiknya.

Bergabungnya Douwes Dekker dalam surat kabar tersebut segerea memberi nuansa tersendiri dalam kancah pergerakan Indis. Secara umum idealisme dan gagasannya bersesuaian dengan Karel Zallbergh, pemimpin Bataviaasch Nieuwsblad yang menjadi kawan dekat dan mentornya. Akan tetapi, menurut pandangan mentornya ini, Douwes Dekker sedikit “ kurang matang dan cenderung lebih mengikuti perasaan daripada perhitungan yang rasional dan cermat.”

Kedua tokoh tersebut sama-sama terinspirasi oleh Ernst Haeckel, seorang ahli biologi asal Jerman penganut teori Darwin. Bagi Douwes Dekker, hal yang menarik dari pemikiran  Haeckel  adalah oposisinya terhadap wacana kekristenan yang telah berhasil menjadi salah satu kekuatan pendorong imperialisme Barat. Bagi Haeckel, Tuhan lebih identik dengan kekuatan alam dan pandangan ini menyerupai konsep spiritual orang Timur. Sebagaimana kita ketahui Douwes Dekker mengindentifikasikan orang Indo atau Indis sebagai bangsa Timur  dan ia cukup tertarik pada berbagai wacana  tandingan terhadap wacana kolonial yang Eurosentris. Sementara Zaalberg, di samping sudah lama tertarik pada evolusioner juga mengagumi Haeckel sebagai seorang penganjur kebebasan berfikir, anti dogmatisme, dan konservatisme Darwinisme atau Haeckelianisme merupakan titik temu pertma pemikiran Zaalberg dan Douwes Dekker.

Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa antara Douwes Dekker dan Zaalberg terjadi kerja sama erat dalam kampanye-kampanye melawan diskriminasi terhadap golongan Indo. Hanya saja Douwes Dekker lebih menekankan sifat antikolonial, sehingga hubungan itu harus diputuskan  Sikap anti-kolonial Douwes Dekker terlihat terutama melalu tulisannya. “ Hoe kan Holland he Spoedigst zijn Kolonial verliezen ? ( Bagaimana cara Belanda cepat-cepat melepaskan jajahannya ? ) yang dimuat dalam Niuewe Arahemsche Courant pada bulan Juli 1908.

Tulisannya tersebut mengingatkan orang pada tulisan tokoh recolusi Amerika Benyamin Franklin “ Seni untuk menghilangkan sebuah jajahan “. Inggris telah menerapkan hal itu, dan membuat koloni mereka di Amerika melepaskan diri. Ia mempersoalkan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tampaknya tidak belajar dari situasi tersebut, dan menyatakan bahwa Politik Etis atau modernisasi bukanlah cara tepat untuk memperkuat loyalitas koloni Hindia. Yang lebih tepat ialah membebaskannya, atau dengan menciptakan pemerintahan sendiri oleh rakyat Hindia.

Gagasan tersebut sangatlah radikal dalam konteks Hindia Belanda waktu itu. Akan tetapi, jika kita melihat perkembangan nasionalisme di negara-negara terjajah lainnya, hal demikian sama sekali tidak mengherankan. Douwes Dekker merupakan seseorang tokoh pertama yang sungguh sungguh tertarik pada fenomena nasionalisme Asia dan telah mengadakan studi mendalam mengenai itu. Ide nasionalisme Indis-nya dalam banyak hal sangat sangat dipengaruhi okeh gerakan kaum mestizo di Filipina. Pada tahun 1898, di bawah pimpinan Aguinaldo, para nasionalis Filipina yang sebagian besar adalah berasal ras campuran ini berhasil mengadakan revolusi dan mendirikan sebuah republik merdeka.

Dalam kunjungannya ke Eropa antara 1910 hingga pertengahan 1911, Douwes Dekker sempat menemui beberapa tokoh nasionalis dari India –Inggris (British-India), di antaranya ialah tokoh radikal Shyamaji Krishnawarma, pemimpin redaksi majalah The Indian Sociologist. Pertemuan ini cukup sifnifikan bagi perkembangan pemikiran Douwes Dekker, karena kemudian sangat jelas terlihat bagaimana pengaruh nasionalisme India ini bagi gerakan India yang dipimpinnya. Sepulangnya dari perjalanan itulah, Douwes Dekker baru mengemukakan ide untuk membentuk sebuah partai politik, di mana model dan sifat gerakannya banyak di dasarkan pada Kongres Nasional India (Indian National Congres ), organisasi nasionalis India yang telah berdiri sejak tahun 1895.

Perkembangan lainnya adalah diadakannya Kongres Ras Universal di London (1911) yang untuk pertama kalinya membicarakan ras campuran sebagai kategori etnisitas. Kongres ini merupakan senjata ampuh bagi pemikiran Douwes Dekker selanjutnya mengenai indentifikasi diri orang Indo. Hingga saat ini orang-irang Indo. Hingga saat itu orang-orang Indo secara hukum memang diklasifikasikan sebagai Eropa karena sebagai anak, mereka otomatis mewarisi nama keluarga Eropa dari garis ayah. Dengan demikian, jarang di antara mereka menyadari bahwa status Eropanya sebagai kontruksi kolonial yang membedakan mereka dari penduduk lainnya di Kepulauan Hindia.

Douwes Dekker sendiri telah sering memberi penekanan pada pembaca Indo-nya bahwa mereka akan “berkhianat“ pada ibu jawa mereka jika mengambil sikap superior tersebut. Oleh karenanya ia mendesak khalayak Indo untuk mengindentifikasikan diri mereka sebagai “ orang-orang Hindia “ (de Indiers), tempat mereka lahir dan dibesarkan. Sejauh itu, pengertian orang Hindia atau Indo hanya dipergunakan di kalangan Indo-Eropa, karena 0rang-orang Indonesia biasa menyebut diri mereka menurur identitas etnik dan regional (kedaerahan). Dalam sebuah tulisannya, ia menyatakan bahwa orang-orang Indo – berbeda dengan orang Jawa, Sunda, Batak, dan kelompok etnis lain- tidak memiliki indentitas regional sehingga mereka tidak akan merasa kehilangan identitas dengan mengadopsi konsep kebangsaan yang meliputi seluruh kepulauan Hindia.

Sebagai langkah berikutnya, ia mendefinisikan orang Indis tidak sebatas Indo melainkan segenap penduduk yang lahir dari bertempat tinggal di Hindia tanpa memandang ras dan etnisitas. Dalam idealiisme Douwes Dekker masyarakat Indis baru akan terbentuk melalui asosiasi golongan Indo-Eropa dengan orang Indonesia, bukan sebaliknya orang bumiputera diasimiliasi mengikuti Eropa seperti keinginan para pendukung Politik Etis.

Banyak orang Indo – Eropa yang memerlukan sebuah gerakan dengan lebih banyak karakter politik. Karena hal itu, kemudian didirikan Insulinde pada tahun 1907. Organisasi ini banyak mengupayakan perbaikan terhadap keadaan orang Eropa yang lahir di Hindia Belanda dengan menggunakan “ semua alat yang diperkenankan dan sah menurut hukum” Oleh sebab itu, Insulinde terbuka untuk semua orang Eropa berumur 18 atau lebih yang mengakui Hindia Belanda sebagai tanah airnya.

Elemen politik itu semakin menguat berkat usaha salah seorang elite Indo-Eropa yang paling penting. Ia adalah wartawan, penulis, dan aktivis politik bernama Ernst Douwes Dekker. Pada tahun 1912, ia mendirikan Indische Partij yang merupakan organisasi politik. Para indo-Eropa dalam organisasi ini memang menenuhi peran mereka sebagai pelopor tapi mereka juga memiliki visi tujuan kelompok yang lebih besar. Dengan semboyan Indie voor Indies (Hindia Belanda orang-orang Indies) partai ini juga terbuka untuk prang Indonesia dan orang Tionghoa. Mereka akan berjuang bersama-sama untuk kemerdekaan Hindia Belanda. Demikian usaha mereka pada waktu itu.

Namun kenyatannya tidak pernah sejauh yang mereka inginkan. Sebelum gagasan-gagasannya sempat diendapkan, Indische Partij dilarang oleh pemerintah kolonial pada 1913. Pengaruh partai yang tertinggal ini juga hanya sedikit. Indische Partij adalah partai bagi orang Indo-Eropa karena 70 % pengikutnya merupakan orang Indo-Eropa. Hal yang membuat perkembangan partai ini terlihat adalah sikap masyarakat Eropa di koloni yang menjadi radikal. Mereka mencari sarana pelampiasan politik atas ketidakpuasan mereka. Mereka berupaya agar pencapaian kesetaraan bagi sebagian orang Eropa dapat memberi tempat bagi keinginan mereka untuk merdeka, jika bahkan melalui kekerasaan.

Ernset Douwes Dekker merupakan seotrang penting bagi kelompok yang tidak banyak berpendapat ini. Pendapat-pendapat politik tertutama dituangkan lewat kedudukannya sebagai wartawan majalah Het Tijdschrift dan De Express  Dari artikel-artikelnya terungkap kenapa gubernur jenderal pada waktu itu, A.W.F Idenburg, memerintahkan untuk mengawasinya dengan seksama. Douwes Dekker adalah orang yang menciptakan propaganda, pemogokan, sabotase dan bahkan revolusi sebagai sarana mewujudkan harapan kemerdekaan. Ia pun menulis tentang tema-tema yang banyak dibicarakan seperti “ ras-ras campur “ dan : keunggulan ras.” Namun akhirnya ia memiliki kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Dari sudut pandangnya, para keturunan hubungan campur justru menyatakan karakter terbaik dari dua dunia di dalam diri mereka.  Oleh karena itu, orang Indo-Eropa sangat cocok berperan sebagai pemimpin dalam perjuangan kemerdekaan.

Namun gagasan-gagasan Douwes Dekker terlalu radikal bagi Indo-Eropa. Di samping itu, kebanyakan dari mereka membutuhkan pergerakan yang khusus mewakili kepentingan mereka, bukan kepentingan orang Indonesia dan Tionghoa. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh orang-orang Indonesia yang kemudian bernaung di bawah Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia.

Gagasan Douwes Dekker  tentang Indier sebagai konsep kewarganegaraaan dan kebangsaan multik-etnik yang menghapuskan masyarakat berdasarkan kualifikasi bertingkat menurut aras adalah sebuah serangan langsung terhadap hubungan kolonial. Walaupun gagasan-gagasannya berakar sepenuhnya pada kesadaran orang Indo atau Indis sebagai masyarakat pemukim majemuk, penekanan gerakan Indis Douwes Dekker sudah mengarah pada sesuatu yang lebih radikal yaitu kemerdekaan.

Namun, gagasan revolusioner Douwes Dekker tampil terlalu prematur dan tampaknya gagal ketika Indische Partij yang didirikannya bubar dan para pemimpinnya dibuang. IP dituduh sebagai organisasi revolusioner yang “ menyebarkan permusuhan dan tentangan di antara kelompok-kelompok penduduk. Benarkah demikian ? Jika dianalisis lebih lanjut gagasan yang ia munculkan memang sedikit banyak mengandung kelemahan baik dalam hubungannya dengan orang-orang Indo-Eropa maupun orang-orang Indonesia.

Nasionalisme Indie sebagai gerakan politik sebagaimana diusung oleh Indische Partij dan mengambil bentuk sebagai gerakan Indo-Eropa, khususnya para elitenya.  Mayoritas dari mereka seharusnya lebih diprioritaskan pada terjaminnya hak-hak seluruh warga Indo di Hindia. Secara umum, gerakan itu juga akan mendukung penciptaan masyarakat sipil Hindia Belanda yang menuju kemandirian politik secara evolusioner, tanpa merusak sendi-sendi masyarakat kolonial. Masyarakat elite Indo-Eropa pada dasarnya menganggap Hindia Belanda sebagai keluarga besar, maka harmoninya harus dijaga sepenuhnya dan jangan sampai menimbulkan pertentangan antara kelompok, apalagi di antara “kita“, sesama orang Indies. Pengertian Indis yang umum diterima adalah Indies sebagai masyarakat pemukim Eropa, keturunannya dan atau orang-orang yang memiliki hubungan secara kekeluargaan dengannya. Paling luas pengertian  Indis mencakup pula orang-orang Indonesia yang terbaratkan (meliputi  komunitas Kristen dan kaum Teosofis Jawa ).

Dengan demikian, Douwes Dekker bersama konsepsi Indernya melangkah terlalu jauh (dan terlalu awal) karena ia ingin merangkul  semua orang. Di samping itu ia dengan gerakan Indische Partij-nya dianggap menyebarkan kebencian orang Indo kecil terhadap orang-orang Eropa pendatang dan pemerintah kolonial, sehingga ia dianggap pula menyebarkan permusuhan di antara “ kita “. Sebagai reaksi terhadap aliran pemikiran ini kemudian  beberapa tokoh Indo-Eropa di bawah pengaruh Zaalberg mendirikan Indo Europeesch Verbond (IEV), yang menegaskan kembali konsep Indies sebagai Indische Nederlands atau orang Belanda berkarakter Hindia, orang Eropa tetap berbudaya “tropis’. Dalam anggaran dasarnya IEV secara tergas menyatakan bahwa definisi Indis adalah masyarakat keturunan Eropa yang lain, dan semua hubungan dengan kaum revolusioner ditolak.

Konsep nasionalisme menurut Douwes Dekker dengan gagasan tentang Indier multirasial dan multi-etnik itu juga mengandung beberapa kelemahan jika dihadapkan dalam konteks pergerakan Indonesia. Alur pemikiran maupun gerakan politik yang digagasnya cukup jelas mengimplikasikan adanya sentralitas kedudukan kaum Indo-Eropa dalam identitas kebangsaan yang ingin dibangun. Karena ide-ide yang dibawanya, konsep-konsepnya tentang bangsa, hak-hak kewarganegaraan, kesetaraan dan sebagainya berasal dari Barat, maka tentunya orang-orang Indo-Eropa sendirilah yang memegang peran, atau paling tidak orang orang-orang Indonesia yang berpendidikan dan berorientasi Barat.

Indische Partij didirikan pada tanggal 6 September 1912 di Bandung dan partai itu, berganti nama menjadi Nationale Indische Partij dan dibubarkan pada Mei 1923. Tahun 1913 asas dasar Indische Partij tidak diterima oleh Gubernur Jenderal Belanda di Hindia Belanda dan Indische Partij dilarang oleh pemerintahan kolonial Belanda. Para pengikut Indische Partij bergabung dalam Isulinde, yaitu suatu organisasi orang Indo yang didirikan pada tahun 1907. Pada tahun 1919, Nationale Indische Partij didirikan sebagai pengganti Isulinde. Ide mengenai kerja sama antar golongan masyarakat di Hindia Belanda berkembang pada awal ke-20, meskipun akhirnya tidak berhasil karena terjadi perpecahan antara kaum bumiputera dan kaum Eropa serta kaum Indo.

sumber : Peter Kasenda

Biodata

Peter Kasenda dilahirkan di Bandung. Ia belajar di Jurusan Perancis dan Sejarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.  Sekarang dosen Ilmu Politik di  Kampus  Merah  Putih  Universitas  17  Agustus  1945 Jakarta. Ia menjadi dosen terbang dan mengajar di sejumlah SMA (Malang, Kediri, Solo dan Purwokerto). Lima tahun terakhir, ia menulis buku, diantaranya,  Sukarno Muda Biografi Pemikiran 1926 – 1933 (Komunitas Bambu, 2010); Heldy Cinta Terakhir Bung Karno (Penerbit Buku Kompas, 2011); Zulkifli Lubis Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD (Penerbit Buku Kompas, 2012); Hari-Hari Terakhir Sukarno (Komunitas Bambu, 2012); Soeharto – Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun ? ( Penerbit Buku Kompas, 2013); Bung Karno Panglima Revolusi ( Galang Pustaka, 2014); Sukarno, Marx & Leninisme. Akar Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia (Komunitas Bambu, 2014); Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas, 2015); Hari-Hari Terakhir Orde Baru. Menelusuri Akar Kekerasaan Mei 1998 (Komunitas Bambu 2015) Soekarno Dibawah Bendera Jepang (Penerbit Buku Kompas dan segera terbit Manusia Dalam Sejarah Sejarah ( Beranda, 2016)