Minahasa Utara, sebuah wilayah di Sulawesi Utara, memiliki sejarah panjang dan kaya akan tradisi serta kepercayaan lokal yang telah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Penganut agama-agama lokal ini, yang sekarang dikenal dengan istilah Penghayat Kepercayaan, memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat setempat. Istilah Penghayat Kepercayaan ini telah mengalami perubahan dari Aliran Kebathinan, kemudian menjadi Aliran Kepercayaan, dan akhirnya disebut Penghayat Kepercayaan.
Keberadaan Penghayat Kepercayaan dijamin dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hal ini diperkuat oleh Pasal 29 Ayat 2, yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Berkat perjuangan panjang melalui pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya berdasarkan putusan MK, negara memberikan pengakuan kepada kelompok Penghayat Kepercayaan, terutama dalam hal administrasi kependudukan. Kini, mereka dapat mencantumkan ‘Penghayat Kepercayaan’ di kolom Agama pada KTP dan KK, menikmati kebebasan bersekolah, serta melaksanakan pernikahan menurut tata cara Penghayat Kepercayaan.
Meskipun demikian, perjuangan Penghayat Kepercayaan belum berakhir. Masih ada stigma di masyarakat yang perlu diluruskan, serta narasi dalam pemberitaan yang sering mengundang diskriminasi akibat ketidaktahuan mengenai Penghayat Kepercayaan.
Di Sulawesi Utara sendiri, terdapat 4 Organisasi Kepercayaan yang sudah mendapatkan tanda inventarisasi dari Direktorat Kepercayaan dan Masyarakat Adat, sementara 7 lainnya belum mengurus Tanda Inventaris (TI).
Untuk alasan tersebut, Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Dewan Wilayah Sulawesi Utara menggelar kegiatan Sarasehan Kepercayaan – Agama dan Pelatihan Jurnalistik Berperspektif Keberagaman. Acara ini dilaksanakan di Kawanua Center – Kauditan, Minahasa Utara, pada Sabtu, 29 Juni 2024.
Iswan Sual, Ketua MLKI Sulut, dalam sambutannya menyatakan, “Kami mendapati bahwa Penghayat Kepercayaan sering mengalami diskriminasi bukan karena masyarakat Indonesia suka mendiskriminasi, tetapi kebanyakan karena ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan tentang apa itu Penghayat Kepercayaan.”
Menurut Sual, ketidaktahuan ini mempengaruhi para jurnalis ketika membahasakan kelompok Penghayat Kepercayaan di media. Banyak yang tidak tahu bahwa para penghayat kepercayaan lokal ini tidak ingin disebut sebagai aliran kepercayaan. Ini merupakan salah satu tugas jurnalis untuk mengedukasi masyarakat terkait keberadaan Penghayat Kepercayaan, tetapi sering kali hal tersebut diberitakan dengan pengertian yang salah.
Sumari dari Kemendikbudristek dalam sambutannya mengatakan bahwa wartawan memiliki lima peran, yaitu sebagai pendidik, pelurus informasi, pemersatu bangsa, pembaharu pemikiran, dan pejuang kebenaran. “Dengan lima fungsi ini, diharapkan bisa menjadi pegangan bagi para wartawan dalam menjalankan tugasnya,” kata Sumari.
Diharapkan para jurnalis ini bisa menyuarakan aspirasi dari kelompok-kelompok minoritas terutama Penghayat Kepercayaan sehingga memperoleh layanan setara dengan masyarakat lainnya.