Rudolf Joppy Sajow: Mencintai Indonesia, Melestarikan Kolintang

0
608

Segala sesuatu yang bermula dari cinta akan senantiasa berbuah kesuksesan. Meski pada mulanya sesuatu itu biasa saja, akan tetapi lambat laun akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Demikianlah kira-kira kiasan pengalaman hidup sebagaimana yang dialami oleh Rudolf Joppy Sajow, seniman kolintang yang sudah menancapkan kecintaannya kepada musik kolintang sejak usia belie.

Rudolf Joppy Sajow bercerita panjang lebar tentang awal mula ketertarikannya menekuni kolintang. Sampai-sampai pada usia sembilan tahun ia sudah pandai membuat kolintang melodi untuk dimainkannya sendiri. Pada usia 16 tahun ia bahkan sudah bisa membuat 1 set kecil yang terdiri dari 1 kolintang melodi dan 2 kolintang pengiring.

Pria kelahiran 21 Maret 1950 di Tomohon ini tampaknya sudah ditakdirkan sejak kecil untuk menggeluti dunia kolintang. Ia begitu mencintai music kolintang sejak masih belia. Rasa cinta itu terus tumbuh besar hingga saat ini. Berkat konsistensi dan kerja keras yang hampir tidak terbatas, Joppy Sajow mampu melampaui mimpi anak-anak seusianya. Bakat yang terpendam sejak kecil terus tumbuh besar dan mengantarkannya menjadi sosok yang dikagumi di dunia kolintang. Lewat kolintang inilah, Jopp Sajow dapat berkeliling Indonesia, juga mendapatkan undangan ke luar negeri.Kolintang adalah seperangkat alat musik yang terdiri atas barisan gong kecil yang diletakkan mendatar. Alat musik ini dimainkan dengan diiringi gong tergantung yang lebih besar dan drum. Kolintang merupakan bagian dari budaya gong Asia Tenggara, yang telah

dimainkan selama berabad-abad. Alat musik ini berkembang dari tradisi pemberian isyarat sederhana menjadi bentuk seperti sekarang. Kegunaannya bergantung pada peradaban yang menggunakannya. Dengan pengaruh dari Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Barat, kolintang merupakan tradisi gong yang terus berkembang.

Di Indonesia, kolintang dikenal sebagai alat musik perkusi bernada dari kayu yang berasal dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Kayu yang dipakai untuk membuat kolintang adalah kayu lokal yang ringan tetapi kuat, seperti kayu telur (Alstonia sp), kayu wenuang (Octomeles Sumatrana Miq), kayu cempaka (Elmerrillia Tsiampaca), kayu waru (Hibiscus Tiliaceus), dan sejenisnya yang mempunyai konstruksi serat paralel. Nama kolintang berasal dari suaranya: tong (nada rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada biasa). Dalam bahasa daerah, ajakan “mari kita lakukan tong ting tang” adalah: “mangemo kumolintang”. Ajakan tersebut akhirnya berubah menjadi kata kolintang.

Dan, bagi Joppy, ajakan untuk bermain kolintang itu begitu merasuk dalam hingga ke relung hati dan jiwanya. Tak sekadar memainkannya, Joppy yang masih remaja sudah terpikir untuk membuat kolintang. Alhasil, tahun 1972 ia telah berhasil membuat satu set kolintang untuk SMP Negeri 1 Manado. Tahun berikutnya, 1973, ia kembali membuat satu set kolintang untuk masyarakat Desa Kompi, Minahasa. Sejak itu, nama Joppy sebagai pembuat kolintang mulai dikenal luas. Tak heran bila pada tahun 1976 ia ikut dilibatkan membantu pembuatan kolintang dalam jumlah besar untuk SMP se- Sulawesi Utara, sebuah proyek yang didanai oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulut. Ia juga membuat dua set kolintang untuk dua organisasi keagamaan, yaitu GPDI dan GMIM di Desa Lalumpe, Minahasa. Karena kepiawaiannya dalam membuat kolintang, Joppy pernah menerima pesanan satu set kolintang khusus bilah-bilah nada yang dipesan langsung oleh Yayasan Maesa di Negeri Belanda. Kemahiran Joppy Sajow bukan hanya dalam membuat alat musik kolintang, tahun 1972—seiring dengan masa-masa awal kegiatannya membuat kolintang—ia sudah mampu mengaransemen musik kolintang berdasarkan teori musik yang ada pada masa itu.

Hal lain yang menarik dari sosok pria bersahaja ini ialah kecintaannya untuk berbagi dengan sesama. Ia pernah menjadi pelatih musik kolintang sejak tahun 1971. Ia pun perch mengajar musik kolintang di banyak tempat, di antaranya di Buana Ria dan Nada Maesa IKIP Negeri Manado; SMA Negeri 1 Manado; Tanjung Maesa Tumaluntung, Minahasa Utara; Nada Tamporot Tumaluntung, Minahasa Utara; The Santos Manado, Bhayangkara Manado; Tim Kesenian Sulawesi Utara, serta Tim Sumekolah Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado untuk pergelaran seni di Belanda dan Belgia dan lain sebagainya. Itu semua merupakan jejak nyata bahwa Joppy Sajow adalah pelestari sejati musik kolintang.

Selain mengajarkan musik kolintang, Joppy Sajow juga mahir dalam melatih paduan suara. Ia mulai menjadi pelatih paduan suara di usia 17 tahun di kalangan jemaat gereja. Ia juga pernah melatih ibu-ibu Dharma Wanita Pertamina Manado (1982-1985). Joppy pun kerap didapuk sebagai pelatih Paduan Suara Sulawesi Utara dalam rangka mengikuti festival tingkat nasional, mulai dari tahun 1983, 1985, 1993, 2006, 2009, 2012 dan 2015. Ia juga dikenal sebagai perintis pembentukan Vocal Group Sulawesi Utara pada 1974.

Joppy Sajow juga pernah melatih musik bambu (bamboo music) di beberapa tempat, seperti di Satria Laut Tanawangko, Minahasa (1990-2003); Irama Satria Tanawangko, Minahasa (2002-2012), Satria Jayua Lemo, Minahasa, dan terakhir menjadi pelatih di Harapan Satri Ratahan, Minahasa Tenggara (1997-2003).

Mengingat kiprahnya yang begitu luas di dunia musik kolintang, ia pun sering diundang menjadi pembicara di berbicara di berbagai tempat. Sebutlah ketika ia diundang untuk menjadi pembicara dalam Workshop Kesenian Pria/Kaum Bapak Sinode GMIM oleh Komisi Pelayanan Pria (2011), dan didaulat menjadi narasumber Temu Seniman di Rurukan-Tomohon oleh UPTD Taman Budaya Provinsi Sulawesi Utara (2017). Pantaslah jika sosok pekerja keras ini mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan 2017 untuk kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.