Sarolangun, 1 Juli 2024 – Indonesia sedang menghadapi tantangan serius terkait kelestarian hutan dan kearifan lokal masyarakat adat. Dalam beberapa dekade terakhir, laju deforestasi di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur telah menyebabkan hilangnya jutaan hektare hutan, yang berakibat pada kerusakan ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati. Di samping itu, masyarakat adat yang hidup bergantung pada hutan juga menghadapi ancaman lunturnya pranata adat dan kurangnya pengetahuan serta kepedulian generasi penerus tentang fungsi hutan bagi kehidupan.
Menanggapi masalah tersebut, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Dit. KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan program Wana Budaya. Program ini diharapkan menjadi langkah awal dalam upaya pemajuan ekosistem kebudayaan berbasis hutan adat yang berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, program ini bekerja sama lintas sektoral dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Jambi dipilih sebagai lokasi khusus pelaksanaan program Wana Budaya karena provinsi ini memiliki hutan adat yang telah diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hutan hujan tropis di Jambi merupakan salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati paling kaya di dunia, namun juga paling terancam akibat laju pembukaan lahan untuk komoditas pertanian, terutama kelapa sawit. Laporan dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menyebutkan bahwa Jambi telah kehilangan sekitar 2,5 juta hektare tutupan hutan dalam waktu 50 tahun terakhir. Penetapan hutan adat oleh KLHK memberikan kesempatan bagi masyarakat adat untuk mengelola dan melindungi hutan mereka secara berkelanjutan.
Kegiatan Training of Trainer (ToT) Fasilitator Pendamping Wana Budaya resmi dimulai di Desa Temenggung, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Desa Temenggung, yang telah mendapatkan surat keputusan penetapan hutan adat dengan nama Masyarakat Hutan Adat Dusun Mengkadai, menjadi tuan rumah bagi 29 fasilitator pendamping yang berasal dari berbagai Masyarakat Hutan Adat (MHA) di Provinsi Jambi. Fasilitator ini berasal dari empat kabupaten: Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Kerinci.
Kepala Desa Temenggung, Supriadi, menyampaikan apresiasinya terhadap program ini, “Terima kasih telah menjadikan Desa Temenggung sebagai tempat pelatihan, mudah-mudahan dengan pelatihan ini kami sebagai masyarakat Temenggung bisa membangkitkan kembali budaya Temenggung yang sudah lama ditinggalkan.”
Program Wana Budaya dirancang untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat adat, termasuk ancaman kerusakan alam, lunturnya pranata adat, dan kurangnya pengetahuan generasi muda tentang fungsi hutan. Melalui program ini, Dit. KMA berupaya memperkuat ketangguhan masyarakat adat guna meningkatkan kualitas hidup yang selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Direktur KMA, Sjamsul Hadi, S.H., M.M, menekankan pentingnya program ini, “Training of Trainer ini merupakan langkah awal yang krusial dalam memastikan bahwa para fasilitator pendamping memiliki bekal yang cukup untuk mendampingi masyarakat adat dalam mengelola hutan mereka secara berkelanjutan. Kami berkomitmen untuk terus mendukung upaya pemajuan kebudayaan berbasis hutan adat ini.”
Dalam pelaksanaan program ini, Dit. KMA bekerja sama dengan empat lembaga pendamping: KKI Warsi, Wahana Mitra Mandiri, Cappa, dan Satu Nama, yang tergabung dalam Konsorsium “Siginjei” (Sinergisitas Untuk Negeri Jambi). Selama lima hari ke depan, fasilitator pendamping akan dilatih oleh narasumber dan instruktur sebelum nantinya tinggal di desa dampingan untuk mengawal proses pemajuan kebudayaan berbasis hutan adat. Ketua Tim Kerja Wana Budaya, Dr. Julianus Limbeng, M.Si., Pamong Budaya Ahli Madya, menambahkan, “Melalui pelatihan ini, kami berharap dapat menularkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melestarikan budaya dan mengelola hutan adat secara efektif. Ini adalah kesempatan untuk memperkuat kapasitas masyarakat adat dalam menjaga dan memanfaatkan hutan mereka.”
Program Wana Budaya terdiri dari beberapa tahapan, termasuk pemilihan dan pembekalan Wirawana, temu kenali ekosistem kebudayaan berbasis hutan adat, publikasi hasil temu kenali, kurasi budaya unggulan, dan penentuan tema pengembangan kebudayaan. Puncaknya, akan ada pemanfaatan kebudayaan berupa panen budaya Wirawana di Kenduri Swarnabhumi 2024. M. Panji Kusumah dari Tim Eksotika Desa sebagai pelatih/trainer menyatakan, “Pelatihan ini memberikan kami wawasan baru dan semangat untuk terus melestarikan hutan adat. Kami siap menerapkan apa yang telah kami pelajari untuk kesejahteraan masyarakat kami dan kelestarian lingkungan.”
Heriyadi Asyari, seorang peserta pelatihan mengungkapkan antusiasmenya, “Pelatihan ini memberikan kami wawasan baru dan semangat untuk terus melestarikan hutan adat. Kami siap menerapkan apa yang telah kami pelajari untuk kesejahteraan masyarakat kami dan kelestarian lingkungan.”
Istilah Wirawana, yang berarti pejuang hutan, dipilih karena menggambarkan upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan dalam rangka pemajuan kebudayaan berbasis hutan adat. Wirawana adalah kolaborator Dit. KMA di garis terdepan, yang diangkat dari barisan masyarakat adat. Mereka diharapkan memiliki keberanian, kesungguhan, keuletan, dan sikap pengabdian yang tulus demi mewujudkan kehidupan yang harmonis dan sejahtera, baik secara sosial, ekonomi, ekologi, maupun spiritual, bagi masyarakat adat kini dan generasi mendatang.
Dengan diluncurkannya program Wana Budaya, diharapkan ekosistem kebudayaan berbasis hutan adat di Provinsi Jambi dapat berkembang secara berkelanjutan, menjaga keanekaragaman hayati, dan memajukan kesejahteraan masyarakat adat.