“Kisahku dengan Sandubaya dan Lala Seruni”

0
1113

Pemenang Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015, KATEGORI ANAK/REMAJA, Penulis: Fatimah Shahab.

~Aku mungkin bukan siapa-siapa, hanya bocah laki-laki berpakaian kusam dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa, tapi itu adalah pikirku dulu. Aku amati lelaki gagah di depanku yang saat ini tengah tersenyum kepada istri barunya, kelak aku akan menjadi sepertinya batinku penuh tekad. Dia adalah Sandubaya,majikanku sekaligus penyelamatku. Seseorang yang sangat kukagumi. Tanpanya, saat ini aku mungkin tengah disiksa di penjara. Pandanganku beralih ke arah ibuku yang sedang memegang sapu. Kutatap ia dengan kasih sayang, walau ia berjalan terseok-seok dengan kaki pincangnya, ia adalah orang terkuat yang selalu melindungiku dan menyayangiku. Anganku kemudian terbang mengenang kejadian setengah tahun yang lalu. Ketika aku berjalan di sisi ibuku di jalanan pasar. Tanganku menekan perutku yang telah berbunyi dari tadi. Kuperhatikan ibuku yang mengelap peluhnya karena lelah. Hatiku miris, ibu telah bekerja banting tulang dan hanya diupah sedikit, itu pun hanya pekerjaan sementara.

Tak ada yang ingin memperkerjakan ibuku secara permanen. Hanya karena ibuku pincang, ia dipandang dengan sebelah mata dan diremehkan. Seseorang berjalan cepat dan menyenggol ibuku hingga terjatuh “Heh, Matamu itu di mana? Jangan menghalangi jalan orang! Dasar pincang!” teriak lelaki itu marah.

“Maaf Tuan saya tidak sengaja,” jawab ibuku sambil berusaha untuk berdiri namun terjatuh kembali.

“Kan yang salah adalah tuan, kenapa malah marah!” ucapku tak terima “Siapa bocah kurang ajar ini? Mau saya panggilkan pengawal biar ditangkap?” balasnya marah sambil mendorongku.

“Apa yang kamu lakukan Yanu? Cepat minta maaf sama Tuan.” tegur ibuku “Maafkan anak saya Tuan, dia masih bocah belum mengerti apa-apa, saya akan memarahinya Tuan” ibuku memelas ke arah lelaki itu.

“Sudahlah, saya lagi terburu-buru. Tak ada waktu meladeni sampah seperti kalian” Ujarnya marah seraya pergi. Kupandangi kepergiannya dengan marah. Tak akan kulupakan wajah orang yang menghina ibuku.

“Ibu baik-baik saja?” tanyaku sambil membantu ibuku berdiri “Makasih nak, ibu tak apa-apa. Kamu lain kali jangan melawan orang sepertinya. Rakyat miskin seperti kita dapat dengan mudahnya masuk penjara, apalagi raja kita saat ini adalah orang yang egois dan suka semena-mena,” nasihat ibuku sambil membelai kepalaku “Iya Bu” jawabku tertunduk.

Ibu kemudian berjalan menuju seorang pedagang dan meminta pekerjaan.

Aku terus berjalan sambil melihat-lihat keadaan pasar. Kelihatan anak-anak seumuranku yang sedang bermain. Aku berjalan menghampiri mereka. Saat aku menoleh, kulihat ibuku yang menunduk sedih karena sepertinya gagal lagi mendapat pekerjaan. Aku kesal! Mengapa orang-orang salalu meremehkan kami. Perutku tiba-tiba berbunyi, seolah mengingatkan bahwa sudah tiga hari kami tidak makan kecuali dengan sedikit sisa-sisa nasi. Dalam suasana hati yang marah dan kecewa kulihat lelaki yang menabrak ibuku tadi. Mataku turun melihat kantong uangnya yang bergoyang-goyang seirama dengan setiap langkah kakinya. Timbul niat buruk di hatiku untuk mencuri darinya, lagi pula dia memang pantas menerimanya karena sudah bersifat kejam kepada ibuku.

Kubulatkan tekadku dan kemudian berlari merebut kantong uang itu darinya.

Kudengar teriakan marahnya dan kemudian beberapa pengawal yang sedang berpatroli mengejarku. Tenagaku seolah habis dan kakiku terasa lemas, tapi kuterus dan terus berlari sekencang-kencangnya. Kemudian aku tersandung dan terjatuh. Tak lama berselang para pengawal sudah mengelilingiku, menyusul di belakang mereka lelaki itu dengan nafas naik-turun memegang perut buncitnya.

“Mana dia bocah pencuri itu? Kembalikan uangku! Dan penjarakan dia!”

teriak lelaki itu marah.

Salah seorang pengawal merebut kantong uang dan mengembalikannya pada lelaki itu.

“Sini, ikut denganku!” teriak seorang pengawal sambil menjambak rambutku dan menyeretku.

“Lepaskan aku!” teriakku berusaha memberontak.

“Diam!” pengawal itu menampar pipiku dengan keras hingga kurasakan asinnya darah di dalam mulutku. Kunaikkan mataku dan tertegun melihat ibuku yang berusaha menembus kerumunan. Kemudian pandangan kami bertemu, dan kulihat air mata kesedihan telah berkumpul di sana. Nafasku seolah berhenti, aku telah membuat ibuku sedih dan kecawa. Kutundukkan pandanganku, malu dengan diriku sendiri. Kemudian dengan terpincang-pincang ibuku menghampiri pengawal dan lelaki itu.

“Tuan, saya minta maaf dengan perilaku anak saya Tuan. Saya yang bersalah karena tidak mendidiknya dengan benar. Saya mohon Tuan, maafkan anak saya.

Saya berjanji akan memarahinya dan memberinya pelajaran, tapi tolong tuan jangan masukkan anak saya ke penjara. Dia baru berumur tujuh tahun Tuan, masih kecil,” ujar ibuku seraya berlutut memohon-mohon.

“TIDAK! Pokoknya anak ini harus dipenjarakan!” teriak lelaki itu dengan kejam “Seret dia pengawal!”

Para pengawal itu pun menarikku menjauh dari ibuku. Kutatap ibuku yang berusaha mengejarku dengan sedih. Ini salahku, maafkan aku ibu. Aku pun tertunduk menangis.

“Tunggu dulu,” ucap seorang lelaki tampan menghentikan para pengawal.

“Bebaskan bocah ini, biar aku yang menjadi penjaminnya.”

“Siapa kamu?” tanya pengawal “Aku adalah Sandubaya, adik Demung Brangbantun,” jawabnya penuh wibawa “Aku yang akan membayar uang pembebasannya.”

Pengawal itu tampak berpikir sejenak, tapi melihat tatapan tajam tuan Sandubaya kepadanya, ia pun berkata “Baiklah” sambil menyerahkanku pada tuan Sandubaya dan menerima sekantong uang darinya. “Terima kasih tuan” ujar ibuku setelah berhasil menyusul.

“Saya juga berterima kasih Tuan, tapi bolehkah saya mengetahui alasan tuan membantu kebebasan saya?” tanyaku setelah berhasil menghapus air mata sambil menunduk malu Tuan Sandubaya merunduk mensejajarkan wajah kami dan mengelus kepalaku seraya berkata “ Saya tahu itu adalah pertama kalinya kamu mencuri dan sekarang kamu merasa menyesal. Saya juga melihat kejadian ketika lelaki itu menabrak ibumu. Kamu mencuri hanya karena ingin membalas perilaku lelaki itu kepada ibumu, bukan? Mungkin maksudmu baik tetapi caramu salah.

Saya yakin jika kamu mau berusaha kamu bisa menjadi orang yang sukses dan mengalahkan lelaki itu.,” Ia pun terenyum.

Aku pun menatap tuan Sandubaya dengan kagum dan penuh penghormatan “Terima kasih Tuan,” ujarku. “Hmm, saya baru-baru ini pindah rumah, dan tampak kotor karena tidak ada yang merawatnya. Saya sendiri tidak pintar bersih-bersih. Karena itu, maukah ibu membantu saya membersihkannya? Ibu bisa tinggal di kamar belakang dan saya akan memberi ibu imbalan, bagaimana?” tanya tuan Sandubaya kepada ibuku.

“Oooh terima kasih Tuan, saya tentu mau. Kebaikan Tuan kepada kami sungguh banyak, semoga tuhan membalas kebaikan tuan!” ujar ibuku berlutut di kaki tuan Sandubaya.

“Iya, sama-sama. Ibu berdirilah dan sekarang ikuti saya,” ujar tuan Sandubaya membantu ibuku berdiri.

Sejak saat itu, ibuku bekerja di rumah tuan Sandubaya dan aku sering membantunya. Kami juga tinggal di sana. Tuan Sandubaya sungguh baik, dan baru-baru ini ia telah menikah dengan gadis cantik dan juga baik bernama Lala Seruni.

*****

Malam ini bulan purnama. Tuan Sandubaya dan Lala seruni akan pergi sembahyang. Aku dengan ibuku sedang mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa mereka. Setelah kami selesai, mereka pun pergi. Ternyata ada barang yang tertinggal, aku pun berlari menyusul mereka. Sesampai di sana aku melihat rombongan kerajaan yang juga sedang bersembahyang. Di barisan terdepan ada sang Raja, Prabu Kertajagat. Aku tertegun menatap Raja yang tampak terpesona oleh Lala Seruni, ia mendekati Lala Seruni dan tuan Sandubaya. Aku pun juga menyusul pergi ke arah mereka. “Yanu, kenapa kamu di sini?” Tanya tuan Sandubaya kepadaku. “Ini Tuan ada barang yang tertinggal” jawabku seraya menyerahkan barang tersebut.

Sang Raja pun tiba di sisi kami, dan kami menunduk memberi hormat. “Sandubaya kulihat engkau datang bersama seorang wanita cantik, siapakah dia?” tanya sang Raja.

“Perkenalkan Raja, ia adalah istriku, kami baru menikah tiga bulan yang lalu” jawab tuan Sandubaya, Sang Raja pun tampak kecewa. “Salam Raja,” ucap Lala Seruni dengan lembut. “Oh Salam juga” ucap Raja terpesona kepada kecantikan dan keanggunan Lala Seruni.

Salah seorang patih mendekat memanggil Raja, dan Raja pun pergi. Dan aku juga pamit dan segera pergi. Di tengah perjalanan pulang, kulihat Raja dan para menterinya sedang berkumpul dan bercakap-cakap. Perasaanku tidak enak, aku tidak suka melihat cara Raja menatap Lala Seruni tadi. Karena penasaran, aku pun mendekat dan sayup-sayup mendengar percakapan mereka.

“Aku menginginkan wanita itu,” Ucap Raja dengan tegas seolah tidak menerima penolakan.

“Tetapi Raja, wanita itu telah bersuami. Dan suaminya adalah Sandubaya adik Demung Brangbantun, salah satu bangsawan yang berpengaruh di sini” ucap salah satu menteri dengan gugup berusaha menjelaskan.

“Aku tidak peduli. Wanita secantik itu sudah seharusnya menjadi milik Raja.

Terserah kalian, bagaimanapun caranya aku ingin ia menjadi istriku di istana.”

Setelah mengucapkan itu Raja pun pergi meninggalkan pera menteri yang kebingungan.

Para menteri mulai berunding. Akhirnya mereka membuat keputusan, untuk memberikan Lala Seruni kepada Raja, adapun tuan Sandubaya harus dilenyapkan.

Rencana pun disusun dengan rapi. Besok mereka akan menyampaikan undangan kepada tuan Sandubaya untuk pergi berburu bersama Raja. Kakiku gemetar mendengan percakapan mereka. TIDAK BOLEH! Mereka tidak boleh melenyapkan tuan Sandubaya dan mengambil Lala Seruni! Aku pun berbalik dan berlari dengan cepat kembali ke rumah. Sesampaiku di rumah, kulihat ibuku. “Mana tuan Sandubaya ibu?” tanyaku terengah-engah setelah berlari. “Mereka sudah tidur. Tuan Sandubaya pulang lebih cepat tadi karena Lala Seruni sedang tidak enak badan. Kamu dari mana saja? Ini sudah larut, sebaiknya kamu tidur.”

“Baik bu” ucapku seraya berjalan menuju ke kamar. Aku tidak enak untuk mengganggu tuan Sandubaya yang sudah tertidur, besok pagi akan aku sampaikan niat busuk Raja, janjiku dalam hati.

Keesokan paginya, setelah sarapan aku menghampiri tuan Sandubaya yang sedang duduk bersama Lala Seruni di kursi. Kuceritakan apa yang telah kudengar semalam.

“Mungkin kamu mengantuk dan salah dengar Yanu,” ujar tuan Sandubaya

setelah menyimak ceritaku. “Saya tidak salah dengar Tuan, mereka memang berniat buruk kepada Tuan,” jawabku tegas berusaha untuk membuat tuan Sandubaya percaya. “Bagaimana ini suamiku? Aku takut,” ujar Lala Seruni. “Tenanglah isteriku” ujar tuan Sandubaya. “ Tok-tok” suara pintu diketuk. Aku berdiri dan membukakan pintu. “Aku adalah utusan Raja yang membawa undangan untuk tuan Sandubaya” ujar lelaki itu di depan pintu.

“Tunggu sebentar, akan aku panggilkan tuan Sandubaya” jawabku. Aku pun segera masuk dan memanggil tuan Sandubaya. Hatiku berdebar ketakutan. Tak beberapa lama kemudian tuan Sandubaya masuk kembali setelah mendengar pesan yang dibawa lelaki itu. Ia menghampiri Lala Seruni dan aku. “Aku diundang pergi berburu bersama Raja siang ini,” ujar tuan Sandubaya. “Jangan pergi suamiku, kumohon. Mungkin ini termsuk dalam rencana busuk Raja seperti yang dikatakan Yanu,” Lala Seruni memegang tangan tuan Sandubaya. “Tapi aku harus pergi, jika tidak Raja akan marah dan menuduhku melakukan pengkhianatan. Relakanlah aku pergi berburu ke hutan Gebong. Bila aku memang menemui ajal di situ, akan kunantikan arwahmu di Menanga Baris,” Kata tuan Sandubaya kepada istrinya. Tuan Sandubaya balas memegang tangan Lala Seruni dengan erat. “Istriku, bila nanti kudaku si Gagar Mayang pulang sendiri, itu tandanya aku sudah mati. Segeralah engkau mencariku ke hutan Gebong.”

Lala Seruni pun menangis sedih. Air mataku menusuk meminta ke luar, tetapi kutahan karena aku adalah lelaki, dan aku ingin bisa diandalkan oleh tuan Sandubaya.

“Yanu, tolong jagalah Lala Seruni selama aku pergi,” ucap tuan Sandubaya menepuk bahuku. “Baik Tuan!” jawabku sigap.

Siang pun tiba, tuan Sandubaya pergi dengan menunggang kudanya disertai anjingnya si Getah. Kami berkumpul di depan pintu mengantarkan kepergiannya. Lala Seruni masih tetap menangis. Hatiku sedih melihat hal itu.

Sepanjang hari itu aku terus merasa gelisah. Aku ingin menyusul tuan Sandubaya, tapi ia telah berpesan agar aku menjaga Lala Seruni. Tiba-tiba terdengar ringkikan kuda. Aku pun segera berlari keluar. Kulihat Gegar Mayang datang sendiri, tanpa tuan Sandubaya di atasnya. Oh tidak, dia tidak boleh meninggal!

“Tidaak!” teriakan Lala Seruni sambil berlari dan segera menunggang Gegar Mayang kembali ke hutan Gebong.

“Tunggu!” teriakku berlari mengambil kuda di samping kandang dan segera menyusul Lala Seruni.

Sesampai kami di sana, kulihat tuan Sandubaya yang tergeletak di tanah dan berlumuran darah. Lala Seruni segera turun dan berlari memeluk tuan Sandubaya. Aku mengikutinya dari belakang, air mata yang sedari tadi kutahan kini turun tanpa mampu kucegah.

“Suamikuuu!” teriakan Lala Seruni memecah hutan diiringi tangisan pilu, lalu dengan tangan gemetar diletakkannya kepala Sadubaya di pangkuannya dan diusapnya perlahan denan penuh kasih sayang.

“Dia digigit oleh hewan buas,” ucap salah satu pengawal kerajaan. Kulihat luka di punggung Sandubaya, itu sebuah luka tusukan bukan gigitan ataupun cakaran. Mataku beralih menatap tombak salah satu pengawal yang berlumuran darah, merasa diperhatikan pengawal itu segera menyembunyikan tombak tersebut di belakang punggungnya. Sungguh Raja yang keji, tegateganya ia membenuh seseorang hanya untuk memuaskan nafsunya, kukepalkan tanganku berusaha menahan amarah, karena aku tahu bocah sepertiku takkan bisa menang melawannya. Aku harus bersabar demi melindungi Lala Seruni sebagaimana janjiku pada tuan Sandubaya. Gagar Mayang menyepak-nyepak tanah untuk membuat kubur. Ketika matahari terbenam tuan Sandubaya dikuburkan di bawah sebatang pohon Maja.

*****

Keesokan harinya datanglah rombongan Raja ke rumah untuk mencari Lala Seruni. Firasatku mengatakan hal yang buruk akan terjadi. Dan benar saja, mereka ingin membawa Lala Seruni ke Istana. Lala Seruni memberontak, aku pun berusaha untuk menolongnya, kugigit lengan pengawal yang mencengkram Lala Seruni. Dengan marah ia mendorong dan menamparku. Aku terhempas menabrak tembok dengan keras.

“Cukup! Hentikan!” teriak Lala Seruni menghentikan pengawal yang ingin memukulku kembali “Aku akan ikut dengan kalian ke kerajaan,tapi dengan satu syarat. Biarkan anak ini dan ibunya ikut denganku!.”

“Baiklah” ucap pengawal itu setelah berpikir sejenak.

Kami pun berangkat ke istana. Di sana Lala Seruni menjadi pendiam, selalu menangis dan tak mau makan selama berhari-hari. Hatiku sedih melihat keadaannya, berkali-kali ku bujuk ia untuk makan dan berusaha menghiburnya, tetapi ia hanya diam tak bergeming. Ibu pun mengaku telah putus asa, karena segala usahanya tak membuahkan hasil sama sekali. Raja juga menjadi kebingungan melihat keadaan Lala Seruni.

Hingga suatu hari, mendadak Lala Seruni keluar dari kamarnya dan menemui Raja. Ia bersedia menikah dengan Raja jika Raja memberinya kesempatan untuk mandi di pantai Menanga Baris. Raja sangat senang mendengar hal tersebut dan segera memanggil pasukannya untuk menyiapkan keberangkatan mereka.

Maka tak lama kemudian berangkatlah kami bersama rombongan raja ke pantai Menanga Baris.

Di sana kami mulai mandi. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat teratai berwarna merah. Teratai itu menyala seperti api yang bercahaya. Aku terpana dan terpesona melihatnya. Teratai itu sungguh indah. Tetapi aku heran, bagaimana teratai itu bisa ada di sini? Dan ini pertama kalinya aku melihat teratai sebesar itu.

“Aku ingin teratai itu!” ucap Lala Seruni tiba-tiba “Tolong ambilkan teratai itu Raja.”

“Oh tentu, jika itu bisa membuatmu bahagia,” jawab Raja sambil tersenyum

“ Pengawal, ambilkan aku teratai itu!” Perintah Raja.

“Baik paduka!” Para pengawal pun segera berenang untuk memetik teratai tersebut, tetapi tiba-tiba dari teratai itu datang segerombolan ikan yang menyerang para pengawal. Mereka menjerit kesakitan dan segera berenang kembali ke tepian dalam keadaan penuh luka.

“Sepertinya di sana banyak ikan ganas Paduka, maafkan kami!” ujar salah satu pengawal.

“Aku tetap ingin teratai itu!” ucap Lala Seruni dengan ngotot. “Baiklah, aku sendiri yang akan mengambilkannya untukmu!” jawab sang Raja. Raja pun mulai berenang ke arah teratai itu akan tetapi tiba-tiba datang beratus-ratus ikan mulai menyerangnya. Raja pun berteriak meminta tolong. Segera saja para pengawal berenang untuk menyelamatkan sang Raja. Aku menatap takjub kejadian tersebut. Dari mana datangnya ikan-ikan itu? Sungguh kejadian yang aneh.

Teratai merah itu semakin menepi dan mendekati Lala Seruni. Aku panik, aku takut Lala Seruni juga akan diserang oleh ikan. Aku berusaha berlari mendekatinya. Seolah menyadari kekhawatiranku, Lala Seruni menoleh ke arahku. Ia tersenyum menenangkan, setelah teratai tersebut berada tepat di depannya, Lala Seruni melompat menaikinya. Kemudian ia melihat ke arahku dan berkata “Terima kasih karena selama ini telah membantu dan melindungiku Yanu, sekarang aku akan pergi menyusul Sandubaya. Ia telah menungguku di alam arwah. Selamat tinggal Yanu.” Lala Seruni pun pergi menjauh ke arah laut dan semakin jauh hingga tak terlihat lagi. Air mataku menetes dan segera kuusap. Selamat tinggal Lala Seruni, selamat tinggal Sandubaya, walapun hanya sebentar tetapi aku merasa bersyukur pernah mengenal kalian. Perlahan aku berbalik dan melihat ibuku yang tersenyum menatapku dengan sedih, direntangkannya tangannya dan aku segera berlari memasuki pelukannya. Kemudian kami pun pulang bersama-sama. Beberapa hari setelah itu aku mendengar kabar bahwa Demung Brangbantun, kakak tuan Sandubaya sangat marah dengan berita kematian tuan Sandubaya. Ia pun mempersiapkan pemberontakkan untuk melawan raja. Walaupun jumlah pasukannya tak sebanding dengan Raja, mereka berhasil menang dengan siasat perang gerilya. Raja pun tertangkap dan di tengah jalan ia dilempari batu oleh rakyat yang membencinya, hingga ia menjadi putus asa dan membenturkan kepalanya sendiri sampai pecah dan ia mati.

Kemudian diangkatlah Prabu Rangkasari sebagai pengganti Raja. Ia adalah sosok yang tidak menyukai peperangan. Oleh karena itu ia mengajak Demung Brangbantun berdamai. Dan Demung Brangbantun pun menerima ajakan perdamaian itu. Sebagai ganti peperangan dengan senjata, mereka berperang menggunakan makanan. Kegiatan tersebut sangat meriah dan lucu. Setelah permainan itu selesai, kedua pasukan bersatu membentuk tali persahabatan. Sejak saat itu, kerajaan Lombok menjadi aman dan tenteram. Rakyatnya hidup damai dan sejahtera. Raja memerintah dengan arif dan bijaksana. Ada pun kehidupanku sekarang, aku tinggal di kerajaan. Ibu bekerja di sana sebagai pelayan istana dan aku belajar untuk menjadi prajurit yang tangguh. Karena aku ingin menjadi hebat dan melindungi orang-orang yang berharga bagiku.