Dari Ende Merajut Budaya Nusantara

0
2105

Malang – Berbeda dengan yang dibayangkan, saat itu pemerintah kolonial tidak mengasingkan Bung Karno ke Bengkulu atau Boven Digoel, tempat para tahanan politik biasanya diasingkan, melainkan sebuah kabupaten kecil di pulau Flores, Ende. Bung karno dianggap terlalu berbahaya jika ditempatkan pada lingkungan dan komunitas yang berpotensi menimbulkan pergerakan.

Akan tetapi dibuang ke pinggiran yang jauh secara geografis dan jauh dari ideologi nasionalis tidak menyurutkan semangat pria lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) untuk berjuang. Ia merangkul masyarakat setempat. Bung Karno bahkan mengajak masyarakat telibat dalam upaya perjuangan, salah satunya melalui budaya, seni teater. Lagu Indonesia raya dinyanyikan saat pementasan, kisah yang diangkat bertema kemajuan dan pembangunan. Bahkan personilnya adalah masyarakat biasa dari berbagai suku dan agama yang ada di Ende, menyimbolkan pluralitas.

Demikianlah sedikit yang digambarkan dalam film “Ketika Bung di Ende”, sebuah film garapan Egy Massadiah.

IMG_4483

Film yang pembuatannya didanai oleh Kemdikbud itu diputar dalam acara Pekan Nasional Cinta Sejarah (PENTAS) di Universitas Negeri Malang. Pemilihan film yang menyorot sisi lokalitas/ perpektif daerah (Ende) itu tepat karena sejalan dengan tema PENTAS, yaitu “Nasionalisme dan Perang Kemerdekaan dalam Perspektif Lokal”. Hal ini juga sejalan dengan tema besar Pekan Budaya Indonesia (PBI) Malang “Dari Pinggiran Merajut Budaya Nasional”.

Unsur dan perspektif lokal/ daerah memang tidak dapat dihilangkan dari Indonesia. Karena itulah yang menjadi rajutan bangsa. Dalam pembukaan PBI, Mendikbud mengatakan bahwa Indonesia adalah kumpulan dari puncak-puncak kebudayaan di daerah.

Pembangunan pun seyogyanya dimulai dari daerah, sebagaimana visi pemerintah “Membangun dari Pinggiran”. Dan film “Ketika Bung di Ende” menujukan hal tersebut, dari tempat pengasingan yang ia sebut sendiri dengan “Ujung Dunia’, Bung Karno berusaha merajut nusantara.

IMG_4500