Endi Agus Riyanto: Hidup Itu Seperti Gasing

0
1132

Nama Endi Agus Riyanto yang populer dengan panggilan Endi Aras tidak bisa dilepaskan dari permainan tradisional anak Nusantara, khususnya gasing. Ingat gasing, ingat Endi.

Kecintaan Endi terhadap gasing dan permainan anak Nusantara luar biasa. Bila ada rekan- rekannya yang sedang ke daerah, ia tak lupa menitip pesan agar dibawakan gasing. Ia mau mengganti berapa pun harga gasing yang dibeli. Beberapa rekan yang dekat dengannya menuturkan, bila ke daerah, Endi langsung blusukan mencari gasing. Ia tak ragu merogoh sakunya dalam-dalam untuk mendapatkan gasing atau permainan anak yang langka dari berbagai daerah. Hidup Endi sendiri bak gasing. Ia “berputar” dari satu kegiatan permainan anak Nusantara ke kegiatan lainnya. “Hidup memang seperti gasing. Harus berputar terus. Itu artinya kita harus menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Kadang dalam berputar itu kita bersenggolan dengan yang lain, tetapi keharmonisan harus tetap dijaga agar gasing tetap berputar, agar kehidupan dapat terus berlanjut,” ujar Endi di rumahnya di kawasan Taman Serua,Pamulang, Depok, Jawa Barat.
“Filoso gasing adalah keseimbangan. Gasing bisa berputar lama karena seimbang. Manusia juga harus bisa hidup seimbang antara jasmani dan rohani,” ujar Endi tentang loso gasing yang juga jadi loso hidupnya.

Di galerinya kini tersimpan tidak kurang 500 gasing dari berbagai pelosok Nusantara dan sejumlah permainan anak Nusantara. Master gasing yang dikoleksinya adalah Tjero Tri Datu dari Bali, yang beratnya sampai empat kuintal. Butuh 12 orang untuk mengangkat gasing berwarna merah dan putih tersebut. Endi membeli gasing tersebut sekitar Rp 60 juta dan sempat dipamerkan di Ta sa World di Ancol , Jakarta, 2016.

Ia tidak hanya mengumpulkan gasing dengan mendokumen- tasikan narasi tentang gasing-gasing itu. Ia mular mengumpulkan permainan anak Nusantara dari berbagai daerah yang dikunjunginya. Ia mulai mengoleksi congklak, bekel, gundu atau kelereng, egrang, othok-othok, terbangan/tambur dari tanah liat, katapel, yoyo, gatrik/ bentik, kodok-kodokan dari tanah liat, bakiak dan kapal-kapalan.

Di rumahnya, selalu hadir anak-anak yang datang untuk bermain gasing atau permainan-permainan lainnya. Rumah Endi memang selalu terbuka untuk anak-anak yang tertarik dengan permainan tradisional. Tahun 2014 ia mendirikan Sanggar Humpipah bagi anak-anak di sekitar kompleks perumahannya. Di sini mereka dilatih bagaimana bermain gasing, peraga permainan, dan bermain teater. Tidak kurang 40 anak tergabung dalam sanggar ini. Seperti pada sore itu, beberapa anak asyik dengan permainan tradisional dan beberapa lainnya bermain gasing.

Memperkenalkan gasing dan permainan anak Nusantara di kota megapolitan seperti Jakarta bukanlah pekerjaan mudah. Endi sangat menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan gelombang besar globalisasi. Sekarang permainan anak dengan mudah bisa dibeli dan anak-anak tinggal bermain saja.

Lulusan Psikologi Pendidikan Universitas Satya Wacana, Salatiga, ini menawarkan hal yang lain dari permainan anak Nusantara, sesuatu yang tidak dimiliki permainan modern. Permainan tradisional, kata dia, selalu mengutamakan proses dan kebersamaan. “Bila kita ingin bermain, pertama-tama kita membuat mainannya dulu. Jadi, ada prosesnya,” katanya tentang permainan tradisional.

Endi mencatat, di seluruh Indonesia terdapat tidak kuräng 2500 permainan anak yang butuh dilestarikan. Permainan anak Nusantara itu selalu mengajarkan banyak nilai, seperti kebersamaan, saling menghargai satu sama lain, dilakukan secara comunal, dan sellar mengutamakan proses, tidak hanya hasil, juga dari permainan tradisional kita belajar untuk berjiwa sportif, ikhlas menerima kekalahan. Dilihat dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, pantaslah permainan anak Nusantara itu tidak saja dilestarikan, tetapi juga peril dikembangkan terus sesuai dengan tumtutan zaman.

“Kewajiban melestarikan dan mengembangkan permainan anak Nusantara itu adalah tugas kita semua. Jelas saya tidak bisa melakukannya sendiri. Saya mengundang anggota masyarakat lain untuk bersama-sama menyelamatkan permainan anak Nusantara yang ada saat ini, melestarikannya dan kemudian mengembangkannya. Ini tugas kita bersama,” tegas penulis buku Indonesian Gasing Harmony in Diversity ini.

Endi mulai jatuh cinta pada gasing tahun 2005, saat ia melakoni pekerjaan sebagai event organizer (EO). Ia menjadi pelaksana Festival Gasing Indonesia di Kebun Bintang Ragunan, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah acara selesai, terbit keinginannya untuk menyimpan dan merawat gasing-gasing yang berasal dari seluruh penjuru Tanah Air. “Saat itu saya berpikir kalau gasing-gasing ini tidak ada yang mengurusi bisa bubar,” tuturnya.

Tahun 2007 dia memberanikan diri menggelar pameran permainan anak-anak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, selama satu setengah bulan. Endi yang juga dikenal sebagai jurnalis itu masih ingat betul ada yang bilang dia “gila” karena berani pameran tanpa sponsor. Namun hal itu malah makin meneguhkan hatinya untuk mengoleksi gasing dan permainan anak Nusantara lain.

Gasing dan permainan anak Nusantara telah membawa Endi tidak saja menjelajah ke sejumlah kota di Indonesia, tetapi juga ke mancanegara. Tahun 2016, dia tampil pada Pameran Gasing di London. Sebelumnya ia ikut dalam Festival of Asean Cultural Expression di Brunei (2014) dan Jambore Pramuka Dunia di Jepang (2015), serta Olimpiade Olahraga Tradisional Dunia, Tafasa World, Jakarta (2016).

Tentang Anugerah Kebudayaan 2017 untuk kategori Pelestari yang diterimanya, Endi berterima kasih atas apresiasi yang diberikan pemerintah—khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaa— atas upayanya melestarikan permainan anak Nusantara. “Saya tidak pernah menyangka akan mendapat penghargaan ini. Saya berharap makin banyak orang tertarik untuk melestarikan permainan anak tradisional,” katanya.