Wardi Suhadi Diman, Pendidik dan Pelestari Tari-tari Daerah

0
1677

Penerima Anugerah Kebudayaan  Kategori Pelestari 2016. Pagi di sebuah kelas di  Cempaka Putih, Jakarta, belasan anak menarikan tari kipas dengan gemulai, diiringi musik Melayu yang syahdu. Seorang remaja memperhatikan dan membetulkan setiap langkah dan gerak para penari. Sementara seorang ibu nampak mengamati dari sudut ruangan sambil duduk-duduk dengan para penari remaja yang bersiap tampil. Satu-satunya laki-laki di kelompok itu adalah  Wardi Suhadi Diman, pediri sekaligus pelatih Sanggar Tari Melati yang ia bentuk sejak tahun 1980-an.  Sementara salah satu ibu yang kini mulai mempersiapkan kelompok penari remaja adalah Mbak Imel, begitu ia dipanggil di sanggar tersebut, salah satu murid Pak Wardi. Ia  belajar menari kepada Pak Wardi sejak taman kanak-kanak. Saat remaja, Mbak  Imel sudah menari hingga ke manca negara. Kini ia menjadi penerus gurunya untuk melanjutkan melestarikan tari-tari dearah di Sanggar Melati. Menurut Pak Wardi, pengajaran tari daerah sebaiknya diberikan sejak  usia dini. Karena menari tari daerah bukan sekadar melatih gerak dan tari,  tetapi juga pembentukan karakter dan  generasi yang memahami dan mencintai jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.

Wardi Suhadi Diman memang seorang koreografer sekaligus pelestari tari-tari daerah.  Ia mendedikasikan hidupnya untuk memberikan pengajaran tari-tari daerah. Ia mendirikan sanggar  untuk memberikan pengajaran pada generasi penerus, dari usia dini hingga dewasa. Ia juga mempersiapkan anak-anak didiknya untuk menjadi guru bagi yang lebih muda dan melanjutkan mengelola sanggar yang didirikannya. Pengajaran menari daerah bagi generasi muda, menurutnya, sangat penting. Dengan menari, anak-anak tumbuh percaya diri dengan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.

new-picture-1Wardi Suhadi Diman lahir di Bagan Siapi Api, 29 Juli 1952. Pertama kali tertarik dengan tari daerah saat ia berjalan-jalan sore di kota kelahirannya. Saat itu ia mendengarkan musik Melayu yang begitu indah dari suatu sanggar, hingga ia tergerak untuk turut mempelajari tari-tari Melayu.  Setelah itu, Wardi merantau ke Jakarta. Masa itu Pemerintah Indonesia sedang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Wardi begitu terpukau dengan pidato-pidato Sukarno, terutama pidatonya yang menyampaikan bahwa bangsa yang besar bangsa yang memiliki jati dirinya.  Wardi memahami tari-tari daerah sebagai salah satu jati diri bangsa Indonesia. Kecintaannya pada menari lalu ia hayati juga sebagai kecintaan pada jati diri bangsa, juga kepuasan dan kebahagiaan batinnya.

Tahun 1960, Wardi bersama Dedy Jaya—seniman  Jakarta yang terkenal di masanya—mendirikan Sanggar Pemuda. Sanggar ini bertujuan,  antara lain,  untuk memberikan pengajaran tari-tari tradisi kepada remaja.  Tetapi peristiwa 30 September 1966 sempat membuat sanggar ini vakum. Masa vakum itu tidak berlangsung lama, menimbang semangat anak-anak didik mereka yang bersemangat untuk berlatih. Kemudian mereka menghidupkan lagi sanggar dengan nama Argahari. Nama itu diambil dari tempat mereka berkumpul di bekas kos Indonesia-Tionghoa di daerah Gunung Sahari, Jakarta.

new-picture-2Di era Presiden Sukarno, penghargaan pada seni daerah sangat tinggi, tidak hanya pada seni tari tapi seluruh bidang seni tradisi. “Masa itu Istana begitu megah dengan berbagai musik, nyanyian, dan tarian dari berbagai daerah. Bahkan “Tari Serampang 12” pernah menjadi tari nasional. Misi kesenian langsung dipimpin oleh setingkat menteri,” kenang Wardi.

Penghargaan pada seni  daerah masih terus berlangsung hingga era Presiden Soeharto. Misi kesenian di masa itu dipimpin oleh Mbak Tutut, putri Soeharto.  Saat itu Wardi sering menari tari dayak di Istana. Anak-anak didiknya pun mengikuti program Pelangi Nusantara dan  misi kesenian ke mancanegara yang diselenggarakan oleh pemerintah. Demikian juga di tingkat pemerintahan provinsi. Wardi sangat menghormati Gubernur Ali Sadikin yang menurutnya masih cinta budaya. Ia memajukan bale masyarakat di setiap kecamatan dan gelanggang remaja di setiap kota. Masa itu, pemerintah masih memantau langsung ke sanggar dan memberikan dukungan bila dibutuhkan.

Saat ini, tantangannya sebagai koreografer dan pelestari tari-tari daerah sungguh berat. Tidak saja karena sikap birokrat yang menurun minat dan pelestariannya pada bidang seni,  tapi juga  pengaruh global yang dihadapi  generasi sekarang. Industri televisi, menurutnya, juga kurang mendukung, baik TVRI maupun TV swasta. Dulu TVRI masih memberikan ruang khusus untuk menghidupkan tari-tari daerah melalui acara “Tari Nusantara” dan “Tari Remaja” yang  juga berisi tari-tarian daerah. Karena itu, tidak mengherankan bila generasi sekarang lebih dekat dengan K-POP atau seni pop Korea, karena lebih banyak media yang dapat diakses oleh anak muda untuk mempelajarinya.

Menghadapi  tantangan tersebut, untuk mengajak anak muda tertarik pada tari-tari daerah, kita harus pandai menemukan celah. Karena itu juga, Pak Wardi sangat senang bila ada  anak yang sejak usia taman kanak-kanak mau berlatih di sanggarnya. Menurutnya, usia strategis untuk memberikan  pengajaran tari justru pada usia taman kanak-kanak hingga SMP. Ketika sudah SMA, remaja, anak-anak sering labil dan sulit untuk diarahkan. Hal itu terbukti dengan Imel yang saat ini menjadi penerusnya, telah menjadi muridnya sejak TK. Demikian juga seorang mahasiswa yang sedang melatih anak-anak pada perbincangan pagi itu.

Di sanggarnya, anak-anak tidak hanya belajar tari Melayu. Mereka juga diajarkan tari Aceh, Dayak, Jawa, dan—tentu saja—tari Betawi, karena tempat mereka berada (Jakarta). Pengenalan tarian berbagai daerah ini penting. Selain untuk mengasah kecintaan pada Tanah Air, juga saat mereka diminta pentas biasanya akan mementaskan lebih dari satu tarian daerah.

Dalam memberikan pengajaran, Wardi tidak memberikan tariff harga yang harus dibayar oleh anak-anak. Baginya, ketika ada anak yang mau belajar tari daerah, itulah  kebahagiaannya. Yang penting mereka mau belajar bersungguh-sungguh. Hal itu juga yang sering ia tanyakan kepada calon muridnya di permulaan belajar. Sebab, bila anak-anak itu bersungguh-sungguh, terbangun  percaya dirinya, kemudian jati dirinya sebagai bangsa. Itulah kebahagiaan bagi Wardi. Demikian juga ketika anak-anak itu memberikan pertunjukan di dalam negeri dan mancanegara, itu pun menjadi kenikmatan batin yang tidak dapat dinilai dengan  materi. Ia sendiri memilih hidup bersahaja. “Rezeki itu ada yang mengatur. Saya tidak punya rumah. Pakaian hingga jam tangan saya dapat dari pemberian tanpa saya minta. Setiap ada perjalanan, anak-anak tanpa diminta membantu saya. Demikian  juga dalam penggalangan dana untuk pertunjukan,” tutur Wardi. Kebutuhan sanggar dari alat musik hingga kipas angin juga mereka beli sendiri secara  patungan dari hasil honor menari.

new-picture-3Adapun dalam mengkreasi tarian  daerah, Wardi meracik akar tari daerah dengan seni pantun, gurindam dan puisi. Juga dengan lagu-lagu yang memanggil kecintaan anak-anak pada bangsanya. Di sisi lain, pendekatan ini juga untuk menggali potensi anak agar menguasai seni lain,  di samping seni tari.  Dalam membina murid-muridnya, dari kanak bahkan sampai dewasa, Wardi sering menyemangatinya. “Dalam mendalami tari daerah, barangkali kita  akan menemukan titik bosan. Tapi setelah itu kita akan mencintainya,” tutur Wardi berseri-seri.

Menanggapi penghargaan kebudayaan untuk kategori pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang diterimanya, Wardi menanggapi: “Saya terharu, rupanya masih ada yang menghargai saya. Alhamdulillah,  saya tidak pernah meminta balasan. Saya  berbuat ikhlas.”

Wardi juga berharap agar pemerintah lebih memperhatikan pelestarian tari-tari daerah. Antara lain dengan memberikan pengajaran tari-tari daerah di tingkat sekolah dasar, dan merangsang pengembangan tari daerah melalui kompetisi yang menyertakan juri-juri yang mumpuni di bidangnya.

Biodata

Lahir: Bagan Siapi Api, 29 Juli 1952

Alamat: Jalan Pulo Asem Timur VI No. 12, Rt. 005 Rw. 002 Kelurahan Jati,   Kecamatan Pulogadung, Jakarta.

Pertunjukan

  • Pentas di Grand Indonesia, Jakarta (2015)
  • Pentas di Seoul, Korea Selatan (2010)
  • Pentas di Malaysia dan Singapura (2005)
  • Pentas di Pekanbaru, Palembang dan Tanjung Pinang (2000)
  • Mengisi acara di TVRI (1980-an)
  • Pentas di Istana Merdeka (masa  Presiden  Soeharto)

Penghargaan

Penghargaan Kebudayaan Kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2016)