Di Sumatera Utara, tepatnya di tanah Batak, masih ada sekelompok orang yang dengan teguh tetap menganut agama nenek moyang mereka, yakni agama Parmalim yang tak pernah diakui oleh pemerintah. Agama Parmalim sendiri berpusat di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Berdasarkan sejarah dan cerita dari penganut agama ini, konon Parmalim Hutatinggi dirintis Raja Mulia Naipospos (wafat 18 Februari 1956). Saat ini Parmalim Hutatinggi dipimpin Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia Naipospos.

Parmalim adalah suatu kepercayaan, agama ataupun identitas sebagian masyarakat Batak. Parmalim menurut kelembagaannya disebut ugamo (agama) Malim. Parmalim percaya kepada Tuhan yang mereka sebut dengan nama Ompu Mulajadina Bolon. Nama ini kadang disingkat menjadi Mulajadi Nabolon. Mereka juga kadang menyebut atau memakai nama lain, seperti Debata atau Pelean Debata. Apapun sebutannya, semua merujuk pada satu nama yang sama, yaitu Tuhan.

Tiap tahun ada dua kali ritual besar bagi umat Parmalim. Pertama, Parningotan Hatutubu ni Tuhan atau Sipaha Sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu di awal Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon atau Sipaha Lima, yang dilangsungkan antara bulan Juni-Juli. Ritual Sipaha Lima dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak. Ini dilakukan untuk bersyukur atas panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu.

Sebagai ikatan dan interaksi sosial, setiap tahun masing-masing warga mengumpulkan sejumlah tertentu padi atau uang dalam lumbung (kas). Tujuannya untuk menyantuni kehidupan warga yang tidak mampu. Anak yatim piatu dan warga miskin dijamin oleh harta bersama ini. Bagi yang kurang mampu tidak diwajibkan memberikan hingga kehidupannya semakin baik, akan tetapi ia tetap  memunyai hak yang sama.

Di Hutatinggi sendiri, untuk menunjang pelaksanaan berbagai kegiatan dan ritual keagamaan berdiri sebuah kompleks yang disebut Bale Pasogit (balai asal-usul), yang terdiri atas empat bangunan utama, yakni Bale Partonggoan (balai doa); Bale Parpitaan (balai sakral); Bale Pangaminan (balai pertemuan); dan Bale Parhobasan (balai pekerjaan dapur). Bagi umat Parmalim, Bale Pasogit merupakan Huta Nabadia (tanah suci). Semua bale ini didesain dengan motif Batak yang sarat dengan arti khusus. Di kompleks itu pula, tiap dua kali dalam setahun digelar upacara keagamaan skala besar. Ritual pertama disebut Sihapa Sada, yakni upacara untuk menyambut tahun baru sekaligus demi memperingati kelahiran para pemimpin spiritual Parmalim. Upacara berikutnya disebut Sihapa Lima, yang dimaksudkan untuk upacara syukuran atas rahmat yang diterima dari Raja Mulajadi Nabolon. Kedua ritual upacara ini begitu penting artinya bagi segenap penganut agama Parmalim, maka dari itu tak heran jika tiap diadakan ritual ini hampir seluruh penganut Parmalim, baik yang ada di sekitar kompleks maupun dari luar daerah, akan selalu menyempatkan datang. Dalam upacara-upacara, termasuk Sihapa Lima, tari dan musik dipelihara untuk kebutuhan Parmalim.

new-picture-1Saat itulah tari tor-tor digelar sebagai bentuk pemujaan. Tarian itu diiringi Gondang Sabangunan yang merupakan alat musik orang Batak. Tari tor-tor dipercaya sebagai salah satu bentuk persembahan juga. Ketika upacara berlangsung, laki-laki yang sudah menikah mengenakan sorban di kepala, juga sarung dan selendang Batak, atau ulos. Sementara yang perempuan memakai sarung, juga mengonde rambut mereka. Pujian dan persembahan dilakukan dengan hati suci, atau hamalimon.

Filosofi teologis dalam pemahaman Parmalim adalah tentang sebuah eksistensi. Eksistensi manusia harus didasarkan pada komunikasi pada alam. Tanpa itu keseimbangan tidak dapat dipertahankan. Salah satu ujud dari komunikasi kepada alam akan membentuk penyadaran diri sebagai makhluk yang lemah. Kegalauan dalam pikiran yang menimbulkan pertanyaan dalam diri akan mendapat jawaban dari diri itu sendiri, sebagai sebab akibat, bahwa segala sesuatu itu ada karena ada yang mengadakannya atau yang membuatnya ada.

Siapa yang mengadakan sesuatu itu tidak dapat dijelaskan dengan alam pikiran manusia. Tetapi ada suatu kuasa. Kuasa yang Maha Besar dan Agung yang tidak dapat dibandingkan.Tuhan ugamo Malim menyebut kuasa itu adalah Mulajadi na Bolon. Mulajadi na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bermula dan tidak berujung.Keberadaannya adalah kekal untuk selama-lamanya. Keberadaan Mulajadi Nabolon itu dalam ajaran Malim dapat dipahami dari tonggo-tonggo atau ayat-ayat doa.

Parmalim juga melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan ugamo Malim.

Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti tujuh aturan ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ketujuh aturan tersebut adalah :
1. Martutuaek (kelahiran)
2. Pasahat Tondi (kematian)
3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)
4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)
7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan/kurban)

new-picture-2Selain ketujuh aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya. Parmalim tidak mengenal konsep panti, karena dalam budaya Batak ada adat do palumehonpinahan, alai tihas do palumehonjolma. Memeliharakan ternak adalah biasa dengan konsep bagi hasil, tetapi memelihara manusia (karena cacat, miskin dan jompo) adalah pantangan besar.

Bentuk apapun manusia yang dianugerahkanTuhan kepada keluarga adalah menjadi tanggung jawab keluarga dan komunitasnya. Konsep itu tetap hidup dalam Parmalim, sehingga warga Parmalim dalam keadaan apapun tidak dianjurkan masuk panti asuhan dan tidak berusaha membentuk panti. Kehidupannya dijamin dengan adanya Ugasan Torop.

Kini penganut Parmalim mencapai lebih 5.555 orang/jiwa, termasuk yang bukan orang Batak. Mereka tersebar di 43 tempat di Indonesia, termasuk di Singkil Aceh Darussalam. Pusat agama Parmalim terbesar berada di Desa Hutatinggi, sekitar empat kilometer dari ibukota Kecamatan Lagu Botik, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Orang lebih mengenalnya sebagai Parmalim Hutatinggi.

VISI:

“ Tercapainya kesetaraan hidup warga Parmalim dalam berbangsa dan bernegara”

MISI:

  1. Menjalin komunikasi kepada pemerintah, lembaga dan masyarakat luas untuk mencapai kesetaraan
  2. Mempersiapkan data, informasi dan dokumentasi untuk keperluan Bale Pasogit dan pemerintahan
  3. Meningkatkan taraf hidup warga Parmalim dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik.
  4. Membina generasi muda Parmalim menjadi manusia yang bertakwa, cerdas dan andal.new-picture-3