[KLIPING BUDAYA] Nilai Luhur Perlu Dirawat Ketua MPR: Pembangunan Karakter Bangsa Harus Digelorakan

0
4436
Kompas (3 Maret 2015)

Sumber: Kompas Cetak (3 Maret 2015)

Kompas (3 Maret 2015)
Kompas (3 Maret 2015)

JAKARTA – KOMPAS – Semua komponen bangsa perlu menggali pemikiran dan nilai-nilai luhur yang dilahirkan para pendiri bangsa. Penerapan nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa membuat Negara mempunyai arah yang jelas dalam melindungi rakyatnya.

Pahlawan nasional dan ahli hukum, Soepomo (1903-1958), turut melahirkan nilai luhur mengenai Negara integralistik yang mendukung totalitas meski bukan fasisme. Salah satu sumbangan pemikiran Soepomo yang masih dipertahankan sampai sekarang adalah Pasal 31, 32, dan 33 Undang-Undang Dasar 1945.

“Tidak bisa tidak, kita harus meneruskan nilai-nilai pendahulu. Setip generasi masalahnya harus reinventing, menggali kembali. Kalau demikian, bagaimana bangsa kita bisa maju,” kata Ketua Dewan Pakar Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum (Pustokum) Jimly Asshiddiqie dalam peluncuran biografi intelektual Soepomo: Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, Senin (23/2) di Jakarta.

Jimly memaparkan, konstitusi berubah banyak setelah reformasi karena ada juga pemikiran yang tidak dapat dipertahankan. “Dari 199 ayat dalam UUD 1945, yang asli tinggal 25 ayat. Namun, kita takut kualat dan tetap bilang UUD 1945,” ujarnya.

Jimly menegaskan, dalam 15 tahun terakhir ada perubahan besar dalam konstitusi dan hukum di Indonesia. “ Norma lama tidak berlaku, sementara norma baru belum efektif dan sering tidak disadari, “ katanya.

Jimly mencontohkan perubahan struktur organisasi ketatanegaraan mulai dari MPR sampai tingkat desa. “ Dulu, semua keputusan ditangan Kepala Desa, tetapi sekarang melalui dewan kelurahan dan badan perwakilan desa. Pengambilan keputusan menjadi lama sekali,” kata Jimly.

Menurut Jaksa Agung periode 2004-2007, Abdul Rahman Saleh, Soepomo dalam kapasitas pemikir hukum sangat memahami kolonial tidak begitu cocok diadopsi di Indonesia karena perbedaan corak dan budaya.

“Hukum di Eropa dibangun atas dasar sifat individualism. Padahal, individualism digambarkan oleh Soepomo sebagai orang yang bersaing,” ungkap Rahman. Menurut Rahman, Soepomo menilai individu berhak memiliki tanah yang jika tak dirawat dan ditumbuhi semak belukar bisa direbut lagi oleh orang lain.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Sunaryati Hartono mengungkapkan kekagumannya terhadap Soepomo yang mampu melihat jauh ke depan terkait individualisme. Sunaryati mengakui, pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas merupakan contoh baik dari hukum Indonesia.

Era globalisasi yang diwarnai derasnya serbuan informasi digital dan disertai melebarnya kesenjangan kesejahteraan rakyat menjadi tantangan bangsa Indonesia. Isu suku, agama, dan ras seharusnya tak lagi menjadi persoalan apabila nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi perilaku bangsa.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan mengatakan, nilai-nilai kebangsaan itu harus terus digelorakan. Menurut dia, Pancasila merupakan janji kebangsaan yang semestinya menjadi karakter bangsa.

“Perlu ada lembaga khusus untuk mengajarkan nilai-nilai kebangsaan ini supaya tidak hilang. Saya sudah mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo dan beliau setuju,” ungkap Zulkifli.

Lembaga tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga pengajaran nilai-nilai kebangsaan bisa diserap dengan mudah oleh generasi muda. Zulkifli juga mengingatkan, lembaga tersebut tidak boleh mengulang pola doktrinasi demi kepentingan penguasa ala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) era Orde Baru yang dibubarkan saat era reformasi.

“Lembaga ini harus mampu membangun karakter kebangsaan sebagai bangsa pemenang beretos kerja keras. Supaya tidak ada lagi politik kesukuan, ras, dan agama seperti sekarang.,” kata Zulkifli.

Dia menyoroti konflik horizontal serta social yang diwarnai isu suku, agama, ras, seperti di Masjid Mesuji, di Lampung, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Menurut Zulkifli, tantangan Indonesia saat ini bukan lagi isu suku, agama, ras, melainkan kemiskinan, pengangguran, serta peningkatan sumber daya manusia.

“Hal lain adalah kepatutan yang kian ditinggalkan. Ada wakil rakyat yang menemui konstituen yang kian ditinggalkan. Ada wakil rakyat yang menemui konstituen naik mobil mewah dan pemerintah daerah membangun kantor megah. Ini, kan, tidak patut,” ujar Zulkifli. (RYO/HAM/NWO)