Ubud – Jika kita teringat akan pada pulau Dewata, maka ingatan kita tidak lepas pada Ubud sebagai desa seni dunia. Wisatawan bisa berhari-hari tinggal disana, melebur dalam keindahan dan kehidupan desa. Namun hal ini tak mungkin dilakukan oleh sekelompok penggiat seni yang sejak 11 hingga 18 Maret 2019 berada di Ubud. Mereka justru rela mengurung di hotel untuk belajar perihal serfifikasi kompetensi seni. Untuk apa sebetulnya ini dilakukan? Betulkah sertifikat kompetensi bagi para seniman menjadi sangat penting sebagai peneguh profesi mereka atau justru menjadi persoalan? Saat dunia semakin terbuka, seakan tanpa batas dan kita bisa melintas kemanapun dengan mudah. Kemudian apakah para pelukis, penari, dan penyelenggara seni harus disertifikasi?
Direktorat Kesenian mencoba merespon dengan bijak, hal semacam ini akan segera bergulir sebagai konsekuensi dari pasar bebas dan lain sebagainya. Direktur Kesenian, Restu Gunawan, dan Kasubdit Pembinaan Tenaga Kesenian membuka pelatihan asesor kompetensi bidang seni di Ubud. Sebuah kegiatan yang digulirkan untuk mendudukkan sertifikasi seni sebagai wacana yang sebetulnya tidak rumit. Sistem sertifikasi seni memiliki ukuran yang pasti dan memiliki pola yang sebetulnya sangat metodis. Sertifikasi kompetensi digunakan untuk mendudukkan keahlian seseorang terkait kepentingan penguna (dalam hal ini industri) yang mensyaratkan kepastian profesi dari tenaga kerja yang diinginkan. Jika ini menjadi prasyarat seniman ketika akan melakukan pertunjukan di luar negeri atau tempat lain, bagaimana cara melakukan uji kompetensi atas mereka?
Ada dua jenis cara menguji kompetensi seni seseorang, dengan melakukan uji kompetensi dan portofolio. Sejatinya standarisasi kompetensi bertujuan untuk menyetarakan kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) seseorang, baik dari jalur pendidikan formal maupun non-formal. Mereka yang berasal dari jalur pendidikan formal maupun yang belum memiliki rekam jejak pada bidang seninya perlu dilakukan uji kompetensi dengan metode observasi-demontrasi dan tes lisan maupun tulisan sebagai tambahan. Hal ini dilakukan untuk memastikan kompetensi yang mereka miliki serta memetakan kluster profesi bidang seni yang mereka geluti. Proses ini akan sangat berbeda bagi para seniman yang telah memiliki rekam jejak lebih dari lima tahun dalam perjalanan kesenimanan mereka. Portofolio menjadi bagian penting dalam mengukur kompetensi. Tak lagi perlu diuji, karena portofolio yang mereka miliki telah menunjukkan sejauh mana profesionalisme mereka dalam dunia yang digeluti. Jika ada hal yang kurang, wawancara cukup menjadi prasyarat tambahan untuk melengkapi bukti kompetensi, sangat sederhana dan bermartabat.
Ketika membahas proses terkait dengan ukuran, para penggiat seni yang hadir di Ubud betul-betul dibuat tak berdaya. Ingin rasanya pulang dan kembali ke rumah. Ingin meregangkan kembali tubuh dengan menari atau menorehkan kuas ke kanvas, atau cukup menulis sembari menghirup aroma kopi. Ubud terasa tak ramah. Tapi akhirnya selesai juga dengan tekad untuk mampu menjadi wakil pemerintah dalam mendudukkan sistem sertifikasi seni secara sederhana, terukur, dan tidak mempersulit. Salut untuk mas Nano Riantiarno, Tisna Sanjaya, Benny Yohanes, Subarkah, Rima Ananda, Koes Yuliadi, Nanang Arisona, Citra Smara Dewi, Mikke Susanto, Sudjud Dartanto, Melati Suryodarmo, Joko Dwi Avianto, M. Sigit Budi Santoso, Sari Madjid, Retno Dwimarwati, Adam Wahida, Ponimin, Suhendi Afriyanto, Otto Sidharta, Suyanto, Cahya Hedi, Yayat Hidayat K., Asep Nata, Deni Hermawan, yang menjadi generasi pertama asesor bidang kesenian di Indonesia. (YSM)