Jakarta – Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, menggelar diskusi bertemakan Diskusi Terumpun: Sejarah Kerajaan Majapahit. Dimoderatori oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Harry Widianto diskusi ini menghadirkan dua narasumber yakni Hasan Djafar dan Agus Aris Munandar, keduanya merupakan arkeolog dan ahli sejarah kuno dari Universitas Indonesia.
Kegiatan tersebut tak lain mengupas secara dalam seperti apa kerajaan majapahit, khususnya mengenal kembali Gajah Mada yang belakangan ramai diperbincangkan. Seperti diketahui, beberapa waktu silam media sosial tengah dihebohkan dengan beredarnya tokoh legendaris Gajah Mada. Muncul spekulasi, Gajah Mada merupakan seorang muslim yang bernama asli Gaj Ahmad.
Menanggapi hal tersebut, Hasan Djafar melalui pemaparan materinya menyatakan bahwa agama Islam di kerajaan Majapahit jauh sudah jauh berkembang sebelum masa kepemimpinan Hayam Wuruk. Hal tersebut juga dipaparkan di kitab Sutasoma oleh Mpu Tantular bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika sudah disinggung di zaman tersebut. Artinya, agama-agama selain islam sudah berdampingan di dalam tataran kehidupan masyarakatnya. Hanya saja, lanjut Hasan, belum ada bukti-bukti jika islam memang diterapkan di majapahit dan menjadi dasar sebuah pemerintahan.
“Memang islam sudah ada, tapi bukti keislaman yang diterapkan dalam bentuk kenegaraan belum pernah ditemukan bukti-buktinya. Mungkin saja orang menanggap hadirnya islam sudah pasti menandakan kerajaan tersebut kerajaan islam, padahal belum tentu. Kemudian yang menjadi masalah lagi ada satu koin yang sekarang menjadi koleksi di Museum Nasional, berdiameter 5 cm, terbuat dari perunggu dengan lambang majapahit. Koin tersebut bukan satu-satunya yang terdapat bahasa Arab, koin dengan aksara China juga banyak ditemukan,” tegas Hasan Djafar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid menekankan bahwa dasar-dasar ilmiah dalam sebuah penelitian perlu diterapkan. Ini dilakukan untuk menghindari kesalahan data sehingga meminimalisir munculnya tafsir yang berbeda. Selain itu, perlu menghadirkan bukti-bukti yang kuat sebelum pembaharuan muncul di permukaan.
“Saya kira ini bagian penting dari prosedur ilmiah. Jika ingin berdiskusi sejarah, bukti menjadi sangat penting,” tambah Hilmar Farid.
Senada dengan hal tersebut, dalam diskusi tersebut Agus Aris Munandar berpesan sebaiknya penelitian didasarkan pada tiga hal, yakni universal data, data empirik dan konteks.
“Konteks sebaiknya jangan menafsirkan sepotong-sepotong, jadinya tidak memperhatikan konteks semua,” tukas Agus.
Selain membahas tentang kerajaan Majapahit dan Gajah Mada, diskusi ini juga memaparkan lebih jauh peringkat sumber data dalam kajian sejarah kuno. Diantaranya prasasti sezaman otentik berangka tahun, prasasti sezaman dengan kronologi relatif, data arkeologis, karya sastra sezaman, berita asing, dan sebagainya.