MOH. NADLIR
Kompas.com – 10/11/2017, 16:05 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com – Penghayat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti Setianingsih, meminta pemerintah tetap mencantumkan kepercayaan yang dianut para penghayat pada identitas kependudukan.
Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.
“Kalau dipahami, diputuskan MK itu tidak hanya muncul, atau diseragamkan menjadi identitas penghayat kepercayaan. Tapi identitas dari masing-masing keyakinan yang ada di Nusantara,” kata Dewi dihubungi, Jumat (10/11/2017).
Baca: Ada 187 Kelompok Penghayat Kepercayaan yang Terdaftar di Pemerintah
Dewi menilai, kurang tepat jika pada identitas kependudukan diseragamkan dan hanya dicantumkan sebagai penghayat kepercayaan, tanpa dirinci secara detil kepercayaan yang dianut.
“Karena istilah penghayat kepercayaan itu sendiri apakah sudah clear disepakati oleh para penganut yang ada di seluruh nusantara. Jangan-jangan itu hanya istilah yang dipakai orang-orang di wilayah Jawa,” ujar dia.
Bagi Dewi, semangat putusan MK tersebut adalah kesetaraan. Semua kelompok penghayat kepercayaan bisa mencantumkan secara detil kepercayaan yang dianut.
Putusan MK
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sebelumnya menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.
Menurut majelis hakim, hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.
Hal itu disampaikan MK dalam putusan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.
Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk.
Menurut MK, untuk menjamin hak konstitusional para pemohon, kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Adminduk harus mencakup penganut penghayat kepercayaan.
Perbedaan pengaturan antarwarga negara dalam hal pencantuman elemen data penduduk tidak didasarkan pada alasan yang konstitusional.
Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik.
Oleh karena itu, MK memutuskan kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Berdasar data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 2017, 187 kelompok penghayat kepercayaan itu tersebar di 13 provinsi di Indonesia.
Berikut rinciannya:
– Sumatera Utara 12 kelompok
– Riau 1 kelompok
– Lampung 5 kelompok
– Banten 1 kelompok
– DKI Jakarta 14 kelompok
– Jawa Barat 7 kelompok
– Jawa Tengah 53 kelompok
– Jogjakarta 25 kelompok
– Jawa Timur 50 kelompok
– Bali 8 kelompok
– Nusa Tenggara Barat 2 kelompok
– Nusa Tenggara Timur 5 kelompok
– Sulaweasi Utara 4 kelompok