Para pakar Pawukon menjelaskan bahwa Pawukon dikenal di Indonesia semenjak era kabuyutan atau sebelum pengaruh dari budaya dan agama yang datang dari luar. Data-data arkeologis menunjukkan bahwa pawukon telah dipergunakan oleh masyarakat Indonesia pada abad ke IX yang sebagaimana termuat dalam prasasti Lintakan.Selain data-data arkeologis, pawukon juga dijumpai pada sungging (seni lukis tradisional), seni pahat (arca dan ukiran), seni sastra, dan lain sebagainya.
Pustaka Raja Parwa dengan jelas memaparkan bahwa dasar penentuan Pawukon merujuk pada “Bintang Banyak Angrem” (Scorpio)yang disimbolkan Angsa, dan “Bintang Wedus Pedro” (Aries)yang disimbolkan Domba. Penenentuan dasarini dapat dibaca dari kiasan “Dewi Sinta” (simbol bumi) yang keluar dari tanah agar dapat bertemu dengan Begawan Wrahaspati (simbol Yupiter) dengan cara memasak mencampurkan (mengandung makna pertemuan) dagingWedus Pedro (Domba=Taurus) dan daging Banyak Angrem (Angsa=Aries).Pertemuan dua rasi bintang tersebut dapat terjadi setelah melalui tujuh rasi atau ruangan dimana setiap ruangan memiliki sudut 30 derajat dan setiap ruangan memiliki usia 2156 tahun. Oleh karena itu pertemuan tersebut hanya terjadi selama 2156 tahun x 7 ruangan yaitu: 15092 tahun sekali. Dalam peristiwa pertemuan dua rasi Bintang Banyak Angrem (Scorpio) dan Bintang Wedus Pedro (Aries) telah terjadi pada tahun 108 sebelum masehi.
Keberadaan penanggalan di Indonesiasudah sangat tua dan telah berkembang pada era Prasejarah dimana dapat dilihat dari berdirinya batu-batu menhir sebagai penentu arah angin dan penentuan musim.Data cukup jelas tentang keberadaan Pawukon telah berkembang dengan baik pada era Mataram Kuna. Prasasti Lintakan yang berangka tahun 841 Saka (919 Masehi) menerangkan pada waktu itu Pawukon sebagai penanggalan telah digunakan sebagai dasar perhitungan waktu penyelengaraan upacara ruwatan (upacara penolak bala) para raja (Bukhori, 1986). Pawukon juga dijumpai pada prasasti Wanua (abad ke-9); prasasti Watu Kura di Prambanan Jawa Tengah (abad ke-10); prasasti Sirah Keteng di Wengker Jawa Timur (abad ke-12).
Data arkeologis yang dengan jelas yang menunjukkan keberadaan pawukon digunakan sebagai dasar penanggalan untuk penentuan hari upacara kematian terdapat pada Prasasti yang ditemukan di situs percandi Singosari (abad ke-XIII) yang kini tersimpan di Museum Nasional dengan nomer registrasi D.111 yang berisi:
- Isaka 1213 diestamangsa irakata diwasane kamoktan Paduka Batara San Lumah Siwah Budha, Swasti Sri Sakawarsatita 1273 waisaka mangsa titi pratipa de suklopaksa ha pa ba wara tolu…… Irakata diwasane Sang Maha Mantri Mukya Rakyan Mapatih Mpu Mada Saksat pranalakta de Batara sapta Prabu makadi Sri Tri Buawana Tungga Dewi Maharajasa Jayawisnuwardani.
Yang artinya: Pada tahun 1213 Saka bulan ke sebelas pada waktu itu moksanya batara (Kertanegara) yang dimakamkan di Siwah Buda (pecandian). Selamat, nyatanya pada tahun 1273 Saka hari Rabu Pon Wuku Tolu, posisi wuku ada di barat daya Sang Batara di Candikan……..Pada saat upacara itu Sang Perdana Menteri Rakyan Mahapatih Mpu Mada bagaikan mandhala Dewa Siwa yang menguasai keagungan sebagaimana ditampakkan pada Sri Tri Buawana Tungga Dewi Maharajasa Jaya Wisnu Wardani
Prasasti tersebut dengan jelas menerangkan tentang keberadaan Pawukan sebagai penanggalan untuk menandai suatu peristiwa upacara perabuan raja, yaitu pada hari Rabu Pon Wuku Tolu.
Ritus-ritus penerapan pawukon juga tertera pada relief-relief candi, antara lain pada relief candi Sukuh (abad XIII). Relief candi sukuh menceritakan tentang kisah Sudamala yang inti ceritanya berupa upacara ruwatan untuk penolak bala. Kosep ruwatan Sudamala merujuk pada perhitungan pancasuda atau watak yang melekat pada seseorang semenjak lahir yang tertera dengan jelas dalam perhitungan pawukon. Dikisahkan Dewi Kunthi kerawuhan (dirasuki) Batari Durga (Simbol perusak/kejahatan), sehingga untuk mendapatkan kesuciannya kemudian diruwat oleh Raden Sahadewa. Dalam mensucikan Dewi Kunthi dari pengaruh Betari Durga tersebut, Raden Sahadewamembacakan mantra “Kala Cakra atau Satra Binedati”. Mantra yang isinya menjaga keselarasan alam semesta, penolak bala, dan diantaranya juga menyebutkan kedudukan arah wuku, yaitu delapan arah mata angin yang merupakan formasi pensucian Prabu Watugunung, sehingga tidak dapat ditembus oleh Sang Kala atau segala keburukan dan marabahaya. Dimana tujuan ruwatan didalam relief candi tersebut untuk menjaga segala keselarasan hidup di alam semesta (baik yang tampak ataupun yang tidak tampak) dan menjauhkan dari segala bala. Mantra-mantra ruwatan antara lain Kala Cakra disebut di dalam prasasti Kala Mercu (abad X).
Profesi juru ruwat atau ahli meruwat sebagai dasar bahwa Pawukon telah dipergunakan secara populerpada era Mataram Kuna, terbukti keberadaan ahli ruwat pawukon telah tertera dalam prasasti Lintakan yang berangka tahun 841 Saka (919 Masehi) yang disebutkan “Juruning maruwat aji” yang artinya seorang juru ruwat raja atau pemimpin.
Selain kisah Sudamala, pada sisi barat relief Candi Sukuh juga menampilan kisah Bima Suci. Cerita Bima Suci menisahkan perjuangan Bima dalam membebaskan orang tuanya, yaitu Prabu Pandu Dewanata dari siksa Kawah Candradimuka (Yamani) yang mencerminkan simbol penyiksaan di alam Karmapala.
Kisah pensucian melalui ruwatan yang mengacu pada pawukon juga dijumpai pada cerita Bima Suci yang tertera pada relief Candi Cetha di lereng barat Gunung Lawu. Di kisahkan Bima mencari tirta (air suci) guna membebaskan dirinya dari kebodohan tentang pemahaman ketuhanan. Dalam perjalanannya ditengah samudera Bima bertemu Dewa Ruci (simbol guru sejati) sehingga dapat memeperoleh pencerahan pemahaman ilmu spiritual mengenai sangkan paraning dumadidan manunggaling kawula gusti (dari mana dan akankemana kita kembali, serta menyatunya hamba dan Tuhannya).
Selain itu ruwatan juga dijumpai pada relief candi Panataran. Relief kisah Garudeya yang membebaskan Dewi Kadru dari perbudakan ular-ular putra Dewi Tara. Kisah pembebasan perbudakan Dewi Kadru ini juga mencerminkan pensucian melalui ruwatan yang mengacu pada pawukon.
Pustaka Raja Parwa dan Suluk Tambang Raras (abad XVIII) menjelaskan bahwa Pawukon juga digunakan sebagaidasar perhitungan mengenai pranata mangsa. Pranata mangsa di Jawa-Bali dibagi dalam dua belas mangsa. Pranata mangsa kasa atau mangsa pertama dimulai pada tanggal 23 Juni dalam kalender masehi. Tiap-tiap mangsa menandai perubahan pembawaan iklim atau cuaca sehingga mempengaruhi aktifitas kehidupan sehari-hari, sifat dan karakter bayi yang terlahir, perilaku fauna, pertumbuhan flora dan lain sebagainya. Keberadaan inilah yang kemudian menjadi pranata mangsa menjadi dasar dalam beratifitas hidup pada tiap-tiap mangsa.