“Kembang Pejer Jokotole”

0
1423

Pemenang Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015, KATEGORI UMUM/DEWASA, Penulis: Dwi Ratih Ramadhany.

~Sejak kepergian suaminya ke Majapahit, saban hari Nyai Empu berkata pada
Jakatole sembari meyakinkan diri bahwa Empu Kelleng baik-baik saja. Meski
tak pernah bertanya, sambil membuka kandang dan melepas sapi-sapinya
untuk digembala oleh Jakatole, Nyai Empu selalu mengatakan bahwa suaminya
pasti segera pulang. Akan tetapi, hari itu dia merasa begitu tersungkur. Kedua
kakinya lunglai dan dalam bola matanya berkelebat wajah Empu Kelleng sedang
menahan sakit di dadanya dengan tubuh kurus dan ringkih.
“Cepat jenguk Bapakmu ke Majapahit, Nak. Bantu dia dan empu-empu lain
menyelesaikan pintu gerbang kerajaan. Kalau perlu, bawa Bapakmu pulang.
Orang bilang Bapakmu sakit dan kurusan,” katanya pada Jakatole.
Jakatole mengangguk.
Dengan berbekal ubi dan beberapa potong pakaian serta sedikit informasi
mengenai arah jalan, Jakatole mencium tangan ibunya dan mohon pamit
menyusul Empu Kelleng ke Majapahit. Dia tak sanggup menolak permintaan
ibunya yang amat dia kasihi. Terlebih demi mengunjungi bapaknya yang tengah
sakit bertahun-tahun mengerjakan gerbang kerajaan bersama puluhan bahkan
mungkin ratusan empu di Majapahit.
Pada usianya yang masih 10 tahun, Jakatole berjalan dengan berani melewati
tegal dan hutan dengan pohon-pohon menjulang, menaunginya dari terik yang
perlahan meninggi menyengat ubun-ubunnya. Hatinya nelangsa, namun dia
tak mau mengecewakan ibunya. Bila ditanya apa dia benar-benar mengetahui
ke mana arah jalannya, maka sungguh Jakatole hanya akan menggelengkan
kepalanya pasrah lantas menunduk. Dia berpegang teguh pada restu ibunya dan pesan “berjalanlah ke arah barat sampai menemukan perahu untuk
menyeberang laut” dari orang-orang yang pernah sampai ke Majapahit.
Sebagai anak yang dibesarkan oleh seorang pandai besi, Jakatole tidak
gentar berjalan sendiri menyusuri alas. Dia telah ditempa seperti keris-keris
serta perkakas besi yang kuat dan tajam supaya menjadi anak pemberani namun
tetap santun dan berbudi pekerti. Sekali dua dia bertemu orang yang memikul
kayu atau ubi, menyapa mereka dan bertanya apakah mereka tahu ke mana dia
harus melangkahkan kaki selanjutnya?
Tetapi tiba-tiba seorang lelaki tua berdiri di hadapannya, seolah telah
menunggunya. Sejenak dia memandang lelaki itu, begitu bersih dan berseri-seri
roman wajahnya. Jakatole menundukkan kepala dan berjalan melewatinya.
Tak habis lima langkah, lelaki itu kembali muncul di hadapannya. Jakatole
mendongakkan kepalanya dan menoleh ke belakang, memeriksa bahwa lelaki
di hadapannya kini bukanlah orang yang sama. Tetapi dia tak menemukan siapa siapa.
Dia mengernyitkan dahi dan bergumam, “glenon (permisi, bahasa Madura)…” sambil mengambil
sisi kanan dan melewatinya lagi. Jakatole terperanjat ketika belum habis lima
langkah berikutnya, lelaki itu kembali hadir di hadapannya. Jantungnya seperti
dipukul, membuatnya harus mengatur napas dan meredakan degupnya. Lelaki
itu memanggil namanya.
“Ke mana kau akan berjalan? Mengapa kau melakukan perjalanan sendiri,
Nak?”
Jakatole menelan ludah. Lantas, “Panjenengan siapa?”
“Aku pamanmu, Adirasa. Saudara ayah kandungmu.”
Jakatole bergeming. Diamatinya lelaki di hadapannya dengan teliti.
Tubuhnya lebih jangkung dari Empu Kelleng, bapaknya. Wajahnya pun tidak
mirip. Jakatole memutar-mutar otaknya. Dia tidak bisa memutuskan apakah dia
akan mempercayai lelaki sakti yang mengaku pamannya itu.
“Empu Kelleng bukan bapak kandungmu, Tole. Akan kuceritakan semuanya.”
Lagi-lagi Jakatole mengernyitkan dahi. Orang ini benar-benar sakti,
sebab dia tahu namanya dan bapaknya. Maka Jakatole memutuskan untuk
mendengarkannya.
“Kalau begitu saya akan ikut Paman saja,” sahutnya.
“Tak mungkin, Tole. Tetapi, jika kau menemukan kesulitan, Pamanmu ini
akan datang menolongmu. Sekarang katakan padaku hendak ke mana engkau
berjalan sendiri di tengah alas?”
“Saya mau menyusul bapak ke Majapahit.”
“Kalau begitu dengarkan, aku hanya punya waktu sebentar. Bahwa ayah
kandungmu bernama Adipoday…”
Lalu Jakatole mulai memahami dan merekam segala kebenaran yang
dilontarkan Adirasa. Jakatole tidak menangis meski mengetahui bahwa ibu
kandungnya terpaksa membuangnya ke tengah hutan hingga Empu Kelleng
menemukannya. Dia diberitahu bahwa ayah kandungnya adalah seorang
pertapa dan ibunya adalah Potre Koneng, julukan untuk Dewi Saini. Sebagai
petapa yang sakti mereka tidak makan dan tidak tidur selama berhari-hari.
Ayah dan ibunya asopena (bersetubuh, bahasa Madura) dalam mimpi saat keduanya bertapa di tempat yang
berbeda.
Jakatole menyimak dengan hati-hati setiap detail yang diceritakan pamannya.
Seperti ada yang menggores hatinya, Jakatole merasa sedih sekaligus bertanya-tanya
mengapa ibu kandungnya harus membuangnya. Dia menundukkan kepala
dan mencoba berlapang dada ketika Adirasa mengatakan bahwa Jakatole
adalah keturunan seorang putri raja dan keluarga kerajaan tak mau keberadaan
Jakatole menjadi aib.
“Sebab takut ada yang mencelakaimu karena dipandang sebagai aib, ibumu
meminta dayangnya yang paling setia untuk membuangmu ke alas yang jauh
namun menginginkanmu tetap aman dari jangkauan binatang buas. Bila dia
adalah ibu yang tak memiliki kasih, tentu dia akan memilih membunuhmu. Ibu
kandungmu selalu berdoa untuk keselamatanmu,” papar Adirasa.
Jakatole tersenyum kecil saat Adirasa memandangnya penuh kasih dan iba.
“Seekor sapi putih milik Empu Kelleng yang menyusui dan menjagamu.
Hingga dia menemukanmu dan merawatmu seperti anak sendiri,” lanjut Adirasa.
Jakatole masih enggan bersuara. Di dalam kepalanya berkelebat wajah
Empu Kelleng dan Nyai yang merawatnya sejak kecil. Mereka memenuhi
segala kebutuhannya, mengajarinya banyak hal. Saban hari Jakatole akan
memperhatikan Empu Kelleng membuat keris, pisau, dan pekakas kebutuhan tani lainnya. Tanpa pamrih, tanpa mengeluh, mereka memperlakukan Jakatole
seperti anak kandung sendiri.
“Kau juga punya adik. Dari ibu dan ayah kandungmu,” ujar pamannya.
Jakatole mendongak menatap Adirasa.
“Sama halnya denganmu, dia harus dibuang dan kini tengah dirawat oleh
orang lain. Namanya Jakawedi. Kau akan segera bertemu dengannya.”
“Bagaimana caranya?”
“Berjalanlah terus ke arah barat menuju Empu Kelleng. Kau akan bertemu
dengannya di tengah perjalanan nanti. Kau akan mengantarnya ke sebuah
kerajaan di mana kelak adikmu akan menjadi penerusnya. Kini kau sudah
tahu bahwa Empu Kelleng bukanlah ayah kandungmu. Apa kau tetap akan
menyusulnya?”
Jakatole mengangguk mantap.
“Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan pintu gerbang kerajaan. Kau
harus mengorbankan dirimu untuk menyelamatkan para empu di sana. Kau
yakin?” tanya Adirasa.
Lagi-lagi Jakatole mengangguk pasti. Dia tak perlu berpikir panjang
untuk mengorbankan diri demi orang yang amat mengasihinya dan telah
menyelamatkan dirinya selama ini. Bayangan tubuh Empu Kelleng yang
semakin kurus dan sakit membuat hatinya semakin ingin segera sampai dan
menolongnya.
“Bagaimana cara menyelesaikan pintu gerbangnya? Sebab Nyai bilang,
jika empu-empu tidak sanggup menyelesaikannya, maka Raja Majapahit akan
menghukum mereka.”
“Kau harus menelan kembang ini,” Adirasa membuka telapak tangannya.
“Kembang ini nantinya yang akan menjadi pejer pintu gerbang itu. Akan tetapi,
terlebih dahulu kamu harus dibakar sampai hangus dan pejer ini keluar dari
pusarmu. Tak perlu khawatir, kau akan baik-baik saja jika tubuhmu segera
disiram dengan air.”
Jakatole menelan ludah. Dia memantapkan hati dan segera menelan
kembang tersebut tanpa sisa. Untuk orang yang telah membanting tulang dan
memerah keringat demi dirinya, dia pun tak mau ragu-ragu untuk membalas
budi.
Adirasa tersenyum melihat keputusan keponakannya yang berbudi pekerti
dan penuh cinta pada orangtua yang merawatnya selama ini.
“Setelah itu, bakarlah pintu gerbangnya dan terjunlah kau ke dalam kobaran
api itu. Kau harus merekatkan pejer itu di dalam bara api yang menyelimuti
pintu gerbang tersebut.”
Jakatole mendengarkan pamannya dengan begitu saksama. Dia tak merasa
ragu untuk melakukannya sebab hal tersebut demi keselamatan bapaknya dan
orang banyak. Setelah diberi nasihat dan cara untuk memanggil pamannya jika
sedang terdesak, Jakatole pamit untuk meneruskan perjalanannya.
Dia kembali berjalan sendiri, di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Daun-daun berserak jatuh dari ranting pohon yang menaunginya. Sepenjang
perjalanan dia memanggil nama adiknya, Jakawedi. Adik yang tak pernah dia
tahu seperti apa paras dan sifatnya. Akan tetapi, Jakatole merasa seperti telah
menyayanginya sejak lama dan ingin segera bertemu dengannya. Berhari-hari
Jakatole berjalan sendiri. Dia bersyukur sebab bekal dari nyai telah mencukupi
kebutuhannya, selain makanan-makanan yang dia dapat dari alas: buah dan ubi
yang tumbuh di sepanjang jalan.
Hingga tiba waktu ketika Jakatole memanggil adiknya dan Jakawedi pun
mendekat ke arahnya. Mereka saling melempar senyum dan bertatap ramah.
Wajah keduanya begitu mirip, bersih, dan berseri-seri. Bagai ada cahaya yang
memancar dari roman muka mereka. Jakatole menceritakan kisah yang dia
dengar Adirasa tentang dia dan adiknya, pun ke mana dia hendak menempuh
perjalanan serta pejer yang akan keluar dari pusarnya nanti.
Betapa bungah hatinya tatkala ia mengetahui bahwa aroma dan angin laut
terasa begitu dekat. Keduanya berjalan semakin lekas, tak sabar ingin segera
menumpang perahu untuk menyeberang pulau menuju Gresik demi mencapai
kerajaan Majapahit. Jakatole menjaga adiknya dengan sangat baik selama
mereka berjalan menyusuri alas. Mereka berbagi bekal makanan dan saling
bercerita tentang awan yang berarak membentuk gumpalan dan hewan-hewan
yang ditangkap lewat mata serta imajinasi mereka.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Jakatole dan Jakawedi dihadang beberapa
orang. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, mereka tampak seperti prajurit
kerajaan. Keduanya tidak bergidik. “Kalian siapa dan mau ke mana?” seseorang dengan kumis tebal dan
panjang hampir menutupi bibir atasnya bertanya dengan kedua tangan di
pinggang. Tubuh Jakatole dan Jakawedi hanya setinggi dadanya. Keduanya
harus mendongak untuk menampakkan wajah tak takut pada mereka. Wajah
lelaki itu seperti haus memukuli orang lain. Tidak seperti pertama kali bertemu
Adirasa, kali ini Jakatole menaruh curiga lebih banyak.
“Saya dari belakang, hendak ke depan,” sahut Jakatole.
“Kalian harus ikut ke kerajaan,” lanjut lelaki dengan kumis sepanjang jari
telunjuk itu.
“Saya ada keperluan yang harus diselesaikan. Saya tidak mau.”
Lalu lelaki itu mengancam akan menggeret paksa keduanya. Jakatole dan
Jakawedi tak gentar. Seseorang yang sedari tadi berjarak di dekat pohon tak
jauh dari mereka dan duduk di atas kuda, kini turun dan menghampiri mereka.
Jakatole akhirnya mengerti bahwa seorang lelaki itu adalah patih utusan Raja
Gresik yang sengaja menunggu kedatangan mereka. Patih membujuk keduanya
untuk sejenak beristirahat di kerajaan dan menyampaikan pesan raja tentang
mimpi mendapatkan penerus kerajaan di antara keduanya.
Jakatole menghela napas. Dia tak mungkin lupa apa yang dikatakan Adirasa
tentang adiknya itu. Hingga sampailah mereka di hadapan Raja Gresik yang
menginginkan Jakawedi untuk tetap tinggal sebab sang Raja meyakini mimpi
yang mengisyaratkan bahwa Jakawedi kelak akan menjadi penerusnya. Jakatole
sedikit tak rela, tetapi dia tak bisa menolak karena dia ingat pesan pamannya.
Dia yakin bahwa suatu saat dia pasti akan bertemu dengannya lagi. Serta,
Jakawedi adalah anak yang bisa menjaga diri sebagaimana dirinya.
Maka Jakatole meninggalkan Gresik dengan hati yang pelik. Dia diberi
bekal bermacam jenis makanan dan emas untuk kebutuhan perjalanan. Belum
purna hatinya berlapang dada menerima kenyataan tentang orang tuanya,
kini dia harus merelakan berpisah dengan adik kandungnya. Sepi menemani
dirinya yang berjalan sembari menyangga hatinya sendiri. Tak ada yang bisa dia
lakukan selain menyukuri apa yang sedang dialaminya dan terus berjalan demi
menyelamatkan Empu Kelleng. Dia melangkahkan kakinya semakin cepat, ingin
segera sampai dan menceritakan semuanya pula pada bapaknya itu.
Banyak orang lewat yang sampai-sampai tak sanggup mengedipkan mata ketika menangkap sosok Jakatole yang begitu berseri-seri dan enak dipandang.
Para lelaki menginginkan Jakatole menjadi menantunya. Tapi Jakatole tak
menggubris. Dia hanya tersenyum dan terus berjalan mantap ingin segera
mengadu rindu dengan bapaknya.
Lega bukan kepalang ketika pada akhirnya dia sampai di kerajaan. Dari jauh
Jakatole bisa melihat berpuluh-puluh empu menempa besi gerbang melintang
di sepanjang halaman kerajaan yang luas. Ada yang bermandikan keringat
sembari terus menempa besi gerbang. Ada yang berdiri tepekur sejenak
memandangi gerbang yang begitu besar dan tidak lekas selesai itu. Ada yang
wajahnya berwarna jelaga, barangkali sebab dia terlalu lama dihantam terik
maupun di depan kobaran api untuk membakar gerbang.
Jakatole mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebanyak puluhan empu yang
dia lewati, tak satu pun mata luput dari memandangnya dengan takjub. Wajah
Jakatole yang tampan dan seperti menguarkan ketenangan saat menatapnya,
membuat mereka menghentikan pekerjaan beberapa lama. Hingga Jakatole
menangkap sosok bapaknya di ujung pelupuk, dia berlari dengan sisa tenaga
untuk menghampirinya.
Kaget bukan main ketika Empu Kelleng melihat anak semata wayangnya
datang sendiri kepadanya. Setengah tak percaya bahwa ini bukanlah mimpi
belaka, dia memeluk Jakatole sangat erat dan menitikkan airmata dari sudut
matanya. Suasana haru ini disaksikan oleh puluhan empu dan prajurit yang
membiarkan mereka merenda kasih melepas rindu.
“Kenapa kamu ke sini, Tole? Kenapa nekat? Siapa yang menjaga Nyai?”
“Saya ke sini atas permintaan Nyai. Kami tak tega mendengar kabar njenengan
sakit dan tidak pulang-pulang. Saya mau bantu menyelesaikan gerbang ini.”
Empu Kelleng terhenyak. Orang-orang kembali bekerja sebab prajurit-prajurit
mulai mengawasi mereka.
“Aduh, Gusti. Jangan, Nak. Kami saja hampir kehabisan napas mengerjakannya,
apalagi engkau yang masih kanak. Sekarang kamu pulang. Sampaikan pada Nyai
bahwa Bapak masih sanggup menyelesaikannya.”
Jakatole menggeleng dan hanya berdiri seolah kedua kakinya lekat pada
tanah. Dia bersikeras tak mau pergi. Baginya, perjalanan jauh nan pelik yang
telah dia lalui tak mungkin hanya berakhir begini. Dia harus menyelesaikan misinya. Dia akan menuntaskan sumpahnya sendiri untuk membantu bapaknya
sampai keringatnya habis.
“Engkau adalah satu-satunya anak yang kumiliki. Jangan membuat jantungku
berhenti,” ujar Empo Kelleng.
“Sejak kecil Bapak mengajari saya untuk menghormati, menyayangi, dan
mematuhi orangtua. Jika harus memilih, Bapak bilang saya harus mendahulukan
ibu. Ibulah yang meminta saya membantu Bapak. Saya mau mengabulkan
permintaan Ibu,” tukas Jakatole.
Belum sempat memikirkan jawaban atas pernyataan Jakatole, patih kerajaan
datang untuk mengumpulkan para empu sebab raja akan segera tiba untuk
melihat pintu gerbangnya. Empu Kelleng menggandeng Jakatole dan bersama
empu lain berjalan menuju ke tengah halaman, duduk bersila dan menunduk
dalam, termasuk Jakatole. Dia melihat raut yang sangat kelelahan dan tersirat
pula kecemasan di wajah mereka. Ada yang menduduk sembari melirik kanan
dan kiri dengan cemas. Ada yang menunduk sangat rendah hingga kepalanya
nyaris menyentuh tanah. Dilihatnya Empu Kelleng pun tak luput meremas
tangannya sendiri di atas lutut dan menatap tanah di hadapannya. Yang orang-orang
bisikkan tentang alasan mengapa mereka menjadi demikian adalah karena
sang Raja tentu akan murka sebab pembuatan pintu gerbang tak kunjung usai.
“Ke Pate (panggilan untuk Patih, bahasa Madura), aku ingin melihat pintu gerbangku segera berdiri gagah,” ujar Raja
Majapahit.
Wajah orang-orang di hadapannya terlihat pucat pasi, termasuk patihnya
sendiri. Keringat dingin menetes lewat celah kepala mereka yang memikirkan
hukuman apa kiranya yang akan diberikan sebab pintu gerbang belum selesai.
“Pintu gerbangnya belum sempurna, Adjunan dalem (raja/tuan, bahasa Madura). Abdi dalem (saya/hamba, bahasa Madura, paling halus, digunakan ketika berbicara dengan sesepuh, raja, dan tuan) sudah memerintahkan semua empu untuk menyelesaikannya. Tak ada yang sanggup.”
“Apa gerangan yang tak sanggup mereka tuntaskan?” sang Raja melemparkan
murka pada para empu.
“Saebu duka dalem sandang (beribu ampun, bahasa Madura), abdi dalem sudah tidak sanggup. Sekuat
apapun kami berusaha, gerbangnya tidak bisa rekat,” sahut salah seorang empu.
Suaranya terdengar terbata dan bergetar.
Namun tiba-tiba Jakatole, dengan bertumpu pada kedua lutut dan jemari
kakinya, dia mendekat ke arah raja, hendak menghadapnya. Empu Kelleng
tercengang. Jantungnya seperti langkah kuda yang melesat cepat. Beradu.
Kedua matanya mengekor tingkah Jakatole. Pikirannya berkecamuk. Dia tak bisa
lagi membayangkan apa yang akan terjadi pada Jakatole sebab telah lancang
menghampiri Patih Gajahmada dan raja. Empu Kelleng menelan ludah melihat
Jakatole telah duduk bersila dan menunduk di baris paling depan.
“Engkau anak siapa dan mengapa begitu lancang menghampiri Raja? Daggi’
ekopessa kopengnga (nanti kujewer telinganya, bahasa Madura),” seru sang Patih.
“Abdi dalem anak Empu Kelleng dari Sumenep, Jakatole. Abdi dalem
datang ke kerajaan Majapahit untuk menengok Bapak dan membantu
beliau menyelesaikan pintu gerbang. Abdi dalem punya pejer yang bisa
menyempurnakan pintu gerbang,” ujar Jakatole tenang.
“Apa engkau menyanggupi menyelesaikan pintu gerbang ini?”
“Dengan izin panjenengan dalem dan semoga Yang Maha Kuasa
mengabulkan,” jawab Jakatole mantap.
Lantas Raja Majapahit dan patihnya kembali ke keraton dan memberi waktu
pada Jakatole serta para empu untuk menyelesaikannya sampai esok hari.
Jakatole mulai memaparkan syarat-syarat yang harus dilakukan agar pejer yang
dimilikinya bisa keluar.
“Saya harus dibakar dengan api yang besar. Sampai tubuh saya hangus. Lalu
saat itu akan keluar pejer dari pusar saya. Segera sirami saya dengan air agar
saya bisa kembali hidup. Lalu bakar gerbangnya dan saya akan merekatkannya
dengan pejer yang saya miliki.”
Jakatole mencium tangan Empu Kelleng untuk meminta restunya. Empu
Kelleng nyaris hilang kesadaran mendengar penjelasan atas kenekatan Jakatole.
Tubuhnya lunglai dan dia ambruk di tanah meski kedua matanya masih tertuju
pada Jakatole. Dia adalah anak satu-satunya, anak yang paling diharapkan
sebab dia dan istrinya tak kunjung memiliki keturunan. Kini perpisahan seolah
di depan mata. Bagaimana mungkin dia merelakan anak yang paling berbudi
dan dicintainya? Tanpa basa-basi, para empu membantu proses pembakaran Jakatole.
Mereka mengumpulkan banyak kayu dan menyalakan api sekaligus; untuk
Jakatole dan pintu gerbang. Empu Kelleng telah dibawa masuk ke pondok sebab
dia bahkan tak mampu menopang tubuh dan hatinya sendiri. Empu Kelleng
seperti lumpuh, hanya sanggup melihat cahaya kobaran api yang menyala-nyala
dari pondoknya dan berdoa dengan hati yang nelangsa semoga anaknya benarbenar
bisa kembali dalam pelukannya.
Semua orang tercengang tatkala mereka menyaksikan pejer putih muncul
dari pusar Jakatole yang dilahap api. Lantas mereka segera menyiram seluruh
tubuhnya dengan air. Semakin terkesiaplah mereka sebab Jakatole benar-benar
hidup lagi. Tidak hangus. Bahkan tidak ada sedikit pun bekas terbakar pada
kulitnya. Parasnya tampak semakin berseri-seri.
Tak seberapa lama, Jakatole kembali menceburkan diri ke dalam kobaran
api pada pintu gerbang. Dengan cepat dia merekatkan bagian-bagian yang
memerlukan pejer. Gesit namun hati-hati. Semua orang terkejut sekaligus
hampir tidak percaya pada apa yang tengah terjadi di hadapan mereka. Jakatole
benar-benar anak yang diberkati, pikir mereka.
Lantas kobaran api meredup dan pintu gerbang telah siap berdiri. Mendengar
bahwa Jakatole selamat dan pintu gerbang telah sempurna, jatuhlah airmata
Empu Kelleng yang merasa amat lega. Dia memeluk Jakatole dengan sisa tenang
yang diupayakan agar tak lepas Jakatole dari pelukannya.
“Sekarang Bapak bisa pulang. Semua orang bisa pulang,” kata Jakatole.
Raja teramat puas ketika melihat pintu gerbang miliknya tampak sempurna,
tiada cela. Jakatole dihadiahi harta dan emas sama berat dengan tubuhnya.
Meski hatinya turut bersuka sebab dia menerima hadiah yang melimpah,
Jakatole tidak sepenuhnya peduli. Yang dia pikirkan adalah perasaan Empu
Kelleng dan Nyainya. Sebab Jakatole telah menceritakan pertemuannya dengan
Adirasa pada Empu Kelleng.
“Bapak tak akan pulang apabila engkau tak ikut, Nak.”
“Jangan, Pak. Bapak pulanglah. Semua harta ini dibawa saja sebagai oleholeh
untuk Nyai. Tole akan di sini dulu, sebab Raja pasti memiliki semakin
banyak keinginan ini dan itu. Raja akan butuh Tole lagi. Akan melelahkan jika
Tole harus mondar-mandir, Pak.”
Empu Kelleng melepas Jakatole dengan berat hati. Jakatole berjanji akan pulang sesekali untuk menengok orangtuanya. Pandangannya tak lepas dari
Empu Kelleng hingga langkah bapaknya itu semakin jauh memunggunginya.
Benar, suatu saat dia akan pulang. Entah kepada orangtua kandung atau yang
telah merawatnya hingga dia tumbuh dengan baik sampai kini. Namun baginya,
Empu Kelleng dan Nyai adalah kembang pejer yang amat lekat merekatkan
hatinya.