Hendrik Boenga: Jatidiri Kita Ada pada Budaya

0
517

Awalnya Hendrik Boenga tak punya perhatian pada seni budaya di tanah leluhurnya di Pulau Sabu. Memainkan gong saja tidak bisa. Apalagi memainkan alat musik seperti ukulele. Namun minatnya pada budaya leluhurnya bangkit setelah ia kuliah dan belajar di Juru- san Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universi- tas Cendana Kupang, awal tahun 1970-an.

Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Hendrik yang biasa disapa Endy justru memilih mengajar di SD di Pulau Sabu. Selama di pulau itu ia mengaku tak tertarik pada budaya. Ia me- mang melihat orang menari atau bermain uku- lele. “Pukul gong saja saya tidak bisa,” tuturnya mengenang masa lalunya.

Lulusan sekolah guru B (SGB, tapi kerap disebut sekolah guru bantu) ini memutuskan meninggalkan Sabu untuk melanjutkan studi di sekolah guru A (SGA, kerap disebut sekolah guru atas) di Kupang, lalu mengikuti kuliah di FKIP Universitas Cendana. Di sinilah pikirannya mulai ter- buka tentang aspek-aspek kebudayaan dan ia merasa terpanggil untuk menggeluti budaya Sabu.
Ia juga kemudian mengambil keputusan penting dalam kariernya. Ia tidak lagi kembali ke Sabu, tapi melamar bekerja di Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi NTT, tahun 1977, sebagai pelaksana teknis bidang permuseuman, sejarah, dan kepurbakalaan. Perhatiannya pada budaya adalah bagian dari pekerjaannya sampai pensiun tahun 1998.

Ternyata minute Endy untuk melestarikan budlya, khususnya budaya Sabu, tidak ikut pensiun. Ia terus melanjutkan meskipun dyngan dukungan dana yang sangat terbatas. Tabun 2001 ia mendirikan Sanggar Seni Budaya Wuri Wini Hawu di Kupang, tempat ia memutar roda kegiatannya.

“Dana jadi soal utama. Tidak mungkin ada aktivitas tanpa uang. Tapi jalan terus saja. Pokoknya saya tidak mau tinggal diam. Kalau ada sedikit uang, saya bisa bantu peserta sanggar. Saya tidak bisa minta uang kursus dari mereka yang belajar di sanggar. Beda dengan kursus bahasa Inggris, orang mau bayar untuk itu. Untuk seni, susah sekali. Tetapi saya tidak patah semangat,” ujar Endy ten- tang upayanya melestarikan seni budaya Sabu.

Melalui sanggarnya ini ia telah melestarikan dan mengem- bangkan tenun Sabu dan seni tari “Ledo Hawu” dan tari “Pedo’a”, melestarikan tradisi adat perkawinan orang Sabu atau Dou Hawu. Ia juga melakukan pendokumentasian berupa deskripsi tari “Ledo Hawu” dan “Pedo’a” melalui rekaman.

Tantangan paling besar, katanya, generasi muda saat ini su- dah tidak terlalu tertarik pada budaya Sabu. Globalisasi membuat mereka tak mau mempelajarinya. “Apalagi bahasa (Sabu). Malu mereka berbahasa Sabu. Mereka lebih suka bahasa Kupang yang sep- erti bahasa Indonesia. Ini tantangan bagi saya,” tutur Endy yang juga meneliti bahasa Sabu.

Meski demikian, Endy mengaku tidak pernah patah seman- gat untuk melestarikan seni budaya Sabu. Ia menegaskan melestari- kan budaya itu sangat penting sekali. “Dari cara kita omong, kita sudah bisa mengetahui latar belakang budaya kita. Saya berbicara dengan logat orang Sabu, misalnya, itu menjadi jatidiri kita. Itu perlu bagi setiap orang. Itu tidak bisa ditinggalkan, dibiarkan begitu saja. Jadi, jatidiri kita pada budaya. Kalau saya tidak pakai kain Sabu, orang pasti tidak tahu saya orang Sabu. Sebagai orang Sabu saya ha- rus tahu. Jangan sampai lupa akar,” ujarnya.

“Saya membangun sanggar saya ini karena saya mencintai keberagaman. Keberagaman itu kenyataan dalam negara kita. Kalau negara kita dirobek-robek, saya mesti pakai paspor ke Jakarta. Itu ti- dak baik untuk mempertahankan kebinekaan,” lanjutnya.

Menyitir ucapan Ir Sukarno, Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama RI, Hendrik Boenga mengatakan, ”Sukarno per- nah bilang begini, ‘Kalau dalam satu taman hanya ada bunga putih, tidak enak dilihat. Atau juga kalau hanya ada bunga merah. Tapi ka- lau warna-warni di dalamnya, indahnya akan luar biasa’. Itu pidato Sukarno dulu.”

Kecintaan akan budaya Sabu ditunjjukan ENdy dengan melestarikan dan mengembangkan seni budaya Sabu. Ia menulis naskah tentang perlengkapan busana adat pengantin Sabu, pengobatan tradisional dan kerajinan tradisional daerah NTT. Ia juga sering di- minta untuk menjadi pemakalah dalam seminar bahasa dan budaya Sabu. Tidak hanya budaya Sabu, juga budaya daerah lain di NTT. Endy juga ikut aktif dalam kegiatan tradisi lisan NTT melalui Perge- laran Tutur Adat untuk memperkokoh karakter dan jatidiri bangsa yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (Bali, NTB dan NTT) di Kupang pada 2014.

Atas upaya Hendrik Boenga melestarikan budaya suku Sabu selama ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebu- dayaan memberi Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pelestari pada 2017. “Saya terharu. Banyak yang bekerja dalam diam, tak ter- lihat dalam melestarikan budaya. Saya tidak pernah berharap untuk mendapat ini. Tetapi ternyata segala upaya saya selama ini dihargai. Saya bersyukur. Apalagi anugerah tertinggi diberikan oleh Menteri (Pendidikan dan Kebudayaan). Bukan orang sembarang,” katanya dengan suara haru.

Hendrik Boenga pun bertekad tidak akan pernah berhenti melestarikan seni budaya orang Sabu yang menjadi budayanya di tengah keberagaman Indonesia. “Karena, itu adalah bagian dari ja- tidiri kita,” ujarnya.