[KLIPING BUDAYA] Negara Hadir Wujudkan Keberagaman

0
3264

”Keberagaman adalah anugerah. Hakikat menghargai orang lain diwujudkan lewat menghargai keberagaman,” ucap Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sri Hartini, Selasa (30/8), di Jakarta.

Selain 178 pasangan penghayat kepercayaan Marapu, ritual adat pernikahan juga dilangsungkan untuk 17 pasangan penganut agama lainnya. Pemerintah menyebutkan ada enam agama yang diakui secara resmi oleh negara, yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, serta Konghucu. Agama lokal lainnya diakui sebagai aliran penghayat kepercayaan.

Menurut Hartini, saat ini terdaftar 182 organisasi penghayat kepercayaan di tingkat nasional dan 996 organisasi penghayat kepercayaan di tingkat provinsi serta kabupaten/kota. Diperkirakan, jumlah penduduk Indonesia yang menjadi penghayat kepercayaan berjumlah 10-12 juta orang.

Masyarakat Sumba memiliki komunitas penghayat kepercayaan Marapu yang memuliakan nilai-nilai dari para leluhur. Ritual adat pernikahan pada hari Selasa digelar di Kecamatan Haharu atas prakarsa beberapa lembaga, seperti Yasalti dengan Program Peduli Satunama, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, serta pemerintah setempat.

Di sisi lain, Hartini mengakui bahwa permasalahan terkait penghayat kepercayaan masih terjadi di dunia pendidikan. ”Saat ini, ada satu lagi yang sedang diupayakan penyelesaiannya melalui komunikasi antara pihak sekolah dan orangtua siswa. Kejadiannya di Tuban, Jawa Timur,” ujarnya.

Sebelum ini, siswa sebuah SMK di Semarang, Jawa Tengah, tidak bersekolah lebih dari sebulan terakhir. Ia dinyatakan tidak naik ke kelas XII dengan nilai agama kosong karena menolak ujian praktik agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya (Kompas, 24 Agustus 2016).

”Sekarang masih menunggu penyelesaian yang diharapkan bisa secepatnya dicapai,” kata Hartini.

Berhak

Pemerintah telah mengeluarkanPeraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam regulasi ini, siswa penghayat kepercayaan dimungkinkan untuk mendapatkan Pendidikan Kepercayaan.

Secara terpisah, penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, Dewi Kanti, mengatakan, berkaca pada peristiwa yang menimpa seorang siswa di Semarang itu, sepatutnya dipertanyakan apakah ideologi Pancasila benar-benar masih dijunjung tinggi. Menurut dia, ideologi Pancasila mengutamakan pengamalan ketuhanan, bukan keagamaan tertentu.

”Konstitusi atau sumber-sumber hukum lainnya jangan digunakan untuk menunjang diskriminasi terhadap agama-agama lokal Nusantara,” ujar Dewi Kanti.

Karakter menghormati keragaman bangsa yang ditunjukkan melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika masih perlu terus dipelajari penerapannya.(NAW)

Sumber: KOMPAS/ 31 Agustus 2016 / hlm 12