Diskusi Art Burt: Persamaan Hak Bagi Penyandang Disabilitas

0
1468

Jakarta- Direktorat Kesenian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyelenggarakan diskusi bertemakan “Merintis Jejaring Art Burt Indonesia”, di Plaza Insan Berprestasi, Gedung A, Komplek Kemendikbud, Jakarta. Kegiatan ini menjadi salah satu wujud kepedulian Kemdibud untuk selalu memberikan akses dan persamaan hak bagi penyandang disabilitas. Sekaligus membuktikan bahwa disabilitas tak menghalangi seseorang berkarya di bidang seni.

Gelar wicara ini menghadirkan Hana ‘Madness’, Nova Riyanti Yusuf, Sudjud Dartanto dan Taufik Rahzen Dipandu oleh Hendromasto sebagai moderator, keempat narasumber memaparkan lebih jauh seperti apa art burt di Indonesia. Baik dari sisi karya para disabilitas hingga masalah kejiwaan yang biasa dihadapi para seniman berkebutuhan khusus.

Art Burt merupakan karya seni yang diciptakan oleh penyandang gangguan mental dan fisik. Meski istilah ini belum populer di Indonesia, art burt sudah lebih kenal di Perancis terlebih dahulu. Hana Madness, perupa asal Indonesia sekaligus penyintas bipolar menjelaskan, seni menjadi titik yang baru bagi kehidupan para disabilitas. Melukis membuat emosi mereka menjadi lebih baik, termasuk meningkatkan daya sensitivitas indera.

Hana yang tahun lalu pernah menghadiri Unlimited Festival di London, sebuah festival seni bagi kaum disabilitas, melihat adanya satu kesatuan yang terjalin atas kesamaan latar belakang tersebut.

“Di Indonesia orang-orang yang pakai kursi roda dianggap mau apa sih, tidak bisa neko-nekolah. Peluang kerjanya pun sekian persen, akhirnya larinya ke seni. Orang-orang disabilitas mental punya kecenderungan bunuh diri yang tinggi. Tapi di seni mereka bisa survive,” jelasnya.

Kendati demikian, ia pun tak menampik jika fasilitas dan sarana di sana lebih mendukung mereka gerak dan beraktivitas layaknya pribadi normal. Adanya kesamaaan hak yang tinggi kerap membuat seniman-seniman disabilitas membuat projek-projek baru antarsesama.

“Yang saya lihat sewaktu di London, mereka berbaur dan nongkrong di taman, saling melengkapi dan melahirkan sebuah projek baru. Di sana mereka juga mandiri, mungkin karena semua sarana dan transportasi memungkinkan mereka keluar sendiri,” tegas Hana.

Psikiater Nova Riyanti Yusuf melihat bahwa salah satu permasalahan orang-orang dengan masalah kejiwaan adalah komunikasi. Terbiasa berkomunikasi dengan diri sendiri, mendengar ‘bisikan-bisikan’ dan halusinasi membuat mereka menarik diri dari lingkungan sekitar. Untuk itulah mereka membutuhan sarana yang dapat menyamaratakan hak dan fungsi sosial. Art therapy dan pameran-pameran art burt seolah mengembalikan semuanya.

“Mereka harus melatih kembali fungsi komunikasinya, mungkin bisa dengan melukis ataupun kegiatan lainnya. Artinya mereka harus keluar dari batasan, hobinya harus dibangun kembali. Jadi itu bisa mengembalikan fungsi sosial mereka,” urai Nova.

Kekurangan secara fisik maupun mental sebaiknya memang tidak memberikan batasan untuk terus berkarya. Karya seni lukis yang dipamerkan di Plaza Insan Berprestasi, menjadi bukti bahwa segala keterbatasan yang dimiliki seseorang justru mampu mendobrak batas dirinya dan berhak disetarakan dengan lainnya.