Sumber : https://newswire.id/content/desa-adat-dan-komunitas-budaya-direvitalisasi
Jakarta, Kemendikbud–Rombongan berpakaian surjan, atasan pria asal Jawa dengan motif lurik, memadati sudut ruangan perhelatan Workshop Revitalisasi Desa Adat dan Komunitas Budaya, di Jakarta Barat, Rabu (26/4). Nampak pula, para wanita berkain jarik lengkap dengan sanggul dan selop wara wiri sepanjang perhelatan. Mereka mengikuti workshop tersebut, selama du sebagai tahap seleksi sekaligus persiapan bagi penerima Bantuan Sosial Fasilitasi Komunitas Budaya di Masyarakat dan Revitalisasi Desa Adat tahun 2017.
Revitalisasi desa adat merupakan proses atau cara menggiatkan kembali potensi-potensi desa adat dalam rangka pelestarian kebudayaan. Secara harafiah, desa adat adalah kesatuan hidup setempat yang disatukan dalam satu wilayah tertentu yang dihuni oleh sejumlah orang/ keluarga dan memiliki identitas sosial, berinteraksi berdasarkan nilai, norma serta aturan adat yang tertulis maupun tidak tertulis. Istilah desa adat memiliki beragam istilah bagi masyarakat Indonesia sendiri, seperti nagari, kampong, kampung, dan pekraman.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid mengungkapkan tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) lakukan revitalisasi bagi desa adat dan komunitas budaya di masyarakat. Menurutnya, revitalisasi ini merupakan upaya untuk tetap mempertahankan keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia. Seringkali, lanjut Dirjen Hilmar, ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menghapus keberagaman demi mengikuti perkembangan modernisasi.
“Kebudayaan kita sangat beragam dan mengalami banyak tantangan, salah satunya menghapus keberagaman itu,” jelasnya, saat peresmiaan pembukaan Workshop Bantuan Pemerintah Fasilitasi Komunitas Budaya di Masyarakat dan Revitalisasi Desa Adat, di Jakarta Barat, Rabu (26/4). Kecenderungan itu terlihat dari fenomena masyarakat yang lebih memilih untuk menggunakan bahasa Inggris yang bercampur dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Padahal, penguasaan bahasa Indonesia, dan bahasa daerah sebagai identitas diri pun masih kurang.
Sri Hartini, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, mengungkapkan animo masyarakat sangat tinggi untuk berpartisipasi. Hal ini terlihat dari jumlah proposal revitalisasi yang masuk. Dia menjelaskan terdapat 905 proposal yang masuk untuk Fasilitasi Komunitas Budaya Masyarakat, dan 321 proposal revitalisasi desa adat. Sementara, kuota penerima bantuan untuk Fasilitasi Komnitas Budaya Masyaakat tahun 2017 sejumlah 155 komunitas budaya, dan 75 desa adat.
Direktur Sri menjelaskan, Workshop Fasilitasi Komunitas Budaya dan Revitalisasi Desa Adat terlaksana kali kedua di tahun 2017, yaitu untuk menyaring penerima bantuan dari wilayah Indonesia Bagian Barat dan Tengah, selama empat hari, dari tanggal 26 s.d. 29 April 2017. Sebelumnya, workshop dilaksanakan pada tanggal 19 s.d. 23 April 2017 untuk menyeleksi penerima bantuan dari Wilayah Indonesia Timur, dan Wilayah Indonesia Tengah. Tema workshop yang diangkat mengenai “Kegotongroyongan”, yaitu kerja sama antara sejumlah warga masyarakat untuk menyelesaikan sesuatu atau pekerjaan tertentu yang dianggap berguna untuk kepentingan bersama. Sehingga, masyarakat dapat saling bekerjasama, bantu membantu dalam bentuk tenaga, dan dana tanpa mengharapkan imbalan demi kepentingan bersama.
Dirjenbud Hilmar berpesan penerima bantuan harus berisinisitif dan kreatif, bukan sekedar menjalankan tugas untuk renovasi fisik semata. Diutarakan Dirjenbud, revitalisasi desa adat dapat menjadi stimulus penggerak sektor non fisik di masyarakat desa, seperti sektor perekonomian, dan pertanian.
“Bapak ibu adalah ujung tombak jadi bukan sekedar penerima bantuan sosial untuk revitalisasi desa adat dan komunitas budaya. Kita tidak mau bikin program yang mematikan kreativitas dan inisiatif masyarakat. Itulah kenapa prosesnya sangat mumet,” jelas Dirjenbud Hilmar.
Direktur Sri mencontohkan terhentinya aktivitas menenun yang menjadi potensi ekonomi, dan prosesi ritual budaya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, karena adanya hunian desa adat yang mengalami rusak parah.
“Revitalisasi desa adat bukan sekedar program revitalisasi fisik tapi juga melibatkan beberapan peranan kementerian yang memiliki program serupa, seperti kementerian dalam negeri, dan kementerian desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi untuk upayakan revitalisasi desa adat betul-betul jalan,” jelas Direktur Sri.
Contohnya, ketika rumah adat rusak bagi masyarakat Sumba Timur, NTT, sehingga mengakibatkan mereka tidak memiliki tempat berkumpul. Tanpa disadari, hal ini berpengaruh kepada aktivitas menenun yang potensial tersebut karena di rumah mereka berlindng dan berkegiatan. Bahkan, lanjut Direktur Sri, terdapat satu keluarga yang terpaksa menyimpan jasad salah seorang anggota keluarga selama tujuh tahun karena rumah adat rusak, dan peninggalan-peninggalan budaya tidak bisa digunakan untuk ritual pemakaman sanak saudara tersebut.
Alokasi anggaran revitalisasi desa adat menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud dengan rincian sebanyak Rp 400 juta untuk masing-masing desa adat penerima bantuan revitalisasi, dan sejumlah Rp 100 juta bagi masing-masing komunitas budaya masyarakat.***
Jakarta, 27 April 2017
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan