Focus Group Disscusion (FGD) Membahas Tiga Kasepuhan di Lereng Gunung Halimun bersama Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat

0
610

Dalam rangkaian kegiatan Bina Desa 2022 yang digagas oleh Fakultas Hukum, Universitas Parahyangan melalui Divisi Pengabdian Masyarakat, Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum (HMPSIH) bersama Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengagendakan focus group discussion dengan bahasan terkait permasalahan tiga kasepuhan di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
“Dalam focus group discussion akan ditekankan untuk membahas permasalahan-permasalahan yang saat ini sedang dihadapi oleh masyarakat di tiga kasepuhan” ungkap Michael Hans Ranteallo, Ketua Pelaksanana Bina Desa 2022.
Kegiatan ini dilaksanakan secara tatap muka pada 28 Agustus 2022 bertempat di Kantor Desa Sirnresmi dihadiri Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kabupaten Sukabumi, OPD Provinsi Jawa Barat, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat, Pemerintah Desa Sirnaresmi, Abah Kasepuhan Sinarresmi, Abah Kasepuhan Ciptamulya, Abah Kasepuhan Ciptagelar, Masyarakat Kasepuhan Sinarresmi, Masyarakat Kasepuhan Ciptamulya, dan Masyarakat Ciptagelar.
Dalam pengantarnya Ketua Pelaksana Bina Desa 2022 menjelaskan focus group discussion ini menghadirkan lima pembicara yang memaparkan tanggapannya terkait permasalahan sesuai latar belakang institusinya.
Maman Wijaya, Sekretaris Deputi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, menjelaskan bahwa negara sedang berupaya memajukan kebudayaan nasional, hal ini berarti keberadaan budaya perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan, tidak saja oleh pemerintah, tapi juga seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat adat sendiri.
Mendukung pernyataan tersebut Christriyati Ariani, Pamong Budaya Ahli Madya Kemendikbudristek menyoroti tentang pentingnya pendokumentasian Objek Pemajuan Kebudayaa (OPK) sebagai bentuk partisipasi dalam upaya Pemajuan Kebudayaan.
Tristan Pascal Mulyono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan mengatakan pentingnya pengakuan dan penghormatan pada masyarakat adat. Tidak hanya tentang tanahnya tetapi tentang semua yang terkandung di wilayahnya.
Menanggapi hal tersebut Wirawan Bahri dari Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa masyarakat hukum adat merupakan embrio bagi kelestarian lingkungan hidup. Desa adat dapat menjadi jalan untuk mendapatkan legitimasilegitimasi.
Kehidupan masyarakat adat dengan lingkungan sangat erat kaitannya. Bumi sebagai ibu dan langit sebagai bapak, sebuah ungkapan yang mengisyaratkan hubungan masyarakat adat dengan alam. “Hutan adat adalah hutan yang berada di sekitar masyarakat adat” papar Herry Yogaswara dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang saat ini bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang mengerjakan proses penetapan hutan adat di wilayah Kabupaten Sukabumi.
Wawan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutananan, menjelaskan terkait pentingnya peran pemerintah daerah menjadi sangat penting dalam hal ini. Peraturan daerah menjadi tolok ukur akan keseriusan daerah dalam menata keberadaan suatu masyarakat adat.
Asep Nugraha, Abah Kasepuhan Sinarresmi, tidak menampik bahwa masyarakat adat dan pemerintah harus bekerja bersama untuk menghasilkan kebijakan yang saling memberikan manfaat. Sara, negara, dan mekaha -dalam bahasa Indonesia agama, pemerintah, tradisi, Itu adalah pegangan kami dalam menjalankan kehidupan. Ketiganya perlu ‘akur’ agar kesejahteraan dan ketentraman dapat tercipta, ungkapnya.
Hasil dari focus group discussion ini akan menjadi sebuah rumusan sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan khususnya terkait masyarakat adat di tiga kasepuhan di kaki Gunung Halimun.