Penerima Gelar Tanda Kehormatan Presiden Kelas Satyalancana Kebudayaan 2016. Hj. Munasiah adalah koreografer, peneliti dan pembina seni tari tradisional Sulawesi Selatan. Sedikitnya 19 karya tarinya yang berakar pada tradisi telah dipertunjukan di berbagai panggung. Kecintaannya pada pelestarian seni tradisi mendorongnya menjadi pediri sekolah seni KKS (sekarang SMK Negeri 1 Somba Opu Sungguminasa). Hasil penelitianya terkait tari tradisi telah dibukukan dan menjadi acuan di sekolah seni. Menurutnya, pada tarian terdapat falsafah siri’na pacce, malu bila tidak berbuat baik pada sesama. Oleh karena itu, katanya, melestarikan tarian tradisi adalah benteng kebudayaaan di setiap daerah.
Hj. Munasiah Daeng Jinne lahir di Jeneponto, Sulawesi Selatan, 27 November 1941. Ia tumbuh dalam keluarga dengan adat Makassar-Mandar yang kental. Sejak umur delapan tahun Munasiah mempelajari seni tari. Ia menekuni, antara lain, tari pakarena (Gowa), tari pajaga (Luwu), tari pattuddu (Mandar), tari pajoge (Bone) dan tari pagellu (Toraja). Saat menempuh pendidikan di SGB Putri (1954-1958), Munasiah juga mempelajari tari endek (Bali), tari serimpi (Jawa), tari mak inang pulau kampai, tari tanjung katung, dan tari serampang duabelas.
Setelah menyelesaikan sekolah guru, Munasiah mengajar di SRL/SGA di kota Makassar dan diperbantukan di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan (1958-1963). Oleh Gubernur Sulawesi Andi Pangeran Pettarani, ia ditugaskan menjadi guru pelatih seni tari. Munasiah memberikan kursus bagi guru-guru kesenian di Sulawesi Selatan dan Indonesia bagian timur lainnya. Dalam menjalankan peranannya tersebut, kemudian ia menyusun metode pengajaran seni tari bagi guru-guru, yang didukung oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi.
Untuk pengayaan pengetahuan dan pengajaran, Munasiah melakukan penelitian tari-tari tradisi, antara lain terhadap tari pakarena, tari pajaga, tari pattudu, tari pajoge dan tari pagellu, serta tari bissu segeri mandelle dari Kabupaten Pangkep. Penelitiannya berhasil memetakan lima rumpun tari tradisonal, yaitu dari Gowa (tari pakarena), dari Luwu (tari pajaga), dari Toraja (tari pagelu0, dari Mandar (tari patuddu), dan dari Bone (tari pajoge). Berdasarkan rumpun tari tersebut ia kemudian memetakan kekhasan atau ciri dari masing-masing tarian tradisi. Hasil penelitiannya itu kemudian ia bukukan antara lain berjudul Tari Tradisional Sulawesi.
Dalam perjalanannya memberikan pengajaran tari tradisional, Munasiah berefleksi bahwa ia tidak mungkin menjalankannya sendiri. Sebab, ia sadar betul suatu saat akan tiba saatnya ia tidak dapat memberikan pembinaan lagi. Padahal ia memandang pelestarian dan pengembangan tari tradisi sangat dibutuhkan untuk menampilkan kekhasan dari kebudayaan-kebudayaan daerah di Indonesia. Ia kemudian meminta beberapa guru untuk membuka pelatihan dan mengajarkan berbagai tarian daerah. Ia juga mengamati saat itu (1960-an) sedang berkembang lahirnya sekolah seni seperti KOKAR di Jogja dan Surabaya. Hal itu, menginspirasinya untuk mendorong pemerintah setempat agar mendirikan sekolah seni.
Saat bersamaan (1963), Munasiah menjadi tenaga teknis kesenian di Kantor Wilayah Departemen PP&K Sulawesi Selatan. Perannya itu ia gunakan untuk mendorong pedirian Konservatori Kesenian Sulawesi (KKS). Gagasan pendirian sekolah seni tersebut ia konsultasikan dengan Direktorat Pendidikan Kesenian dan mendapat dukungan dari Dewan Kesenian Makassar, juga tokoh-tokoh kebudayaan di Sulawesi Selatan. KKS didirikan untuk pengajaran kesenian yang terdapat di Sulawesi Selatan, seperti kesenian Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Juga sebagai perwujudan dari penyatuan materi cabang-cabang pembelajaran yang dikembangkan Institut Kesenian Sulawesi (IKS), yang tersebar hampir di seluruh Sulawesi Selatan.
Munasiah menjadi pediri sekaligus pimpinan KKS. Tahun 1971, KKS mulai menerima siswa sebanyak 39 orang. Tahun 1974, atas penilaian dan kesepakatan dari Ditjen Kebudayaan dan Direktorat Pendidikan Kesenian dan konsultasi dengan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, KKS dinegerikan menjadi Konservatori Tari (KONRI). Kemudian, dalam rangka pembakuan kurikulum sekolah kejuruan, pada tahun 1976, KONRI berubah menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Di SMKI tersebut dibuka jurusan tari, teater dan karawitan. Saat ini SMKI telah berubah menjadi SMK Negeri 1 Somba Opu Sungguminasa. Munasiah kemudian menjabat sebagai Ketua Jurusan Seni Tari dan mengajar beberapa mata pelajaran.
Selain memberikan pembinaan untuk tari tradisi, Munasiah juga sering diundang ke Istana Negara untuk memberikan pertunjukan tarian Sulawesi Selatan, terutama bila ada tamu-tamu dari luar. Hingga tahun 2010 Munasiah masih menjalankan pertunjukan tari, antara lain, pada acara Maestro II yang diselenggaran oleh Dewan Kesenian Jakarta. Ia juga mengkreasi sekitar 19 tarian, antara lain, Tari Rapang Bulan (1973), Sendra Tari Lebonna (1977), dan Tari Kalompoang (1990).
Menari baginya seni yang lengkap. Dalam tarian ia membutuhkan pemusik, penata busana, penata rias dan penata properti. Tanpa kelengkapan pengetahuan lain, rupanya sulit untuk mengkreasi tarian. Suasana seni tari yang demikian memungkinkannya untuk juga menggeluti bidang seni yang lain dan keluwesan berorganisasi di beberapa bidang.
Ia juga mendalami seni teater/akting, antara lain dengan mengikuti diskusi teater modern di Jakarta tahun 1976 dan Lokakarya Teater Tradisi 1977. Ia pernah memperkuat Teater Makassar dalam drama OPA-karya Rahman Arge di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ia juga bermain film antara lain pada film Jangan Renggut Cintaku– adaptasi dari cerpen Langkah-langkah dalam Gerimis karya Rahman Arge. Munasiah bahkan pernah main film layar lebar bersama Mathias Muchus dan Connie Suteja. Dalam bidang kepenulisan, Munasiah menulis beberapa buku novel dan puisi. Ia juga pernah menjadi penyanyi tetap Orkes Daerah Bajiminasa pimpinan Borra Daeng Irate, yang menciptakan lagu Angin Mammiri.
Selesai masa kerjanya sebagai pegawai negeri, Munasiah menjadi anggota DPRD di Provinsi Sulawesi Barat. Kesempatan itu ia gunakan juga untuk memperkuat pembinaan seni tari di kebudayaan asalnya, Mandar.
Pengabdiannya pada seni tradisi tersebut tak lain karena ia meyakini Indonesia memerlukan tenaga terampil untuk membangun bangsa. Dan, pada tarian ada falsafah siri’na pacce, malu bila tidak berbuat baik pada sesama. Oleh karena itu, ia juga berharap pemerintah pusat membuat arahan yang kuat dan berjenjang untuk melestarikan tarian tradisi sebagai benteng kebudayaaan di setiap daerah.
Sebagai bangsa Indonesia ia juga berharap dedikasinya merawat falsafah siri’na pacce, melalui seni tari, dapat memotivasi yang lain. Juga sikap patuh sebagai abdi negara, seniman serta disiplin memelihara hidup, disiplin waktu merupakan modal dalam mencipta dan melestarikan tari tradisi. Mengenai penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan yang diberikan oleh Pemerintah RI kepadanya, Munasiah menerimanya sebagai anugerah Tuhan. “Selama ini saya rasakan bagaimana beratnya melakukan pembinaan pada masyarakat, walaupun suami, anak dan anak-anak binaan ikut memberikan dukungan. Saya tidak pernah berharap mendapatkan penghargaan. Tetapi ketika datang, barangkali ini karena kita berikan yang terbaik pada bangsa dan negara,” tutur Munasiah.
Biodata
Lahir : Jeneponto, Sulawesi Selatan, 27 November 1941
Suami: Najamuddin Ahmad (alm)
Alamat: Kota Makasar, Sulawesi Selatan
Pendidikan
Stisipol 17 Agustus 195
SMA persamaan
SGB
SGA
Jabatan
Dosen tamu di LPKJ (sekarang IKJ) pada 1978
Pediri KKS (sekarang SMK Negeri 1 Somba Opu Sungguminasa)
Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat dari Fraksi Golongan Karya
Organisasi
Pengurus Dewan Kesenian Makasar (1970 – sekarang)
Pembina Dewan Kebudayaan Mandar
Pediri Lembaga Kesenian
Kerja Kreatif
Penata Tari pada PON VII di Surabaya (1967)
Penata Tari Massal pada pembukaan Sepak Bola Yusuf Cup
Penata Tari dan Upacara Adat pada Pengukuhan Kapal Dagang Indonesia K.M GOWA
Penyiar Bina Tari di TVRI Stasiun Ujung Pandang
Penelitian
Penelitian Tari Pakarena, Tari Pajaga, Tari Pattudu, tari Pajoge dan Tari Pagellu
Penelitian Tari Bissu Segeri Mandelle Kabupaten Pangkep
Penelitian Tari Sayo, Mamuju Sulawesi Barat
Penelitian Sastra daerah Tutur Indonesia Meongpalo dan Rupamana Samindara
Karya Buku
Tari Tradisional Sulawesi diterbitkan PT Bhakti (1983)
Pengetahuan Karawitan Daerah Sulawesi Selatan diterbitkan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1983)
Sastra Daerah Makasar Samindara
Gilimanuk (1984)
Rupamai Samindara diterbitkan Lembaga Sanggar Kesenian Sulawesi Selatan (2014)
Karya Tari
Tari Kalompoang (1990) Pentas Pergelaran
Tari Bunga Tonjong (1979) Pentas Jakarta
Tari Bunga Malena Cikoang (1977) Pentas Festival
Tari Nelayan (1979) Pentas DKM
Tari Pagulung (1965) Pentas di Jakarta
Pertunjukan
Menari pada acara Maestro II, Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2010)
Menari Pakarena pada pembukaan Konferensi PATA di Jogjakarta (1958)
Kesenian tradisi Mamasa pada Ffestival Mubes Tani di Jakarta (1965)
Penghargaan
Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan yang diberikan Pemerintah RI (2016)
Pemenang III Sayembara penulisan Naskah Seni Tari Anak-anak Tingkat Nasional (1983)
Meraih Hadiah Seni tahun 1981 untuk seni tari dari Kantor Wilayah Departemen P dan K Propinsi Sulawesi Selatan (1981)
Juara III Sayembara Penulisan Naskah Seni Tari tingkat nasional (1979)
Penghargaan Satya Lencana Kota sebagai pembina kesenian dari Wali Kota Makasar (1977)
Juara II pada Mubes Tani di Jakarta untuk Tarian Pagalung (1965)