Diskusi Dinamika Antardaerah dan Negara

0
1939

Jakarta – Berbagai pemikiran terhadap budaya maritim terus didiskusikan dalam Kongres Nasional Sejarah X di Grand Sahid Jaya, Rabu (9/11). Pada Diskusi Subtema 6 menghadirkan beberapa pembicara diantaranya Susanto, Rosmaida Sinaga, Linda Sunarti dan Amurwani Dwi Lestariningsih sebagai moderator. Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini memberikan pemahaman dan pembelajaran baru terkait ilmu sejarah terutama dalam bidang maritim.

Melalui penelitian Linda Sunarti yang berjudul Serumpun di Laut? Isu-Isu Masalah Laut Antara Indonesia-Malaysia mengungkapkan konflik perbatasan laut yang terjadi antara dua bangsa serumpun yakni, Indonesia dan Malaysia. “Hal ini merupakan salah satu dampak warisan kolonial dari penjajah kedua Negara yakni Inggris dan Belanda,” jelas Linda.

Hal tersebut mengakibatkan timbulnya dampak buruk pada hubungan serantau pada kawasan Asia Tenggara. “Laut yang dahulu menjadi pemersatu dua bangsa serumpun, ternyata di masa modern laut menjadi salah satu pemicu ketegangan dua bangsa serumpun tersebut,” Linda menambahkan.

Pembicara selanjutnya, Rosmaida Sinaga, membicarakan topik yang berbeda yakni, Hubungan Dagang dan Politik antara Kota Pelabuhan Kaimana dengan Kesultanan Tidore sebelum Penegakan Pemerintah Kolonial Belanda di Papua. “Kaimana sebagai kota pelabuhan telah menjalin hubungan dagang dan politik dengan Kesultanan Tidore jauh sebelum penegakan Pemerintah Kolonial Belanda di Papua,” jelasnya.

Hubungan dagang dan politik Kaimana memiliki dampak yang luas dalam aspek masyarakat. Mulai dari timbulnya kearifan lokal dalam hal toleransi antar umat beragama, gelar kebangsawanan Kesultanan Tidore, terciptanya etnisitas yang heterogen dalam masyarakat Kaimana, dan lahirnya generasi muda yang memiliki tipe berbeda dengan tipe umum penduduk Papua.

Pembicara terakhir adalah Susanto yang membawa para peserta kembali perdalam Pulau Jawa melalui penelitiannya yang berjudul Angin Segar dari Pesisiran: Pengaruh Semarang dan Gresik terhadap Perkembangan Kota Surakarta pada Paruh Kedua Abad XIX. “Sejak 1855 jalur kereta api Solo-Semarang telah mengubah peta jalur perdagangan. Pada satu sisi kereta api membuat arus barang komoditi dari kedua kota menjadi lancar namun pada jalur lain mengakibatkan mundurnya transportasi sungai,” tutur Susanto menjelaskan hasil penelitiannya.

Dalam penelitiannya, juga menjelaskan bahwa pada saat itu terjadi penurunan aktivitas pelayaran sungai yang telah menimbulkan kerugian yang dirasakan oleh pembuat kapal, pengusaha, dan nahkoda. Sudut lainnya, kemajuan investasi dan perdagangan di Surakarta telah memberi peran pada komunitas Eropa, Cina, dan pribumi melalui kemampuan ekonomi mereka secara nyata.