“Desa Adat Tergerus Zaman: Saatnya Nilai Tradisi dan Warisan Budaya Direvitalisasi”
JAKARTA, KOMPAS — Desa-desa adat di Indonesia makin tertantang zaman. Begitu deras dan cepatnya perubahan zaman menggeser nilai-nilai tradisi ?masyarakat dalam puluhan tahun terakhir. ?Arus budaya modern membuat masyarakat kehilangan orientasi budaya. Saatnya revitalisasi.
Demikian dikatakan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dalam acara Lokakarya Fasilitasi Bantuan Pemerintah Komunitas Budaya dan Revitalisasi Desa Adat 2016, Senin (20/6), di Jakarta. Lokakarya tersebut digelar Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kemdikbud dengan peserta calon penerima fasilitasi, yakni 334 komunitas budaya dan 139 desa adat di Indonesia.
Hilmar mengatakan, selama 100 tahun terakhir, perubahan budaya itu memang sangat cepat dan orang menyebut sebagai kemajuan. “Saking majunya, kita sampai pada satu titik, kita linglung, bingung mau ke mana. Kita seperti tercerabut dari akar, sedangkan yang di depan terlalu jauh untuk diraih,” katanya.
Hilmar mengingatkan kembali bagaimana dulu orang bisa membangun peradaban. Hal itu bukan berarti kita ingin kembali ke kehidupan masa lalu. “Tentu kita ingin modern, tapi dengan cara kita sendiri, dari tradisi, sejarah kita sendiri, tidak meniru Eropa, Tiongkok, dan Arab. Untuk memanggil kembali ingatan masa lalu, butuh revitalisasi. Revitalisasi adanya pada kesadaran, bukan semata menghidupkan secara fisik, seperti membangun rumah adat yang bisa rusak lima tahun kemudian,” ucapnya.
OPTIMIS
Sejumlah tokoh adat masih optimistis, desa-desa adat dengan nilai-nilainya belum mati. Masyarakat adat tidak menolak nilai-nilai baru yang masuk, tapi juga tidak takluk terhadapnya. Desa-desa adat tetap dan harus menjaga tradisi serta warisan budaya karena hal itu menjadi roh kehidupan masyarakat.
“Memang kami akui, tantangannya berat saat ini, dengan perubahan zaman dan kemajuan teknologi.Tapi, kami yakin, tradisi itu masih ada. Kami tidak menolak televisi masuk, atau internet, tapi prosesi adat dalam proses melahirkan atau pernikahan, itu tetap ada,” kata tokoh adat Ciptagelar, Sukabumi, Ruhendar Sodong.
Hal senada dikatakan Yessi dan Denti dari Melayu Sambas, Kalimantan Barat. Tradisi yang masih bisa diselamatkan tetap dijaga meski tak mudah. Penyebabnya, proses pewarisan yang tidak berlangsung mulus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak masa kini makin sedikit menyerap tradisi, apalagi mempraktikkannya.
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Masa Esa dan Tradisi Kemdikbud Sri Hartini mengatakan, hingga tahun 2015 terdapat 1226 komunitas budaya dan 156 desa adat yang difasilitasi. Masih banyak lagi desa adat di tahun-tahun mendatang yang akan difasilitasi.
PEGANGAN HIDUP
Dalam sambutannya, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, masyarakat ?dalam komunitas budaya dan desa adat itu hidup, berkembang, serta menghidupi nilai budaya dan tradisinya masing-masing. Nilai-nilai khas tersebut merupakan pegangan hidup dan prinsip aktivitas sehari-hari bagi anggotanya. Nilai itu diyakini dengan teguh kebenaran dan kesakralannya serta diwariskan secara turun-temurun sehingga menjadi kekayaan bangsa yang wajib dilestarikan dan dilindungi.
Anies dan Hilmar menegaskan, pemerintah telah menetapkan urusan kebudayaan menjadi urusan wajib. Artinya, negara harus hadir dalam upaya-upaya pembangunan di bidang kebudayaan. Melalui fasilitasi ini, diharapkan komunitas budaya dan desa adat selalu terjaga keberadaannya. Keberadaan masyarakat adat dan komunitas budaya menjadi media strategis bagi upaya interaksi masyarakat pendukungnya, sosialisasi dan pendidikan nilai-nilai budaya kepada masyarakat luas. “Bahkan, soal revitalisasi desa adat ini menjadi prioritas negara, seperti dikatakan Presiden Jokowi,” kata Hilmar.
Kemdikbud tak bisa bekerja sendirian dalam upaya-upaya pelestarian kebudayaan. Oleh karena itu, kerja sama dengan berbagai pihak dalam pelestarian atau pengelolaan kebudayaan mutlak diperlukan karena sesungguhnya yang paling mengerti permasalahan kebudayaan adalah para pengampunya. Dalam hal ini, peran pemerintah lebih ke arah sebagai fasilitator. (IVV)
Sumber: Harian Kompas 21 Juni 2016, halaman 12
URL: http://print.kompas.com/…/20…/06/21/Desa-Adat-Tergerus-Zaman
http://print.kompas.com/…/20…/06/21/Desa-Adat-Tergerus-Zaman